Pemilukada, Pertarungan antar Cukong

0
990
- Advertisement -

Kolom Ruslan Ismail Mage

Kalau meminjam pengertian demokrasi menurut Prof. Sidney Hook (Mahaguru Filsafat New York University) yang mengatakan  suatu bentuk pemerintahan di mana keputusan-keputusan penting pemerintah atau garis kebijaksanaan di belakang keputusan-keputusan tersebut secara langsung atau tidak langsung hanya dapat berlangsung jika disetujui secara bebas oleh mayoritas masyarakat dewasa yang berada dalam posisi diperintah, maka jelas demokrasi merupakan kendaraan paling ideal untuk membawa suatu bangsa menuju masyarakatnya yang adil dan makmur. Karena dari konsep demokrasi seperti ini jelas tersirat bahwa semua kebijakan pemerintah pasti berpihak kepada seluruh rakyat.

​Persoalannya kemudian dalam proses membangun demokrasi, kita justru menemukan fenomena bahwa demokrasi itu hanya berpihak dan menguntungkan kelompok elite saja, baik secara politik maupun ekonomi. Dengan dalil demokrasi yang selalu berpihak kepada kelompok mayoritas, maka hanya orang yang memiliki ekonomi tinggi yang dapat memenangkan persaingan untuk meraih atau membeli kelompok  mayoritas tersebut.

Dari sinilah para cukong mulai bermain dan bertarung memenangkan kandidatnya dalam Pemilukada. Jadi ada alasan pembenarnya kalau dikatakan, Pemilukada itu merupakan pertarungan antar cukong. Sebagaimana pernyataan Prof. Dr. Djohermansyah mantan Dirjen Otda Kemendagri, ada dua sumber dana untuk membiayai Pemilu berbiaya tinggi. Pertama, murni dari kantongnya sendiri. Kedua, sponsor atau cukong-cukong.

Besarnya biaya yang dibutuhkan dalam proses memperebutkan kekuasaan, membuat kandidat kepala daerah membutuhkan dukungan dana dari cukong untuk memenangkan jabatan tersebut. Pengusaha tidak segan mengeluarkan uang puluhan sampai ratusan miliar rupiah sebagai biaya politik untuk mendukung kandidatnya memenangkan pertarungan dalam Pemilukada.

- Advertisement -

Kita bisa bayangkan, berapa banyak uang yang harus dikeluarkan seorang pengusaha untuk mendanai kampanye calon kepala daerah. Sudah pasti semua itu tidak gratis, karena para pengusaha tersebut akan memperoleh balasannya berupa pemberian proyek-proyek yang jumlahnya berlipat-lipat, bila kandidatnya sudah menjadi penguasa pemilik otoritas di daerah.

Dalam bursa demokrasi terkini di republik ini, sulit lagi mengelak untuk tidak mengatakan, Pemilukada sudah menjadi “industri politik” yang membutuhkan banyak modal untuk investasi. Konsekuensi dari semua itu adalah hanya individu atau kelompok pemilik modal banyak yang berpeluang bermain dan menjadi pemenang dalam industri politik Pemilukada.

Hal ini mendapat justivikasi dari Thomas Koten yang mengutip Diamond (1995) yang mengatakan bahwa “kehidupan politik demokratik hanya sebagai ladang perburuan rente ekonomi dan bukan kegiatan produktif. Kekuatan uanglah yang bermain di ladang demokrasi. Kekuatan uang yang dimotori semangat kapitalis telah melumpuhkan kekuatan lain. Orang-orang berkantung tebal adalah pemilik demokrasi, merekalah penguasa lahan-lahan komunikasi publik”.

Lalu bagaimana dengan Pemilukada yang akan digelar serentak Desember 2020 di tengah pandemi covid-19? Kalau berpatokan pada pendapat Diamond di atas, jelas Pemilukada adalah pertarungan antar cukong!

Penulis : Akademisi Ilmu Politik, dan Founder Sipil Institute Jakarta

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here