Appare-Pare, Pengaman Sosial Budaya Makassar Yang Telah Punah

0
711
- Advertisement -

Kolom Syamsu Salewangang Daeng Gajang

Dari masa ke masa manusia selalu memiliki cara dan sistem tersendiri melakoni kehidupannya sehingga memudahkan mereka melakukan aktivitas menunjang keberlangsungan kehidupannya baik secara individu maupun secara bersama-sama (komunal). Akumulasi dari cara-cara yang digunakan tersebut kemudian menjadi budaya yang disepakati oleh mereka baik pada sistem nilainya maupun pada mekanisme kerjanya yang menjadi ciri khas dan pembeda bagi masyarakat di wilayah lainnya.

Hal ini senada dengan pendapat sosiolog dari Belanda Andreas Eppink yang mengatakan bahwa sosial budaya atau kebudayaan adalah segala sesuatu atau tata nilai yang berlaku dalam sebuah masyarakat yang menjadi ciri khas dari masyarakat tersebut.

Appara-pare merupakan salah satu ciri kuat dari masyarakat Makassar sebagai masyarakat agraris yang walau sebagiannya lagi merupakan masyarakat bahari terutama yang bermukim di sepanjang garis pantai.

Sebagaimana kita ketahui bahwa sejak berabad-abad silam, masyarakat secara umum di Sulawesi Selatan (Makassar, Bugis, Toraja dan Mandar) memperoleh sumber penghidupan utama dari aktivitas bercocok tanam yang dikemudian hari dikenal dengan pertanian. Kegiatan bertani menjadi pilihan utama karena didukung oleh potensi sumber daya alam yang memadai. Hamparan lahan dan didukung oleh ketersediaan air dari berbagai sumber seperti sungai, danau, pun sumur-sumur yang digali sangat memudahkan kegiatan pertanian berkembang dengan baik.

- Advertisement -

Diperkaya lagi dengan musim yang hanya terdiri dari musim kemarau dan musim hujan yang memungkinkan masyarakat panen sepanjang tahun dari berbagai jenis tanaman. Segala jenis tumbuhan ditanam baik tanaman yang berupa kayu-kayuan, buah-buahan hingga yang termasuk kategori makanan pokok seperti padi, jagung dan umbi-umbian serta sayur-sayuran.

Dalam interaksi sosial yang terjadi di masyarakat itulah terbentuk sistem nilai dan norma yang disepakati dianut dan dijalankan bersama termasuk aturan-aturan yang membolehkan dan membatasi segala aktivitas kehidupan sejak lahir hingga meninggal. Bahkan setelah meninggalpun masih memiliki aturan sedemikian rupa dari budaya masing-masing komunitas. Begitulah sistem sosial budaya berjalan dengan pranata-pranatanya dari masa ke masa.

Hal ini pula telah disampaikan oleh Ralph Linton seorang antropolog dari Amerika bahwa budaya adalah sikap pola beserta pengetahuan yang merupakan kebiasaan yang dilakukan yang didapatkan melalui diwariskan oleh suatu anggota masyarakat tersebut secara keseluruhan.

Terhadap apparae-pare pun demikian adanya, telah diwariskan turun temurun di kalangan masyarakat Makassar. Namun disatu sisi tentu saja pranata-pranata sosial budaya tersebut mengalami adaptasi dan penyesuaian seiring dengan perkembangan zaman.
Berkenaan dengan sumber penghidupan dari kegiatan pertanian, terdapat satu praktek yang telah membudaya dan turun temurun dijalankan khusunya di masyarakat suku Makassar yaitu appare-appare.

Appare-pare adalah kegiatan mengumpulkan sisa-sisa panen dari tanaman makanan pokok seperti padi, jagung dan umbi-umbian seusai panen utama dilakukan oleh pemiliknya. Menariknya disini adalah orang-orang yang melakukan kegiatan appare-pare ini biasanya dari kalangan yang tidak memiliki lahan dan sumber-sumber penghidupan yang memadai di kampung atau katakanlah berasal dari kalangan keluarga miskin. Hasil dari mengumpulkan sisa-sisa bulir padi, jagung dan umbi-umbian yang mereka dapatkan dari kegiatan appare-pare lumayan membantu keluarga tersebut setidaknya sebagai penyambung hidup untuk beberapa saat ke depan.

Karena sudah menjadi budaya bersama, maka para pihak yang melakukan appare-pare memiliki kebebasan memilih lahan dimana saja mereka masuki tanpa ada larangan dari pemiliknya, bahkan tidak jarang para pemilik sendiri yang menyampaikan himbauan kepada keluarga miskin untuk ke lahannya melakukan appare-pare sebelum lahan itu digarap kembali untuk tanaman lainnya. Jadi dapat dikatakan bahwa ketika musim panen datang, maka semua keluarga di kampung itu termasuk keluarga yang tidak memiliki lahan dan miskin juga akan menikmati hasil panen. Yang penting mereka mau ke lahan dan sawah untuk appare-pare. Jadi masa panen adalah masa yang ditunggu-tunggu karena disana ada sumber rezeki dan kebahagiaan.

Bila ditelisik lebih jauh maka praktek appare-pare ini memiliki tujuan yang begitu mulia yaitu membantu atau setidaknya meringankan beban keluarga miskin mendapatkan bahan makanan pokok yang legal karena dilindungi oleh budaya dan kearifan lokal setempat. Dengan sendirinya keluarga miskinpun yang tidak memiliki lahan, akan tetap mendapatkan akses terhadap panen dan berdaualat atas pangan dari hasil appare-pare ini.

Disadari atau tidak, sejatinya praktek appare-pare ini merupakan wujud dari jaringan pengaman sosial bagi orang-orang Makassar yang telah mereka lakukan turun temurun dan dilindungi oleh budaya mereka.

Pada awal tahun 1980an praktek appare-pare ini masih sering dijumpai di wilayah kabupaten Gowa, Takalar, Jeneponto dan sekitarnya. Namun dengan makin majunya teknologi pertanian, penggunaan alat-alat tradisional dalam bertani makin berkurang yang berakibat tidak adanya lagi peluang bagi kegiatan appare-pare eksis di masyarakat sehingga di kekinian tidak dijumpai lagi.

Kenapa appare-pare tidak dipraktekkan lagi? Karena aktivitas pertanian yang makin modern sehingga tidak lagi mengandalkan perlatan tradisional dan tenaga manusia. Hampir semua rantai produksi pertanian telah digantikan oleh mesin, mulai dari penyiapan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan hingga panen serta pasca panen sebagai wujud dari pertanian modern yang sarat dengan teknologi.

Penerapan teknologi modern di bidang pertanian sedikit banyak telah merubah pola interaksi sosial dan mata rantai sosial budaya dalam siklus kegiatan bertani dari tahapan persiapan lahan hingga panen.

Beberapa kearifan lokal yang selama ini telah menjadi pakem sosial budaya, akhirnya menjadi tidak relefan lagi dengan perkembangan zaman. Semua aktivitas bercocok tanam khususnya tanaman pangan terutama padi dilakukan oleh mesin, mulai dari penyiapan lahan, menanam padi hingga panen. Hal ini berdampak kepada hilangnya praktek budaya yang berfungsi sebagai jaring pengaman sosial dalam bentuk kearifan-kearifan lokal seperti appare-pare karena aktivitas panen dengan menggunakan alat-alat tradisional seperti pakkatto (anai-anai), pakkai dan lain-lain sebagainya tidak digunakan lagi karena dianggap tidak efisien dari segi waktu dan hasil. Dengan menggunakan alat-alat panen tradisional pakkatto dan pakkai dianggap panen tidak tuntas karena masih menyisakan bulir-bulir padi di sawah, karena itu harus dituntaskan dengan mesin.

Tanpa sadar cara panen dengan dalih penggunaan teknologi modern seperti ini telah menghilangkan harapan dan memutus asa dari para keluarga miskin di kampung-kampung untuk dapat juga menikmati hasil panen. Justru bulir-bulir padi yang masih tersisa itulah yang merupakan secercah harapan bagi keluarga miskin untuk menikmati juga hasil panen dari appare-pare. Harapan keluarga miskin itu telah musnah seiring punahnya praktek appare-pare karena tergilas oleh zaman dan teknologi dalam bingkai modernisasi. Sekarang timbul pertanyaan, apakah modernisasi pertanian itu melahirkan atau setidaknya memikirkan jaring pengaman sosial baru pengganti appare-pare? Wallahu a’lam bissawab.

Penulis dikenal sebagai aktivis
penggerak dialog budaya pada komunitas Sunda Kelapa Heritage/SKH dan Paguyuban Kerukunan Keluarga Gowa

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here