Menutup Mata Selamanya, Hasyim Gani Telah Berpulang ke Jalan Allah

0
1003
- Advertisement -
Ir. Hasyim Gani Daeng Mangung.

PINISI.co.id- Hasyim Gani (61) adalah seorang pria hangat, pandai bergaul dan karena itu ia memiliki pertemanan dengan jaringan luas. Baik di lingkungan kampusnya di UMI dan di alumni PPSP IKIP Ujung Pandang. Khusus di angkatan 81 PPSP, ia menjadi Humas, antara lain bertugas sebagai penghubung antaralumni, juga sebagai jembatan kepada adik-adik yunior dan senior. Ia berada di lintas angkatan dan namanya familiar.

Kapasitasnya sebagai Humas adalah talenta Hasyim yang tersembunyi, mengingat saat sekolah dulu, Hasyim yang saya kenal adalah laki-laki pemalu. Sahabat-sahabatnya termasuk kaum perempuan kerap menggodanya membikin wajahnya cepat merona. Ia hanya tersipu, dan tidak berani menatap lekat-lekat lawan jenisnya.

Saat banyak kawan-kawannya mulai mengenal rokok, dan kami yang tinggal di Pandang-pandang yang bertetanggaan dengan Hasyim acap menawarkan sebatang rokok, namun ia menampik dan sama sekali tidak pernah ingin menyentuh barang “haram” itu. Tak salah kalau Hasyim kami juluki pria ideal dan tampilannya senantiasa kalem dan alim.

Selepas SMA, Hasyim dan tentu juga teman-temannya memasuki dunia perkuliahan. Di kampus yang heterogen, identik dengan masa pancaroba dan lazimnya mahasiswa ingin mencari identitas dan aktualisasi diri.

Dalam bentang waktu yang panjang, galibnya manusia niscaya mengalami perubahan. Sekian lama tidak bersua, dan akhirnya media sosial mempertemukan kembali jejaring pertemanan yang sempat hilang.

- Advertisement -

Pertama kali berjumpa dengan Hasyim setelah bertahun-tahun berpisah, ia belakangan tumbuh menjadi sosok pencerita, rokok kretek tak pernah lepas dari tangannya, dan yang pasti relasi sosialnya meluas. Ia adalah orang yang asyik. Kehadirannya selalu ditunggu-tunggu.

Maka setiap balik Lebaran di Makassar, Hasyim termasuk prioritas yang saya kunjungi agar tali silaturahmi tetap awet. Sebaliknya ia juga mampir ke rumah jikalau mengetahui saya berada di Makassar. Sesekali saya membuatkan kopi dengan sedikit gula, berikut asbak, karena saya tahu ia menjelma menjadi pecandu rokok.

Tak jarang saya memintanya untuk mengurangi rokok. Bukan hanya saya, tapi sahabat-sahabat lain yang sudah taubat merokok juga mendesaknya untuk stop menyulut benda beracun itu.

“Sayangi jantungmu Syim,” kataku cemas. Ia hanya tersenyum seraya membaluri rokoknya dengan minyak kayu putih. Katanya lebih nikmat rasanya.

Herannya, dalam kondisi sakit pun Hasyim tetap mengepulkan asap, bahkan hingga berbatang-batang. Ia sebetulnya mengidap sakit yang sudah tahunan. Komplikasi antara jantung dan ginjal. Ia menyadari bahwa merokok berbahaya, namun dengan itulah ia bisa berfikir dan merasa nyaman.

Terakhir saya bertemu dengan Hasyim pada 8 Desember, sehari sebelum saya balik ke Jakarta. Di Makassar saya menghadiri pemakaman ibu saya yang meninggal pada 2 Desember 2023.

Adalah Arifin Idrus yang menjamu dan kangen untuk bertemu dengan angkatan 81. Arifin sudah 40 tahun terpisah dengan sepantaran PPSP nya.

Dari undangan itu, saya bersama Natsir Mallawi dan Is Hakim menjemput Hasyim di rumahnya. Hasyim tampaknya kurang fit. Kedua tungkai kakinya bengkak dan kehitaman. Sorot matanya redup.

Di kafe Kopitiam Panakukang, Hasyim naik tangga dengan sudah payah. Ia disambut Arifin dan kawan-kawannya dengan sukacita tapi Hasyim kelihatan menahan beban. Hasyim memilih duduk di pojok sendirian seraya melonjorkan kakinya.

Di ujung pertemuan, Hasyim merasa limbung dan Latri Aras serta merta memijatnya sampai Hasyim menemukan kembali kekuatannya. Ia diantar Natsir ke rumahnya dan dalam perjalanan pulang Hasyim tertidur di dalam mobil.

Tidurnya Hasyim melegakan Natsir sejenak, karena selang beberapa hari kemudian, Hasyim rupanya telah tidur abadi di RS Dadi, seusai Jumat, 22 Desember ini.

Kami semua bersedih, dan satu demi satu telah dipanggil Sang Pencipta.

Selamat jalan sahabat, kami semua akan menyusulmu.

Alif we Onggang

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here