Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, MA: Pendidikan Pesantren Memiliki Banyak Keunggulan

0
7338
Prof. Dr.Amsal Bakhtiar, MA
- Advertisement -

PINISI.co.id- Menyambut Hari Santri 22 Oktober lalu Arfendi dari PINISI.co.id berbincang-bincang dengan Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, MA, seorang akademisi, dosen dan penulis beberapa buku filsafat agama. Orang awak kelahiran Padang Panjang 60 tahun lalu ini punya jam terbang yang panjang di lingkungan kampus, khususnya IAIN Ciputat hingga berubah jadi UIN saat ini. Beberapa jabatan penting pernah dijabatnya selain sebagai dosen, yaitu mulai dari dekan, wakil rektor, dan juga jabatan penting di Sekolah  Pasca Sarjana UIN Ciputat.

Alumni Gontor ini juga memiliki karya moncer di lingkungan birokrasi, yaitu Kementerian Agama, sebagai Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Agama dan Keagamaan, 2017-2020; Direktur Direktorat Perguruan Tinggi Islam Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, 2015-2017; dan lainnya. 

Menulis 7 buku seputar masalah filsafat agama, ilmu kalam, tasawuf dan bidang lain. Penerima Satyalancana Karya Satya dan tanda kehormatan Masa Kerja 20 Tahun sebagai pegawai negeri sipil. Kini menjabat sebagai Direktur Sumber Daya Manusia dan Pengembangan Bisnis Universitas Islam Internasional Indonesia. Berikut petikan wawancara dengannya.

Pesantren sekarang menjadi lembaga pendidikan yang menjadi pilihan masyarakat. Apa faktor yang mendorong masyarakat memilih lembaga pendidikan pesantren untuk mendidik anaknya?

Pesantren masih menjadi pilihan masyarakat untuk menyekolahkan anaknya karena pesantren merupakan lembaga pendidikan yang mendidik tidak hanya kecerdasan otak, tetapi juga akhlak mulia atau pendidikan karakter. Para orang tua lebih memilih pesantren untuk tempat pendidikan agar anaknya terhindar dari bahaya pergaulan bebas dan narkoba. Orang tua masih yakin bahwa pesantren mendidik para santri dengan penuh dedikasi dan keikhlasan. Di samping itu,  pesantren terbukti mampu menghasilkan tokoh-tokoh agama dan masyarakat, seperti Abdurrahman Wahid, Din Syamsuddin dan Dr. Hidayat Nur Wahid.

- Advertisement -

Pesantren memiliki sistem asrama sehingga anak dapat dimonitor setiap saat, apalagi pendidikan di pesantren tidak pernah kosong dari aktivitas untuk menyalurkan bakat masing-masing, seperti olahraga, seni, dan tulis menulis. Di samping itu, para alumni pesantren melakukan banyak yang mendirikan lembaga pendidikan di berbagai pelosok tanah air, sebagai contoh alumni Pesantren Gontor sudah tercatat sekitar 3000 lembaga pendidikan di seluruh Indonesia. Salah satunya adalah Darun Najah dan alumni Darun Najah juga sudah mendirikan pesantren juga, seperti Darul Muttaqin di Parung.

Apakah tujuan pendidikan pesantren sekarang ini untuk melahirkan ulama atau hanya untuk terserap ke lapangan kerja. Sebab, pesantren sekarang juga melaksanakan pendidikan SMP dan SMA yang sama dengan pendidikan umum.

Tidak dipungkiri sebagian pesantren sekarang mengikuti tren yang berkembang, yaitu dengan membuka sekolah SMP dan SMA, bahkan ada juga yang digabung menjadi Sekolah Menengah Pertama Islam Terpadu (SMPIT) dan Sekolah Menegah Atas Islam Terpadu (SMAIT). Salah satu tujuannya adalah untuk mendapatkan pekerjaan, tetapi tidak semua pesantren berorientasi untuk menyediakan lapangan kerja. Masih banyak pesantren yang tetap memiliki komitmen untuk menghasilkan ulama dan pemimpin bangsa. Jadi, variasi pesantren sekarang sangat beragam dengan berbagai orientasinya.

Artinya, tidak salah kalau ada pesantren yang membuka jalur sekolah umum, tetapi tentu saja anak didik dibekali juga dengan ilmu agama pada pagi atau sore hari. Pesantren seperti Gontor dan sejenisnya masih tetap konsisten mendidik santri untuk menjadi orang yang bermanfaat di tengah-tengah umat. Semakin besar kontribusinya kepada umat semakin sukses pendidikan pesantren.    

Benarkah anggapan bahwa pesantren gagal melahirkan ulama?

Tidak selalu benar yang mengatakan bahwa pesantren gagal melahirkan ulama karena konteks ulama sekarang tidak hanya semata menguasai ilmu agama, tetapi juga menguasai ilmu pengetahuan alam, sosial dan humaniora serta teknologi. Jadi, kalau diartikan ulama adalah yang memiliki pesantren atau madrasah saja, maka bisa jadi ulama dalam konteks sekarang adalah yang memiliki followers paling banyak di Youtube atau instagram. Karena itu, perlu memahami ulama dalam konteks kekinian yang tentu secara substansi tidak berbeda, tetapi dari sisi cara dan gaya berbeda.

Lulusan pesantren tidak seluruhnya melanjutkan ke IAIN (sekarang jadi UIN), tetapi masuk ke perguruan tinggi umum. Karena itu makin sulit melahirkan ulama,  pendapat Bapak?

Ada benarnya bahwa sebagian lulusan pesantren tidak semua melanjutkan ke perguruan tinggi agama, seperti IAIN atau UIN karena kecenderungan masing-masing individu berbeda. Namun, sebagian besar masih memilih untuk melanjutkan ke perguruan tinggi agama, baik dalam maupun luar negeri. Pesantren memberikan kebebasan kepada lulusan untuk melanjutkan pendidikan. Yang ditekankan oleh pesantren adalah tuntutlah ilmu yang bermanfaat untuk umat sebanyak mungkin dan berkiprah sesuai dengan ilmu yang dimiliki. Sebagai contoh, teman seangkatan saya ada yang menjadi pilot di salah satu perusahaan penerbangan nasional. 

K.H. Imam Zarkasyi, salah seorang pendiri Pesantren Gontor, mengatakan bahwa alumni Gontor dituntut untuk mengabdi di mana saja. Pengabdian yang terbaik adalah menjadi guru, terutama di tempat yang terpencil dan sulit dijangkau.

Menurut Bapak apakah tidak sebaiknya lulusan pesantren diarahkan masuk UIN saja dan memilih jurusan keislaman. Supaya klop dengan pelajaran di pesantren?

Mengarahkan semua lulusan pesantren agar melanjutkan ke perguruan tinggi agama saya pikir tidak tepat karena masing-masing memiliki bakat dan minat yang berbeda. Ada yang memang berminat untuk mendalami ilmu agama silahkan melanjutkan ke perguruan tinggi agama, tetapi ada juga yang berbeda yang cenderung ilmu alam atau teknologi silakan untuk mengambil bidang tersebut. Sebab, pada prinsipnya semua ilmu tersebut bermanfaat untuk kemanusiaan dan ulama pada prinsipnya bertugas untuk mendorong umatnya agar berbahagia, baik di dunia maupun di akhirat. Dari sejarah pesantren tidak semua alumninya menjadi ulama atau kiai, tetapi mereka setidaknya mampu membimbing keluarganya untuk beragama sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad SAW.

Setelah IAIN berubah jadi UIN dan membuka jurusan atau fakutas umum, jurusan agama atau fakultas keislaman makin kurang diminati. Bagsimana kenyataan ini di UIN Syahid Ciputat? Apakah ini makin mempersulit lahirnya ulama?

Perubahan IAIN menjadi UIN, khususnya UIN Jakarta tentu membawa perubahan besar dalam berbagai aspek, antara lain aspek kelembagaan, peminatan, dan budaya akademik. Jelas bahwa kelembagaan berubah dari institut menjadi universitas, yang tentunya cakupannya jauh lebih luas dibandingkan dengan institut yang terbatas pada bidang agama saja. Akibatnya, calon mahasiswa lebih berminat ke bidang umum dan “favorit” seperti kedokteran dan teknologi informasi. Kecenderungan ini merupakan sesuatu yang alamiah saja dan harus dipahami bahwa ilmu tersebut adalah Islami.

Ulama besar seperti Ibn Sina, di samping seorang ulama juga seorang dokter terkenal. Artinya, ilmu kedokteran adalah bagian dari ilmu Islam yang wajib juga dipelajari. Di sisi lain, kalau dibandingkan dengan minat mahasiswa masuk ke program studi agama sebenarnya tidak berkurang bahkan dapat dikatakan bertambah. Buktinya waktu saya kuliah Jurusan Akidah Filsafat tahun 1985 hanya berjumlah 13 orang, tetapi sekarang berjumlah sekitar 80 orang/tahun. Hanya saja peminat untuk jurusan tertentu meningkat tajam, sehingga terkesan jurusan agama terkesan menurun.

Bagaimana saran dan pendapat Bapak agar pesantren ikut melahirkan ulama dan mengatasi kelangkaan ulama?

Bagi saya pesantren harus tetap konsisten dan istiqamah menjadi tempat untuk mendalami ilmu-ilmu agama Islam. Ciri khas pesantren ini menjadi keunggulan yang tidak terdapat di lembaga pendidikan lain, apalagi belajar di pesantren tidak pernah berhenti, alias mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi adalah belajar. Pesantren memberikan berbagai keterampilan kepada santrinya, seperti belajar pidato, menulis artikel, olahraga, pramuka, dan seni.  Semua itu, dilakukan secara terukur dan terjadwal, sehingga sulit menemukan santri yang memiliki waktu yang kosong dalam aktivitas kesehariannya.

Mengenai kelangkaan ulama perlu ada penelitian yang akurat, yaitu berapa persen alumni pesantren yang benar-benar menjadi ulama/kiai dari jumlah santri yang sekarang tidak kurang 4 juta orang dari 29 ribu pesantren. Tentu untuk mengukur hal tersebut kita perlu melihat hasil dari penelitian tersebut atau meneliti lulusan pesantren tahun 2010 dan kiprah mereka di masyarakat saat ini. Langkah atau tidaknya ulama sekarang perlu dibuktikan lewat hasil penelitian tersebut, sehingga terlihat jelas ke mana sebagian orientasi lulusan pesantren.

Bagaimana pesantren ke depannya dalam menjawab tantangan zaman?

Menurut saya, pesantren ke depan harus menyesuaikan diri degan perkembangan ilmu dan teknologi yang sangat pesat. Santri harus diajarkan juga teknologi informasi agar mereka ketika lulus tidak terputus dengan dunia luar yang serba digital. Diharapkan nanti akan muncul ulama digital yang mampu berdakwah tidak hanya didengar oleh kalangan terbatas di masjid atau surau, tetapi mampu menjangkau umat di seluruh dunia. Kemampuan tersebut tentu harus dikenalkan sejak menjadi santri agar ketika lulus mampu beradaptasi dengan cepat dan bahkan mampu berkiprah lebih kreatif lagi. Santri harus diberikan juga bekal ilmu sosial, seperti sosiologi, psikologi, dan politik agar mereka ketika berhadapan dengan masyarakat yang heterogen mampu beradaptasi dengan baik. Ulama yang sukses adalah ketika dia mampu berkomunikasi dengan jamaah yang beragam. Komunikasi yang bagus adalah ketika dia mampu memahami karakteristik dari jamaahnya. (Arfendi)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here