Selamat Jalan ‘Sang Pelaut’ (In Memoriam H. Sarapping Beddu)

0
9030
H.Sarapping Beddu (kiri), HM Jos Soetomo (duduk) bersama penulis dalam sebuah kesempaan di Samarinda, 2020.

Oleh IMRAN DUSE

Samarinda, 26 Agustus 2020. Mendung di siang hari mengiringi kabar duka yang beredar berantai melalui beberapa grup WhatsApp. Pengusaha besar dan tokoh sesepuh Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS) Kalimantan Timur Haji Sarapping Beddu telah kembali menghadap Rabbnya. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.

Sesaat setelah mendapat berita duka itu, kami — sejumlah pengurus KKSS yang selama ini kerap bersilaturahmi dengan almarhum– berkumpul di kediaman Dr. H.M. Ridwan Tasa, MM. Melaksanakan salat gaib berjemaah dan lalu membacakan Surat Yasin. Hujan yang turun hingga menjelang maghrib, seakan ikut dalam duka kami yang menyertai kepergian almarhum.

Masih segar dalam ingatan, ketika pertengahan bulan lalu almarhum hadir bersama Kapolresta Samarinda di tempat ini. Saat tasyakuran Milad I Program Jalan Sehat KKSS Samarinda (10/7). Sikap humoris dan penuh kehangatan dari sosok almarhum sungguh masih terbayang di atas panggung berukuran 4×8 meter itu, tempat kami membacakan Surat Yasin tadi.

Tatkala makan siang, masing-masing kami tak henti membagi pengalaman berinteraksi dengan figur prominen di bidang perkapalan ini. Di mata Ridwan Tasa, almarhum begitu ringan tangan membantu kesulitan yang dialami warga. Tak jarang, Ridwan Tasa yang juga Ketua Dewan Penasehat KKSS Kota Samarinda ini menjembatani kesulitan yang dialami warga KKSS yang karena suatu hal harus kembali ke Sulawesi Selatan dan tidak punya ongkos.

“Beliau selalu dengan tangan terbuka menyiapkan tiket gratis untuk ‘memulangkan’ warga yang kesulitan tersebut lewat kapal Prince Soya milik almarhum,” ujar Ridwan Tasa.

Lain lagi cerita H. Nursan Thalib, S.Sos., Ketua Ikatan Keluarga Alumni As’adiyah Kaltim yang juga Kepala Dinas Pemadam Kebakaran Kota Samarinda. Suatu ketika di akhir tahun 2017, Nursan Thalib ditunjuk sebagai Panitia Pusat Muktamar Pondok Pesantren As’adiyah yang dilaksanakan di Balikpapan. Dalam sebuah kesempatan, Nursan Thalib menyampaikan rencana muktamar tersebut dan antusiasme peserta asal Sulawesi Selatan kepada almarhum.

“Secara spontan almarhum menyampaikan akan menanggung transportasi pulang-pergi peserta asal Sulawesi Selatan yang berjumlah 500-an orang. Sehingga kesuksesan pelaksanaan muktamar saat itu tak lepas dari dukungan dan kedermawanan beliau,” ujar Nursan Thalib mengenang kebaikan almarhum.

Tentang ini, saya punya pengalaman pribadi. Awalnya, putri sulung saya yang kuliah di Unhas akan mudik lebaran ke Samarinda, akhir Mei 2020 lalu. Tapi gagal terbang, karena ketat dan rumitnya persyaratan terkait pandemi ketika itu. Ia akhirnya berlebaran di Parepare bersama keluarga.

Sempat terpikir menggunakan kapal laut. Tapi kami urungkan, mengingat dia cuma sendirian. Perempuan pula. Tapi pikiran ini berubah pada 12 Juli 2020, saat bertemu almarhum di acara tasyakuran Milad I Jalan Sehat KKSS Samarinda, seperti saya singgung tadi. Batin saya, sebagai owner, almarhum tentu dapat meminta awak kapal untuk menjaga anak saya selama pelayaran. Dan betul saja. Almarhum saat itu langsung meminta saya menuliskan nama anak dan nomor kontaknya.

Dua hari kemudian anak saya menelpon. Mengabarkan,  barusan dihubungi orang dari kapal Prince Soya. Diminta datang  ke bagian informasi di kapal pada hari Rabu, 15 Juli 2020, pukul 13.00 Wita. Karena kapal akan berangkat pukul 14.00 Wita.

Singkat cerita, Zalfaa Zahira, putri sulung saya itu, tiba dengan selamat di Samarinda, Kamis (16/7). Ia pun bercerita, setibanya di kapal sudah disiapkan tempat yang bagus. Dan, rupanya ia juga tidak diharuskan membeli tiket. 

Keesokan harinya, saya bermaksud menemui almarhum untuk menyampaikan terima kasih. Rasanya tak elok mengucapkan itu lewat telpon. Tapi hari itu beliau tidak datang ke kantor. Saya akhirnya bertemu beliau hari Senin, 20 Juli 2020, di kantornya.

“Iyero isyukkuruki engka mopa silessurengmu punna kappala,” ujar alamarhum, dalam bahasa Bugis yang kental (kurang lebih berarti: ‘yang kita syukuri bahwa engkau masih memiliki saudara yang punya kapal’). Itulah kalimat terakhir yang saya dengar dari almarhum. Sekaligus perjumpaan terakhir dengan  pribadi bersahaja yang mengesankan: Haji Sarapping Bin Beddu Rahman.

***

Perkenalan pertama saya dengan almarhum terjadi di pengujung tahun 2003 silam. Ketika itu, saya hendak menulis buku memoar tokoh-tokoh KKSS Kalimantan Timur. Saya diminta datang ke rumahnya di Samarinda Sebrang, sambil makan siang. Bertepatan dengan beliau menjamu tamu dari Jepang, wakil dari produsen mesin kapal terkenal. Memoar Haji Sarapping itu kemudian menjadi bagian dari sejumlah memoar yang dihimpun dalam buku “Pergulatan Para Perantau” (Imran Duse, 2004).

Dari pertemuan itu, saya melihat Haji Sarapping ibarat mozaik yang memiliki banyak sisi dalam hidupnya. Ia memerankan diri sebagai seorang manusia pekerja. Seorang yang berprinsip bahwa cara terbaik untuk membuktikan sesuatu adalah dengan mencobanya.

Kita kadang terpukau dengan kesuksesan dan capaian orang hari ini. Tanpa melihat riwayat dan jejak perjuangan untuk meraih semua itu. Memang ada orang-orang yang sukses karena dukungan lingkungan dan warisan keluarga yang memang kondusif dan memberikan banyak peluang dan kesempatan. Tetapi apa yang kita simak dari perjalanan hidup Haji Sarapping niscaya akan membuat kita kagum.

Haji Sarapping adalah orang yang terus menambah daya hidup dari kegagalan-kegagalan yang pernah ia alami. Ia tidak cengeng atas buramnya kondisi yang ia terima di waktu muda. Melalui fragmen-fragmen hidup yang dilalui, kita bisa menyimak betapa teguhnya Haji Sarapping dalam menaklukan berbagai kendala yang dihadapi.

Terlahir dan menjalani masa kecil yang tak terlalu menjanjikan, namun semua itu melecutnya untuk terus bertahan dan berkelahi dengan keadaan. Jika sampai akhir hayatnya Haji Sarapping tiba pada kesuksesan, itu semua harus ditebus dengan cucuran keringat, air mata dan kesetiaan pada perjuangan.

Ia merintis bisnisnya dari titik nol. Meninggalkan kampung halaman di sekitar tahun 1967, ia mulai menyusuri tempat-tempat yang berpotensi menghasilkan ikan di sepanjang alur laut Selat Makassar. Dengan menggunakan perahu Pinisi, ia menjalin persahabatan intim dengan ombak dan badai. Dan bintang gemintang di langit malam adalah navigasi terbaik yang selalu menuntunnya. Ia adalah “anak laut” yang gigih dan ulet. Instingnya sangat kuat membaca gejala alam.

Banyak orang cuma terpukau oleh kehidupan Haji Sarapping dengan hanya melihat apa yang dicapai dan dimilikinya. Orang kini hanya bisa menghitung luas areal kebun sawit, puluhan tugboat-tongkang, galangan kapal dan properti serta aset yang dimilikinya. Padahal di balik semua itu ada tetesan keringat dan air mata yang harus dikorbankan.

Itulah yang melahirkan militansi hidup dan daya juang yang amat mengesankan dari sosok Haji Sarapping. Dengan itu pula ia mencapai impian tertinggi dalam hidupnya. Ini bisa dijadikan pelajaran berharga bagi masyarakat, kaum muda pada khususnya, untuk memahami betapa perjuangan meraih impian mesti melalui jalan penuh liku dan tak jarang meminta begitu banyak pengorbanan.

Tak pelak lagi, Haji Sarapping adalah seorang pelaut sejati, seorang lelaki Bugis yang sabar mengarungi lautan hidup untuk meraih tanah impian. Haji Sarapping mewakili apa yang sering orang-orang katakan from zero to hero, dari bukan siapa-siapa menjadi seorang yang terpandang.

Selamat Jalan Sang Pelaut. Kami dan keluarga besar KKSS Kaltim sungguh kehilangan sosok pencerah, dermawan dan baik hati. 

(IMRAN DUSE, Wakil Ketua BPW KKSS Kalimantan Timur)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here