‘Manusia Gurun’, Pendidikan Nasional, Kita

0
2055
- Advertisement -

Kolom Imran Duse

DI PENGUJUNG Ramadan lalu, tatkala kumandang takbir, tahlil, dan tahmid bergema menguncup cakrawala, warganet terkesiap oleh status facebook Budi Santosa Purwokartiko (BSP), guru besar yang juga Rektor Institut Teknologi Kalimantan (ITK) Balikpapan.

Tangkapan layar dari tulisan 241 kata itu pun lekas viral hingga menuai kecaman publik. Di situ, BSP menyajikan pengalamannya sebagai pewawancara 14 mahasiswa (12 di antaranya perempuan) yang mengikuti program beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).

Sebagaimana telah beredar luas, BSP menulis kekagumannya kepada 12 mahasiswi itu: “tidak satu pun menutup kepala ala manusia gurun. Otaknya benar-benar open mind. Mereka mencari Tuhan ke negara-negara maju… bukan ke negara yang orang-orangnya pandai bercerita tanpa karya teknologi.”

BSP juga menggarisbawahi, bahwa di antara mereka, “tidak ada satu pun yang hobi demo”. Mereka pun “tidak bicara soal langit atau kehidupan sesudah mati.” Dan, “pilihan kata-katanya juga jauh dari kata-kata langit: insaallah, barakallah, syiar, qadarullah, dan sebagaianya.”

- Advertisement -

Tak ketinggalan, sejumlah pejabat publik merespon tulisan yang memicu kegaduhan itu. Menkopolhukam Mahfud MD bahkan berkomentar cukup keras: “salah besar”. Sementara Ketua Komisi VIII DPR-RI, Yandri Susanto, menganggapnya keterlaluan dan meminta Menristek mencopot dari jabatannya sebagai rektor. Dikarenakan telah “memupuk kebencian dan berbau SARA.”

Hal memilukan, ialah hingar-bingar tersebut terjadi di tengah peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang jatuh pada 2 Mei 2022 (yang juga bertepatan dengan 1 Syawal 1443-H, di mana umat Islam merayakan Idul Fitri).

Dan hanya berselang sebulan setelah Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan tanggal 15 Maret diperingati sebagai International Day to Combat Islamophobia (Hari Internasional untuk Memerangi Islamophobia).

Resolusi PBB tersebut diadopsi melalui persetujuan 193 negara (tentu saja termasuk Indonesia). Dan ini mengingatkan resolusi tahun 1981 yang menyerukan “penghapusan segala bentuk intoleransi dan diskriminasi berdasarkan agama atau kepercayaan.”

Seruan itu menunjukkan gagasan mengekang Islamophobia telah tumbuh menjadi suatu keprihatinan kolektif. Masyarakat internasional bahkan memberi perhatian dan mendorong semua pihak meningkatkan kesadaran untuk memerangi Islamophobia.

Pendidikan Nasional

Selain karena diksi yang berbau rasis dan terkesan Islamophobia, berjibun cercaan netizen nampaknya juga karena narasi itu diucapkan seorang guru besar (dan Rektor PTN). Di mana selaiknya justru mengagih energi positif demi menuntun perjalanan bangsa yang –entah kenapa— sangat berarti bagi kita.

Dalam catatan perjalanan itu, dunia kampus sejatinya adalah penjaga moral bangsa. Dunia pendidikan (termasuk lingkungan pesantren) semenjak awal mengawal keberadaban kehidupan kebangsaan kita. Karena itulah, pembahasan (Rumusan) Undang-Undang senantiasa bersandar pada naskah akademik yang umumnya datang dari kampus.

Saya tiba-tiba teringat Prof. Koesnadi Hardjasumantri, Rektor Universitas Gajah Mada (UGM) yang begitu dicintai mahasiswa. Dalam sebuah kesempatan, Prof. Koesnadi bahkan membarengi mahasiswanya saat demo menyampaikan aspirasi ke pemerintah.

Tapi bukan cuma itu. Prof. Koesnadi juga dikenal sebagai guru besar, dengan “otak besar” dan gagasan bernas. Dari beliaulah lahir konsep mengenai Kuliah Kerja Nyata (KKN) –yang sampai saat ini terselenggara, dengan berbilang modifikasi. KKN adalah jalan agar mahasiswa tidak terpisahkan dari jeritan rakyat dan lingkungannya.

Melalui program itu, diharapkan kepribadian mahasiswa bertumbuh menjadi pemimpin sejati. Yakni yang memiliki empati dan peduli terhadap permasalahan yang terjadi di masyarakat.

Tahun 1989, Prof. Koesnadi dinobatkan menjadi Tokoh Yogyakarta, sebagai apresiasi atas kemampuannya memadukan pikiran ilmiah dengan kehidupan ‘wong cilik’. Ia menciptakan kawasan bagi para pedagang kaki lima di lingkungan kampus UGM. Namanya pun diabadikan menjadi nama gedung Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH) UGM.

Hemat kita, demikianlah seyogianya praktik kehidupan kampus berlangsung. Ini sejalan dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yang merupakan turunan dari UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Dalam regulasi itu, disebutkan tujuan pendidikan nasional: “untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”

Imtak dan Iptek

Dalam kaitan Hari Pendidikan Nasional, agaknya ada kebutuhan untuk mengaktifkan kembali perintah undang-undang itu. Bahwa keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah tujuan pendidikan nasional kita. Memang, itu saja, tidaklah mencukupi. Mesti dibarengi dengan kapabilitas, kreativitas dan kemampuan adaptif.

Mantan Presiden B.J. Habibie bahkan sejak tahun 1990-an telah mempopulerkan apa yang disebutnya sebagai ‘Imtak’ (iman dan takwa) dan ‘Iptek’ (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi).

Saya kebetulan pernah berkesempatan mewawancarainya, pada suatu siang di tahun 1994. Masa itu, saya masih aktif di pers kampus. Dan pemilik 46 hak paten teknologi dunia itu baru saja menyampaikan keynote speaker di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).

Masih segar dalam ingatan saya bagaimana Bapak Teknologi Indonesia itu secara lugas melukiskan pentingnya penguasaan iptek. Ia memberi contoh: dua mobil bertabrakan. Beliau saat itu menyebut merk. Tapi kita sebut saja mobil A (seharga Rp 200 juta) dan mobil B (seharga Rp 2 milyar).

Setelah bertabrakan, ternyata harga kedua mobil itu menjadi sama (karena dihargai sebagai besi tua). Tamsil ini menunjukkan pentingnya penguasaan ‘iptek’. Tetapi juga, pada saat bersamaan, memperlihatkan signifikansi akan ‘imtak’.

Tanpa ‘imtak’, maka ‘iptek’ akan berjalan asimetris dan berpotensi membuahkan nestapa baru yang destruktif terhadap kemanusiaan secara universal. Mengapa? Karena ‘iptek’, hanya piawai menyediakan know-how (keterampilan teknis): yakni sebuah cara tanpa tujuan.

Inilah yang menjelaskan mengapa inovasi genetic engineering justeru membuka pintu penyalahgunaan baru: ketidakseimbangan ekosistem, reaksi alergis, senjata biologis, dan seterusnya. Juga pencapaian di bidang nuklir, teknologi digital, dan era perdagangan bebas yang melahirkan momok baru.

Mungkin karena itu, angka bunuh diri di Jepang –negara dengan pencapaian iptek mencengangkan– cenderung meningkat. Sebuah laporan menunjukkan saja, angka bunuh diri bertambah 3,7% menjadi 20.919 orang. Angka ini jauh melampaui jumlah kematian 3.460 orang akibat Covid-19 (periode Januari-Oktober 2020).

Tapi, mungkin juga kita perlu membaca kembali Charles Darwin. Dalam otobiografinya yang enak dibaca, ia antara lain menulis tentang betapa berbahayanya jika manusia kehilangan ‘kekayaan rohaniah’.

Darwin menulis (kita pinjam dari E.F. Schumacher, 1973): “Hilangnya cita rasa itu berarti lenyapnya kebahagiaan, barangkali merusak kecerdasan dan lebih-lebih lagi mungkin berbahaya bagi moral, karena hal itu melemahkan kehidupan emosi kita.”

Agaknya, cita rasa itu adalah ‘imtak’. Albert Einstein, genius abad XX, tanpa ragu menyebutnya agama, saat menyampaikan ungkapannya yang terkenal itu: “Ilmu pengetahuan tanpa agama adalah pincang. Agama tanpa ilmu adalah buta.”

Dan kita, sebagai bangsa, senyatanya tak pernah kehilangan itu. Ia bahkan bersemayam dalam konstitusi negara. Ia juga ditulis, begitu tegas, dalam undang-undang Sistem Pendidikan Nasional.

Kita hanya kudu mengaktifkannya kembali; di kampus dan di sekolah-sekolah. Termasuk untuk intelektual muda yang akan berangkat ke luar negeri dengan beasiswa negara. Barangkali itu!

Imran Duse Mahasiswa Pascasarjana Komunikasi dan Penyiaran Islam UINSI Samarinda

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here