Tena Tolo’ Mate, Kisah Epik Robin Hood I Tolok Daeng Gassing Melawan Belanda

0
2660

Sepatutnya sejarah menorehkan kisah pahlawan dari rakyat jelata yang tak kalah heroik menandingi imperialisme

Kolom Alif we Onggang

Pada dekade 70 dan 80-an di bioskop-bioskop kota Makassar pernah dirajai film-film western, koboi dan silat dengan bintang-bintang beken seperti Jhon Wayne, Roi Rogers, Charles Bronson, Clint Eastwood, hingga Wang Yu dan  Fu Sheng. Penonton terhibur oleh aksi laga idola mereka lantaran tak ada matinya. Saking jagonya, maka disematkan istilah tena tolo’ mate, artinya tak ada jagoan ma ti. Meski dikeroyok dan digempur habis-habisan, penonton merasa enjoi saja menyaksikan sang jagoan hingga akhir karena toh pada akhirnya berlaku adagium tena tolo’ mate.

Dalam film, tokoh protagonis kagak ada matinya, tak pernah ada cerita tolo’na mate, namun sebaliknya di dunia fana kematian adalah keniscayaan. Berbeda halnya dengan kisah legendaris Robin Hood, yang masih silang pendapat, apa dia tokoh rekaan atau memang pahlawan nyata. Yang pasti film Robin Hood adalah tontonan laris dan dikenang sepanjang masa. 

Sebagian percaya bahwa Robin Hood bukanlah mitos. Dengan 100 orang lebih anak buahnya, Robin Hood terkenal sebagai pencuri harta orang-orang kaya kemudian dibagikan kepada orang-orang miskin di Inggris semasa Raja Richard Lionheart di abad pertengahan.

Sebaliknya I Tolok Daeng Gassing (Magassing) bukanlah tokoh fiktif, karena memang beliau benar-benar ada. Jika Robin Hood hidup di abad 12, I Tolok Daeng Gassing malang melintang seusai Perang Gowa Terakhir (Bunduka ri Gowa) pada 1906.

Meski Gowa takluk pada kompeni pada 1906, Belanda mendapat kesulitan sebab banyak bangsawan yang emoh bekerjasama dengannya. Bukan saja dari kalangan berdarah biru, namun kalangan rakyat kecil tak mengenal kata menyerah. Siapa dia kalau bukan I Tolok Daeng Gassing, sang pembela kebenaran, si Robin Hood dari Gowa.   

Boleh jadi, I Tolok meniru kelakukan Robin Hood yang lihai menggarong harta orang kaya, pria kebal dan berjimat ini juga merampok orang-orang kaya Belanda,  untuk kemudian membagi hasil rampokannya kepada rakyat Gowa. I Tolok menjadi pahlawan bagi rakyat kecil dan dicintai pula oleh kalangan bangsawan karena perlawanannya yang tak kenal ampun. Bagi Belanda, I Tolok adalah kerikil dalam sepatu.   

Senyatanya Robin Hood sukses dalam film, maka I Tolok cukup dipentaskan dalam pertunjukan teater karya Rahman Arge. Drama I Tolok pernah dipertontonkan di TIM Jakarta pada 1978 oleh Aspar Paturusi dan disambut hangat kalangan seniman ibu kota. Menarik jika ada sineas yang  tertarik membuat film I Tolok, Robin Hood versi Makassar.

Pagorra Patampuloa

I Tolok berasal dari keluarga petani di daerah Parapa, perbatasan desa Tinggimae Gowa dan Pakkaba Takalar. Sejak bocah I Tolok terkenal berani dan mewarisi ilmu silat titisan ayahnya. Ayahnya lantas menamai anaknya I Tolok karena keberaniannya.

Tumbuh remaja, I Tolok menyaksikan perlakukan bengis Belanda kepada rakyat Gowa. Darahnya membuncah dan balik melawan meski Gowa sudah menyerah pada Belanda.

Pasukan inti I Tolok berjumlah 40 orang, dan gerakan ini digelar “pagorra patampuloa” (perompak  40 orang). Istilah perompak dikenakan kolonial, tersebab mereka mengira gerakan I Tolok hanya gerakan perampok dan pengacau, meski I Tolok sebenarnya adalah  sebuah aksi gerakan yang melakukan perlawanan terhadap penjajah.

Untuk menghancurkan kawanan ini, Belanda menyiapkan pasukan khusus marsose yang dikirim dari Makassar ke Gowa dan Talakar. Namun apa lacur, serdadu marsose kerap pulang dengan tangan kosong karena tidak menemukan I Tolok, seperti dikisahkan Massiara Daeng Rapi dalam Menyingkap Tabir Sejarah dan Budaya Sulawesi Selatan, (1985) dan Nasaruddin Koro dalam buku Ayam Jantan Tanah Daeng, Siri dan Pesse, dari Konflik Lokal ke Peratungan Lintas Batas (2006).

I  Tolok dengan kawanannya menyerang tangsi polisi, kantor pemerintah setempat dan merampas isi kas keuangan daerah. Serdadu Belanda membangun rel kereta api dari kota Makassar melewati Gowa hingga Takalar. Rel sepanjang 40 km itu untuk mengangkut pasukan marsose dengan kereta api dari Makassar ke Takalar, Limbung dan Polongbankeng, untuk membekuk I Tolok. Ini untuk memotong jalur perlawanan I Tolok di sebelah barat dan daerah pegunungan di sebelah timur. Tetapi upaya Belanda tidak mudah, karena I Tolok melakukan perang gerilya sehingga menimbulkan kesulitan dan kerugian di pihak Belanda.

Nasionalisme I Tolok makin menyala mengingat kaum bangsawan dari Gowa, Takalar dan Jeneponto memihak gerakannya. Tapi tak dinyana, yang namanya penghianat sudah ada sejak dulu hingga sekarang. Ulah si penghianatlah yang mengakibatkan I Tolok menemui ajalnya.

Begitulah, pada 1917 Belanda berhasil menangkap I Tolok dan I Rajamang di kampung Kalampak di Polongbangkeng, akibat pengkhianatan bekas pengikutnya bernama I Camanggo yang menunjukkan kepada pasukan Belanda keberadaan I Tolok.

Pun saat ditemukan,  I Tolok dengan sisa-sisa tenaga, masih melakukan perlawanan sengit, akan tetapi lukanya kian parah dan agaknya kehabisan darah, I Tolok tak berdaya dan ia pun disekap. I Tolok bersama I Rajamang dibunuh di Limbung dan mayatnya dipertontonkan kepada penduduk oleh Belanda.

Sebagai akibat dari terbunuhnya I Tolok, maka berangsur reda perjuangan yang berkobar selama tiga tahun menghadapi kolonial sesudah perang tahun 1906 di Gowa. Sejumlah bangsawan Gowa yang diketahui bekerjasama dan membantu gerakan I Tolok diasingkan ke Pulau Jawa seperti Karaeng Katapang, Karaeng Barombong, Karaeng Manjapai, Karaeng Manjailing.

Sejarah sejauh ini hanya menuliskan pahlawan-pahlawan dengan nama agung dan berdarah biru. Sepatutnya sejarah juga menorehkan kisah pahlawan dari rakyat jelata seperti I Tolok Daeng Gassing yang tak kalah heroiknya menandingi imperialisme.

Alhasil, tiada yang abadi, manna tolo’na mate tong.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here