Mengubah Paradigma Demokrasi untuk Rakyat

0
1907
- Advertisement -

Kolom Arfendi Arif

Bila dicermati keberadaan negara di dunia ini terdapat perbedaan dalam kemampuan pengelolaannya. Ada yang maju dan leading di bidang ekonomi, pendidikan, teknologi dan lainnya. Namun, ada juga negara yang terkebelakang dan sulit berkembang, selamanya tertinggal di segala bidang dari negara lainnya.

Negara yang maju dan unggul di tengah percaturan kehidupan bangsa biasanya dihormati dan disegani oleh negara lain. Tentu saja, kemajuan sebuah negara tidak saja dilihat hanya dari segi ekonomi, juga dari aspek politik dan kehidupan demokrasi yang berlangsung  dalam sistem pemerintahannya

Problem Indonesia sebagai negara berkembang– dan dalam masa transisi demokrasi– di era reformasi ini, terlihat belum memiliki kemantapan dan kurang  fokus dalam membangun.

Negara kita masih kuat terjebak dalam    “keasyikan” persoalan politik  dan demokrasi, yang hal ini kalau tidak “dibenahi” akan menyebabkan terganggunya kegiatan pembangunan. Kalau kita belajar dari pemerintahan Orde Baru hal inilah yang dilakukan Presiden Soeharto dengan menata kehidupan politik mulai dari penyederhanaan partai, penyamaan asas tunggal Pancasila bagi partai dan ormas, dan lainnya, sehingga tercipta stabilitas  masyarakat untuk kelancaran pembangunan.

- Advertisement -

Sudah tentu kita tidak ingin setback ke belakang kembali ke sistem politik Orde Baru yang otoriter. Namun, kita juga harus membenahi sistem kehidupan politik reformasi sekarang ini, yang ternyata lebih dua dekade berjalan  belum juga menunjukkan kemajuan yang berarti dalam mensejahterakan rakyat. Bahkan, kehidupan ekonomi terasa berat dengan makin sulitnya kehidupan ekonomi rakyat, terutama dengan kenaikkan bahan pokok, listrik, iuran BPJS, transportasi dan sebagainya.

Untuk meraih kemajuan perlu adanya komitmen yang kuat dan tekad dari semua komponen bangsa untuk bekerja keras dalam membangun. Dan yang memegang peran utama dalam menggerakkan kemajuan ini atau menjadi motornya yang jelas adalah diharapkan dari  komponen pemerintah di semua lini, baik departemen maupun lembaga dan DPR serta institusi lainnya. Sebab, hanya pemerintah yang memiliki kekuasaan, fasilitas dan birokrasi yang bisa menggerakkan semuanya. Sedangkan rakyat akan mengikuti pemerintah, yang tentu akan terbawa arus dengan sendirinya, ibarat mesin yang dihidupkan akan menggerakkan seluruh  bagian-bagiannya  menjadi ikut aktif.

Untuk keterlibatan lembaga-lembaga formal ini menstimulan (merangsang) dan menjadi lokomotif , maka mentalitas  maupun etos pembangunan perlu ditanamkan yakni  dengan mengembangkan  “spirit dan fanatisme  kebangsaan”. Spirit atau etos ini berfungsi sebagai “panggilan” atau “motivasi” untuk bekerja membangun bangsa ini menjadi besar dan sejahtera. Artinya, kepentingan pembangunan ditujukan bagi kesejahteraan rakyat sebesar-besarnya  dan kemajuan bangsa paling diutamakan dibandingkan kepentingan lainnya, apalagi kepentingan pribadi, kelompok dan golongan.

Fokus untuk bekerja bagi kemajuan bangsa hanya bisa dilakukan jika kita semua bisa “melepaskan” rasa ego atau semangat kelompok dan golongan. Kepentingan Indonesia dan bangsa harus diletakkan sebagai tujuan utama dalam aktivitas pembangunan ekonomi maupun politik.

Dalam negara kita yang saat ini berlangsung kehidupan yang cukup demokratis dalam sistem pemilihan umum dan pilpres patut diapreasiasi, tetapi kehidupan demokratis tidak cukup hanya sampai disitu. Demokrasi itu intinya harus membawa kesejahteraan buat rakyat dan orang banyak. Sebab, bisa saja kehidupan demokrasi hanya dalam teknis pemilihan dan pemungutan suara, namun dalam.kinerja dan pembuatan kebijakan publik terjadi vested interest atau punya kepentingan yang menguntungkan kelompok atau partai.

Karena dalam sistem demokrasi setiap pemenang pemilu memiliki kekuasaan untuk menentukan berbagai posisi dan jabatan di pemerintahan, baik posisi menteri, staf ahli presiden, direktur BUMN, komisaris perusahaan negara; ketua DPR, Ketua MPR, ketua komisi di DPR; panglima ABRI, Kapolri, dan banyak posisi strategis lainnya. Semuanya ini jika tidak memiliki etika yang kuat akan sangat berpengaruh dalam menentukan kebijakan yang bisa saja tidak berorientasi pada kepentingan rakyat, namun menguntungkan kelompok, partai dan kolega dari partai pemenang pemilu. Bila ini terjadi maka demokrasi tidak akan mensejahterakan rakyat, melainkan hanya sekelompok kecil orang atau golongan dan partai yang nenikmatinya.

Paradigma demokrasi yang selama ini dipahami para politisi bahwa jika sudah memenangkan pemilu secara demokratis, maka berhak menjalankan kekuasaan menurut kehendak partai pemenang sudah selayaknya dirubah. Sebab, kalau pola berfikir seperti ini yang berlaku maka kekuasaan sesungguhnya tidak diabdikan buat rakyat, tetapi hanya  bagi partai politik, dan yang sudah jelas akan selalu berusaha dipertahankan untuk digenggam seterusnya. Dalam perilaku politik seperti  ini rakyat hanya menjadi objek dan janji-janji kosong sekedar untuk meraih suara.

Sudah saatnya kita mengembangkan pemahaman demokrasi yang total untuk rakyat. Artinya, partai yang menang dalam pemilu dan menjadi partai pemerintah (rulling party) dan menjalankan pemerintahan, bila sudah berkuasa dengan segera melucuti “baju partainya dan melucuti perilaku dan berfikir menurut  tendensi partainya”, dan mengganti dengan pakaian rakyat dan pakaian kebangsaan. Artinya, semua tindak tanduk dan kebijakan yang diambil diorientasikan kepada rakyat, untuk mensejahterakan rakyat, untuk kemajuan bangsa, dan untuk kemakmuran orang banyak. Kepentingan pribadi, kepentingan  gologan, kepentingan kelompok, kepentingan partai ditanggalkan. Semuanya hanya kenal.kepentingan bangsa dan kepentingan rakyat.

Semua politisi yang ada di DPR diharapkan tidak lagi membawa nama partai atau berjuang untuk partai, melainkan  bekerja atas  nama rakyat dan untuk rakyat, yang telah memberikan suaranya. Jadi mereka adalah wakil rakyat, bukan wakil.partai. Dalam konteks ini mungkin perlu dipikirkan apakah fraksi-fraksi yang ada di DPR masih diperlukan, apakah sebaiknya dibubarkan saja, sebab hanya menimbulkan pengentalan dan menguatkan semangat kelompok dan fanatisme partai saja, sehingga juga akan berpengaruh pada kebijakan yang tidak pro-rakyat, melainkan pro-partai.

Kini setelah 75 tahun kita merdeka pengelolaan negara harus lebih kuat dengan manajemen yang ketat dan mampu menegakkan disiplin, hukum yang dipatuhi atau supremasi hukum  dan budaya atau mentalitas  yang mendorong kemajuan. Saatnya kita keluar dan beranjak dari negara dengan budaya soft culture (negara lemah)–meminjam istilah Gunnar Myrdal, peraih Nobel 1968 dari Swedia — yaitu negara dengan disiplin yang lemah, korupsi yang tidak terkendali, tanggung jawab yang rendah, hukum dan undang-undang yang tidak dipatuhi dan lainnya. Intinya, Myrdal mengatakan Indonesia masih tergolong negara lemah karena masih banyak yang perlu dibenahi  pengelolaannya baik kultur maupun administrasi dan manajemennya yang tidak efisien.

Kiranya, harapan di atas akan bisa terwujud jika  lahir kepemimpinan yang kuat (strong leader) di negara kita untuk melaksanakannya. Dirgahayu 75 tahun Indonesia Merdeka!
     
Penulis, peminat masalah sosial dan politik.
     

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here