Idul Fitri dan Ujian Nasional Pengendalian Covid-19

0
865
- Advertisement -

Kolom Zaenal Abidin

Sabtu, 8 Mei 2021 ini, Yayasan Gerakan Masyarakat Sadar Gizi, Departemen Kesehatan BPP KKSS, Literasi Sehat Indonesia (LiSan), Komunitas Literasi Gizi (Koalizi), Bakornas Lembaga Kesehatan (LKMI-HMI), dan www.sadargizi.com, menyelenggarakan webinar bertajuk , “Idul Fitri dan Ujian Nasional Pengendalian Covid-19”. Tema ini merupakan kelanjutan dari tema pekan lalu, “Kontroversi Mudik Lebaran Saat Covid-19 Belum Persiun”. Konsep webinar tetap merupakan forum sedekah ilmu dan berbagi pengalaman dan meniru fungsi khutbah Jum’at atau ibadah pekan lain.

Nara sumber yang dalam webinar ini terdiri dari:  dr. Ulul Albab, Sp.OG. (Tim Mitigasi Covid-19 PB IDI), Dr. dr. Andi Alfian Zainuddin, M.K.M. (Dosen Fakultas Kedokteran Unhas Makassar) dan Dr. dr. Muh. Khidri Alwi, M.Ag. (Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI Makassar). Selanjutnya kita akan ditemani oleh tiga penanggap yang kompeten, yakni dr. Ardiansyah Bahar, M.K.M. (Dir. Eksekutif LK2PK/ Dir. Bakornas LKMI PB HMI periode 2013-2015), dr. Taufan Ikhsan Tuarita (Praktisi Kesehatan/ Dir. Bakornas LKMI PB HMI periode 2016-2018) dan dr. Fachrurrozy Basalamah (Dir. Bakornas LKMI PB HMI periode sekarang). Webinar akan dipandu oleh saudara Ns. Sarifudin, M.Si., dari Litersi Sehat Indonesia.

Pada webinar pekan lalu, saya telah menyampaikan dalam sambutan pengantar bahwa perlu ada  penyamaan pemahaman di antara komponen bangsa terkait dengan pandemi. Karena itu, pemerintah sebagai wakil negara harus mengoordinasikan penyamaan persepsi ini. Dan yang pertama kali yang harus menyamakan persepsi adalah kalangan pemerintah sendiri. Bila di kalangan pemerintah sendiri tidak satu persepsi sehingga masing-masing mengeluarkan kebijakan maka dapat dipastikan kebijakannya pun berbeda satu dengan yang lain. Rakyat tentu jadi bingung mau ikuti kebijakan yang mana. Akibat jangka panjangnya, rakyat melakukan penolakan. Kepercayaan rakyat kepada pemerintah dapat merosot.

Penyamaan persepsi berikut adalah rakyat dengan rakyat sendiri yang difasilitasi oleh tokoh masyarakat atau tokoh agama. Selanjutnya penyamaan persepsi antara pemerintah dengan rakyat yang dapat diwakilkan kepada tokoh masyarakat atau tokoh agama.

- Advertisement -

Persepsi apa yang perlu disamakan? Persepsi bahwa pandemi Covid-19 adalah wilayah dari Upaya Kesehatan Masyarakat. Ia merupakan urusan utama dari negara (Public Goods). Pandemi bukan wilayah dari Upaya Kesehatan Perorangan. Pandemi bukan urusan pribadi warga negara secara perorangan (Private Goods). Pemerintah tidak boleh lepas tangan dan menyerahkan urusan ini kepada rakyat sebagai warga negara. Dan rakyat pun tidak boleh mengambil alih serta menganggap sebagai urusan pribadinya. Apalagi berkata, “ini urusan gue, terserah gue, yang sakit gue, dst.” Karena itu, pendekatan yang seharusnya digunakan sejak awal adalah pendekatan Upaya Kesehatan Masyarakat. Di sini pemerintah harus menjadi tokoh utama dan “garda” terdepan melalui regulasi dan strategi kebijakan yang betul-betul tepat, disertai serta dukungan dana cukup.

Sebagai garda terdepan pemerintah harus berupaya keras untuk mencegah semakin banyaknya rakyat yang sakit. Pembatasan mobilisasi warga harus dilakukan dengan regulasi yang jelas, tegas, jujur, terbuka dan tidak membeda-bedakan antarwarga negara. Juga tidak membeda-bedakan apakah warga negara Indonesia atau orang asing. Di sini berlaku prinsip “fairness”, berkeadilan. Di dalam ajaran Islam adil itu lebih dekat dengan takwa yang menjadi tujuan diwajibkannya puasa.

Berkaitan dengan kebijakan public goods dan prinsip fairness, kita perlu belajar dari kisah Seorang Raja Yang Mengadili Dirinya Sendiri. Raja adil dan bijaksana itu bernama La Manusaak To Akkarangeng Datu Soppeng, memerintah pada pertengahan abad XVI. Ketika itu negeri Soppeng dilanda bencana kemarau panjang, padi merebah dan gagal penen. Menurut kepercayaan di Tanah Bugis pada masa itu, bila negeri dilanda bencana maka pasti disebabkan oleh raja atau petinggi kerajaan atau pemangku adat atau salah satu di antaranya yang melakukan kejahatan. Tergeraklah Raja La Manusaak To Akkarangeng Datu Soppeng memerintahkan orang kepercayaannya melakukan penyelidikan terhadap petinggi kerajaan dan pemangku adat. Hasilnya, tidak satu pun petinggi kerajaan dan pemangku adat melakukan kejahatan seperti  korupsi, memeras, memperkosa, dan lain-lain. Karena itu, La Manussak To Akkarangeng menarik kesimpulan bahwa pasti dirinyalah pelaku kejahatan yang melanggar adat itu. Teringatlah baginda Raja akan barang temuan dahulu, yang tidak sempat dilaporkan kepada dewan adat.

Raja La Manusaak To Akkarangeng kemudian mengumumkan kepada rakyat, jangan lupa minggu depan bakal ada pengadilan di Balai Arajang, mengadili pelaku sumber bencana. Dan, yang membuat rakyat tercengang karena hakim pada pengadilan itu adalah Raja La Manussak sendiri. La Manussak pula yang bertindak sebagai Jaksa penuntut, saksi, dan terdakwanya. Rakyat menyimak dengan baik proses pengadilan itu. Rakyat pun mendengar putusan hakim dengan hikmat, mengharap bencana Negeri Soppeng segera berakhir. Saat putusan pengadilan dibacakan rakyat kembali tercengang, sebab Hakim La Manussak memutuskan bahwa La Manussak Datu Soppeng telah bersalah. Karena itu, hakim menjatuhkan hukuman kepada La Manussak To Akkarangeng Datu Soppeng untuk menyembelih kerbau ternak terbaiknya, kemudian membagikan  dagingnya kepada rakyat.

Bagi Raja Lamanussak To Akkarangeng Datu Soppeng aturan dan tatanan adat wajib ditegakkan. Siapa pun yang bersalah melanggar adat wajib dijatuhi hukuman secara adil, tanpa pandang bulu. Sekali pun yang melanggar adat itu adalah raja yang sedang berkuasa seperti dirinya. Sebab bila aturan dan tatanan adat tidak ditegakkan secara adil maka itu adalah bentuk kesewenang-wenangan, menjadi salah satu sebab negeri dilanda bencana. Untuk diketahui bahwa bencana adalah urusan masyarakat, urusan rakyat secara keseluruhan. Bukan urusan pribadi raja atau pribadi rakyat secara perorangan. Karena itu, negara harus mengurus dan membebaskan rakyat dari malapetaka itu.

Kembali ke pandemi Covid-19 yang juga bencana merupakan urusan publik, urusan rakyat secara keseluruhan. Tentu pula harus diurus dengan oleh oleh negara dengan sebaik-baiknya. Program “tracing” dan “testing” harus dilakukan secara aktif. Tidak boleh ada yang berkata program “tracing” dan “testing” tidak berjalan dengan baik karena kekurangan tenaga. Sebab, bila negara serius menjalankan kewajiban melindungi rakyatnya tentu akan memenuhi kecukupan dananya. Bila dana tersedia maka tenaga pun dapat diadakan atau dilatih. Makanya, kenapa pandemi Covid-19 ini menjadi urusan negara (Public Goods)? Karena membutuhkan dana besar, regulasi dan strategi kebijakan yang tepat, yang tidak mungkin dapat disediakan oleh rakyat secara individu sebagai warga negara.

Pada awal Ramadhan ada tiga hal yang cukup banyak diberitakan berkaitan dengan pandemi Covid-19, yakni: 1) Badai Covid-19 di India yang dipicu oleh beberapa faktor utama, antara lain: pemilukada, perayaan keagamaan, pelonggaran protokol kesehatan, euforia vaksin, orang desa kembali ke kota untuk bekerja atau bisnis tanpa mengindahkan protokol kesehatan, adanya mutasi virus. 2) Informasi adanya varian India masuk ke Indonesia. 3) Terjadinya klaster perkantoran.

Kini menjelang Idul Fitri, setidaknya terdapat tiga issu yang cukup menarik perhatian, yakni: 1) Terjadinya mobilitas warga dari kota ke kampung halaman maupun mobilitas lain yang dapat menimbulkan kerumunan, serta tidak ditaatinya protokol kesehatan. 2) Bertambahnya daerah penemuan varian virus baru. 3) Masuknya orang asing (WNA) ke Indonesia seperti dari Cina sebagai TKA dan dari India sebagai wisatawan manca negara. Ketiga masalah tersebut sangat berpotensi menambah masalah dan juga perolehan Covid-19 di Tanah Air pasca Idul Fitri. Selain tiga masalah tersebut, terjadi silang pendapat yang kurang sehat di tengah masyarakat berkaitan perbedaan perlakuan penerapan aturan mobilitas manusia. Di mana orang WNI dilarang mudik lebaran sementara WNA dibolehkan secara bebas masuk ke Indonesia dengan berbagai keperluan.

Terkait mobilitas warga dari kota menuju ke kampung halaman, sebagian orang menolak dikatakan mudik. Sebab mudik dilarang oleh pemerintah. Dan mudik yang dilarang pemerintah sudah ditentukan batas atau kurun waktunya. Sementara warga yang bergerak menuju ke kampung halaman terjadi di luar batas waktu yang ditentukan dan dilarang pemerintah. Sebagian lagi menyebut dirinya pulang kampung. Ada pula yang menyebut berwisata religius, silaturahim keluarga, dan seterusnya. Sekadar untuk membedakan dengan istilah mudik yang dilarang oleh pemerintah.

Pada webinar pekan lalu juga telah dibahas bahwa bila orang perkantoran dan anggota keluarganya termasuk orang tanpa gejala (OTG), lalu melakukan perjalanan menuju ke kampung halaman apapun istilahnya, maka mereka berpotensi menulari sepanjang perjalanan. Berpotensi menulari keluarga di kampung halaman. Sehingga jadilah Lebaran Idul Fitri, hari raya umat Islam tertuduh sebagai penyumbang meningkatnya kasus Covid-19. Walau, pengaruh bebasnya orang asing (WNA) masuk ke Tanah Air dan makin meluasnya penularan varian baru tidak bisa diabaikan begitu saja.

Karena secara kebetulan bertepatan momentum Lebaran Idul Fitri di mana terjadi mobilitas  warga menuju kampung halaman, tentu yang gampang dijadikan “kambing hitam” adalah momentum hari raya umat Islam ini. Oleh sebab itu, sebaiknya umat Islam yang telah berpuasa sebulan penuh tetap menahan diri demi menjaga kehormatan Hari Raya Idul Fitri ini. Di sisi lain, pemerintah pun harus bekerja keras menjadikan momentum ini sebagai “Ujian Nasional” bagi upaya pengendalian Covid-19 tahun ini.

Bila pasca Lebaran tidak terjadi lonjakan kasus berarti pemerintah lolos ujian. Namun, jika terbukti terjadi peningkatan kasus, maka boleh jadi nilai ujian pemerintah rendah. Atau bisa saja tidak lulus dan akibatnya, pemerintah harus mengulang dari awal. Mengulang dari awal dapat dikatakan amat berat. Upaya yang harus dilakukan bisa jadi beberapa kali lipat dibanding upaya yang telah dilakukan sebelumnya. Upaya tenaga kesehatan dan tenaga medis pun amat berat.

Bila pemerintah sebagai “garda” terdepan tidak lulus ujian nasional pengendalian Covid-19 pada momentum Lebaran Idul Fitri ini dapat dipastikan bahwa tenaga medislah yang paling berat bebannya. Sebab tenaga medislah yang merupakan harapan terakhir atau “garda” terakhir (bukan garda terdepan) yang harus berhadapan dengan orang sakit dan penyakit menular. Potensi tenaga medis untuk tertular sangat besar, lebih besar dari warga negara yang lain. Terbukti dengan banyaknya tenaga medis yang sudah meninggal karena Covid-19. 

Perasaan jenuh dan dan was-was menghadapi orang sakit dan penyakit, sering menghinggapi tenaga medis ini. Sekali pun sudah menggunakan alat pelindung diri (APD ) berlapis-lapis, tetap perasaan was-was itu muncul. Jadi jangan salah, tenaga medis pun dapat merasa jenuh dan was-was, sama seperti atau bahkan lebih dibanding warga negara lainnya. Rasa was-was tentu makin bertambah bila sang garda terdepan tidak mampu menahan laju varian India atau varian baru lain. Mengapa? Sebab varian baru belum tentu sama gejalanya varian sebelumnya. Begitu pula dengan terapi yang telah digunakan selama ini belum tentu mempan terhadap varian baru itu. Wallahu a’lam bishawab.

(Penulis adalah Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia, periode 2012-2015 dan Pendiri Yayasa Gerakan Masyarakat Sadar Gizi)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here