Manjur Lho, Pasien Covid-19 Bisa Sembuh Lewat Pendekatan Spritual

0
697
- Advertisement -

PINISI.co.id- Terapi CBT (cognitive behavioral therapy) atau terapi kognitif perilaku yang berbasis spiritual dalam pengobatan pasien Covid-19 kerap dipakai Psikiater dari Persatuan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), dr. Era Catur Prasetya, Sp.KJ dalam menangani pasiennya.

Terapi perilaku kognitif adalah salah satu jenis psikoterapi, yang mengombinasikan terapi perilaku dan terapi kognitif. Kedua terapi tersebut bertujuan mengubah pola pikir dan respons pasien, dari negatif menjadi positif. Pasien akan belajar cara berpikir positif, sehingga akan menghasilkan emosi dan perilaku positif pula.

Era menyakini terapi ini bisa berperan membantu memulihkan depresi pasien. Tidak dipungkiri pasien Covid-19 (atau penyakit lainnya) bisa saja mengalami depresi. Orang bisa mengalami depresi tidak hanya karena peristiwa yang sangat bermakna tetapi juga ada beberapa faktor genetik dan kerentanan psikologis yang ikut berperan. 

“CBT ini berorientasi meningkatkan faktor protektif pasien. Salah satu cara untuk membantunya pulih dari depresi dengan meningkatkan faktor protektif. Salah satu faktor protektif yaitu spiritualnya,” kata dr. Era saat berbicara dalam webinar “Pendekatan Kesehatan Spiritual Penanganan Pasien dengan Covid-19”, Jumat (12/2/2021) malam. 

Webinar ini diadakan oleh Yayasan Gerakan Masyarakat Sadar Gizi, Bakornas Lembaga Kesehatan Mahasiswa Islam (LKMI-HMI), Komunitas Literasi Gizi, dan Departemen Kesehatan BPP KKSS. 

- Advertisement -

Dalam pengantarnya, Ketua Departemen Kesehatan BPP KKSS dr. Zaenal Abidin, M.HKes, menyampaikan jati diri manusia yang paling sejati dan asasi adalah spiritual atau ruhaninya. Karena itu, sering pula manusia itu disebut makhluk spiritual atau ruhani. Disebut paling asasi, karena tanpa spiritual atau ruhani, manusia tak ubahnya seperti tumbuh-tumbuhan atau hewan.

“Berdasarkan etimologinya, spiritual berarti sesuatu yang mendasar, penting, dan mampu menggerakkan serta memimpin cara berpikir sebagai penentu kebahagiaan dan bertingkah laku seseorang,” kata dr. Zaenal yang juga Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI) periode 2012-2015, 

Sepuluh Sesi Terapi CBT

Dikatakan, ada 10 sesi dalam tatalaksana terapi CBT. Pertama, membina raport. Pasien melaporkan merasa terbebani dengan motivasi, kata-kata “semangat”, “ayo bisa” di saat sedang lelah. Hal yang paling dibutuhkan pasien justeru rasa percaya bahwa kondisinya tidak mudah.

Kedua, aktivasi perilaku. Tenaga kesehatan bisa menunjukkan perilaku pasien bisa mempengaruhi kognitifnya terhadap masalah. Sesi ketiga hingga keenam, mengidentifikasi pikiran yang tidak membantu, lalu menantang pikiran yang tidak bermanfaat, diikuti menghadapi kehilangan, beradaptasi dengan ketahanan spiritual dan emosi negatif.

Sesi ketujuh hingga kesembilan yakni bersyukur dan mengembangkan interaksi sosial dan spiritual, kemudian altruisme dan kemurahan hati, seperti refleksi diri dan perilaku yang baik, serta bahasan terkait stres dan pertumbuhan spiritual. 

Kesepuluh atau sesi terakhir, harapan dan pencegahan kekambuhan dengan mengembangkan tujuan, memahami arti cobaan kehidupan dan menemukan makna hidup.

Terapi perilaku kognitif ini akan menggali perasaan, pengalaman, dan emosi yang tidak menyenangkan. Karena itu, pasien mungkin menangis atau marah selama terapi berlangsung.

Era menegaskan, kunci dalam CBT adalah journaling atau menulis jurnal menggunakan kertas dan pulpen untuk mengembalikan seseorang pada kesadarannya. “Kami berikan pengalaman baru, ingatan baru bahwa cara menghadapi trauma akan berbeda, dengan melupakan trauma,” tuturnya. 

CBT berawal dari prinsip bahwa suatu masalah bukan disebabkan oleh situasi, tetapi dari bagaimana seseorang menginterpretasi masalah tersebut dalam pikirannya. Hal ini kemudian berpengaruh pada perasaan dan tindakannya.

Itu sebabnya, terapi ini banyak digunakan untuk mengatasi berbagai masalah kejiwaan, termasuk stres, depresi, dan gangguan kecemasan. 

Dekan Fakultas Kedokteran UPN “Veteran” Jakarta  Dr. dr. Taufik Pasiak, M.Pd, M.Kes, yang juga pakar Neurospiritual,  menyampaikan pendekatan kesehatan jasmaniah atau medis, pasien dengan Covid-19 (atau penyakit lainnya) perlu juga ditangani dengan pendekatan kesehatan spiritual untuk memulihkan kondisi tubuhnya kembali dalam keadaan sehat. 

Karena hakikat sehat itu sendiri meliputi sehat secara fisik, mental, dan sosial sebagaimana merujuk definisi sehat WHO, UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan UU. No.18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, ketiganya menyatakan sehat atau kesehatan itu bukan hanya menyangkut sehat fisik atau ragawi, melainkan juga mental dan sosial.

Bahkan UU Kesehatan dan UU Kesehatan Jiwa sendiri telah menyempurnakan dengan mencantumkan aspek spiritual. Hal ini berarti, orang yang tubuhnya sedang sakit tak menutup kemungkinan mental, spriritual dan sosialnya pun turut terganggu. Begitu pula sebailknya.

Pakar neurosains Manado ini mengatakan, spiritualitas tidak hanya dihubungkan dengan aspek keimanan manusia kepada Tuhan saja. Spiritualitas juga menjadi aspek penting dari kesehatan karena memberi kontribusi sebagai obat dan  penyembuh dari segala macam penyakit.

“Spiritualitas telah menjadi bagian terpenting dari kesehatan. Bahkan spritualitas juga memiliki daya penyembuh yang sangat kuat. Spiritualitas memiliki efek mengoptimalkan kesehatan, menumbuhkan integritas dan jalan bagi kebahagiaan,” tuturnya.

Menurutnya, menangani pasien dengan pendekatan kesehatan spiritual berpengaruh terhadap perawatan spiritual sehingga meningkatkan derajat kesehatan pasien. Pendekatan ini mampu mendorong perilaku sehat pasien, memotivasi pasien untuk sembuh

Spiritulitas terbukti memiliki nila-nilai yang penting bagi peneguhan kesehatan mental. Artinya, terdapat kaitan sangat kuat antara nilai-nilai spiritualitas dan kesehatan mental,” jelas penulis buku “Tuhan dalam Otak Manusia: Mewujudkan Kesehatan Spiritual Berdasarkan Neurosains“, dan sejumlah buku lainnya ini.

Kesehatan spiritual mencakup mental yang sehat, ketenangan hati, pikiran atau perasaan dari rasa cemas, was-was dan ketakutan yang berlebihan. Juga mencakup bersihnya hati dari penyakit-penyakit hati seperti iri, dengki, sombong, takabur, atau lainnya. 

“Yang paling penting lagi yaitu dekatnya individu dengan sang penciptanya melalui rutinitas ibadah ritual keagamaan,” katanya.

Sementara itu, psikolog Dinuriza Lauzi, S.Psi, M.Psi menyampaikan, pendekatan spiritual. bisa menjadi cara yang ampuh dalam proses perawatan penyembuhan pasien. Pendekatan spiritual mengintegrasikan dimensi psikologis dan spiritual untuk menyembuhkan, dengan memberikan pertumbuhan pribadi yang lebih positif. 

“Kalau kita perhatikan pendekatan pasien dengan Tuhannya dengan menjalankan keyakinannya dapat mendorong seseorang atau pasien menjadi lebih baik,” tutur Nisa yang juga pakar psikospiritual saat berbicara dalam webinar yang sama.

Menurut  Dinuriza Lauzi, proses pendekatan spiritual penyintas Covid-19 memberikan pengaruh untuk menenangkan jiwa dan menenangkan gejolak ketakutan. Sehingga diharapkan, ketika pasien harus menghadapi suatu tindakan medis seperti operasi, maka pasien sudah memiliki kepasrahan total kepada pencipta.

“Hal semacam ini yang muncul dari pasien, seperti pasrah dan tidak percaya. Bahkan merasa down. Kuncinya di self talk, adanya dialog vertikal antara pasien dengan Tuhannya. Di sinilah pasien curhat,” ungkap psikolog yang aktif dalam kegiatan Lembaga Perlindungan Korban dan Saksi (LPSK), ini.

Sejauh ini, dia melihat pendekatan spiritual untuk pasien Covid-19 memiliki banyak kesembuhan. Karena pendekatan tersebut mendekatkan diri lewat ketenangan dari gejolak. Pasien pun mulai menerima tiap kondisi dengan penuh keyakinan, seperti berkomunikasi lewat hubungan vertikal sesuai dengan keyakinannya.

Psikolog yang akrab disapa Niza ini menyampaikan ada empat hal yang bisa dilakukan dalam penanganan pasien Covid-19 (dan non Covid-19). Pertama, memberi dorongan doa yakni bagaimana memberikan program pada pasien atau sebaliknya, pasien membuat program untuk dirinya sendiri.

Tenaga kesehatan di rumah sakit bisa memberikan semacam motivasi pada pasien agar melakukan program pada dirinya sendiri agar dia merasa memiliki ketenangan. Bisa dengan ayat-ayat suci al-qur’an atau kitab suci lainnya.

Kedua, afirmasi yakni bagaimana menyampaikan berulang-ulang setiap bangun tidur misalnya hadist apabila pasien muslim untuk meningkatkan ketenangan dan harapannya. 

Ketiga, self talk yakni berdialog antara pasien dan Tuhan-nya misalnya permohonan agar disembuhkan Sang Pencipta. Sesi ini difokuskan pada bagaimana perasaan secara psikologis seorang pasien menumbuhkan pengalaman spiritualnya.

Terakhir, meditasi yang biasanya dimaknai dengan duduk bersila, memejamkan mata, menenangkan diri misalnya dengan mendengarkan suara burung berkicau dan sebagainya. 

Dalam konteks pasien Covid-19, mereka bisa diajak berdzikir bila muslim sebagai bentuk praktek meditasinya atau memanjatkan doa Rosario bagi pasien beragama Katolik.

Aktivitas ibadah yang dijalankan dengan sungguh-sungguh, ternyata bukan hanya menggambarkan simbol kualitas ibadah seseorang kepada tuhannya. Dari sisi medis, kekusyukkan beribadah ternyata mampu menyeimbangkan gejolak stress dan emosi seseorang. Itulah mengapa ketika usai beribadah, pikiran dan hati seseorang serasa  lebih tenang, sementara emosi menjadi lebih stabil.

Adapun unsur-unsur spiritualitas meliputi, kebutuhan spiritual dan kesadaran spiritual, dan kesehatan spiritual. Bahkan ada pula istilah jalan spritual, ikatan spiritual, dan lain-lain. Karena itu, dimensi spiritual itu merupakan gabungan antara unsur psikologikal, fisiologikal, sosiologikal, dan spiritual. (Tety Polmasari)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here