TNI 75 Tahun, Jenderal M. Jusuf, Panglima yang Dicintai Rakyat dan Disayangi Prajurit

0
4885
Menhankam/Panglima ABRI JenderalM.Jusuf menyambangi rakyat di berbagai tempat kunjungannya.
- Advertisement -

PINISI.co.id-  Mungkin hanya Jenderal Sudirman dan Jenderal M. Jusuf yang dicintai rakyat dan disayangi prajurit.

Meski berdarah bangsawan turunan Raja Kajuara Bone, Jusuf yang bernama Andi Muhammad Jusuf Amir mencopot gelar Andi-nya pada 1950-an. Saat ia meninggal Jusuf lebih memilih di pemakaman keluarganya ketimbang di Taman Makam Pahlawan.      

Jusuf adalah tokoh sentral yang paham dengan rinci peristiwa 11 Maret 1966 (Supersemar). Pria kelahiran Bone Selatan, 23 Juni 1928 ini merupakan aktor dari banyak peristiwa, sebutlah Permesta, kasus Andi Selle dan pemberontakan Kahar Muzakkar. Pada zaman Orde Baru, Jusuf berperan penting dalam peralihan era kepemimpinan dari Soekarno ke Soeharto.              

Dalam perjuangannya di Yogyakarta, Jusuf menjadi ajudan kesayangan  Letkol Kahar Muzakkar, yang kelak berseberangan secara ideologis. Ia selanjutnya menjadi seorang patriot yang loyal kepada republik dan berhasil membekuk Belanda dan komunis di Jawa dan Sulawesi.

Tahun 1955 ia ke Amerika Serikat mengikuti Infantery Officer Advanced Cource di Fort Benning, Georgia.

- Advertisement -

Andaikata dia tidak ditarik oleh Presiden Soekarno untuk menjadi Menteri Perindustrian, mungkin karirnya mentok sebagai Pangdam XIV Hasanuddin. Tak ayal, Jusuf merintis pembangunan pertambangan nikel di Soroako, pabrik kertas  Gowa, pabrik semen Tonasa hingga PLTU Tello, meski waktu itu ia adalah seorang Pangdam.   

Gaya kepemimpinannya, di bidang sipil mencerminkan seorang leader dan manajer sekaligus. Ia tipe pejabat yang rendah hati, dan pekerja keras. Visi dan misi yang dicanangkannya dalam Departemen Perindusrian, menghidupkan dan membangun industri yang mendukung sektor pertanian.

Jusuf cenderung mengandalkan kewibawaan dan kejujurannya untuk menggerakkan roda birokrasi  di Departemen Perindustrian.  Karena itu tidak ada yang berani menyeleweng dari contoh yang diberikan Jusuf.

Lebih dari itu, Jusuf menolak segala pemberian dalam bentuk apapun,   termasuk konglomerat. Sewaktu ia ingin berobat ke Australia, utusan Presiden Soeharto menemuinya dan hendak menanggung biaya pengobatannya, akan tetapi Jusuf menyampaikan terima kasih dan meminta sang utusan menyimpan saja bantuannya dan mengucapkan salam kepada Presiden.

Ia pernah menolak pemberian mobil mewah dari perusahaan Toyota, betapapun mobil itu hanya segelintir yang memakainya di Jepang. “Aku minta tolong oto ini disimpan saja di garasi Anda,” katanya kepada pengirimnya.

Saingan Soeharto

Didapuk sebagai Panglima ABRI, Jusuf dibebani penanganan tiga wilayah yang rawan keamanan yaitu Aceh, Papua dan Timor Timur Tertembaknya Presiden Fretilin Labato pada 1979 di Timor Timur menjadi puncak prestasi ABRI saat itu.

Sejak mejadi Panglima ABRI, Jusuf memberi rasa aman dan sejuk kepada masyarakat. Yang paling fenomenal adalah program ABRI Masuk Desa (AMD). Program AMD bahkan lebih populer ketimbang program pembangunan yang terstruktur dari atas.

Terobosan Jusuf lainnya adalah pembangunan sejumlah stasiun relay TVRI di banyak tempat di Indonesia yang bertahun-tahun menjadi area blank spot. Dan para gubernur dan bupati di daerah-daerah terpencil lalu ramai-ramai meminta kepada Jenderal Jusuf untuk dibangunkan stasiun relay.

Selaku Menhankam/Pangab, Jusuf berusaha tidak terlibat dalam tarik menarik politik Orde Baru, tetapi karena posisinya, dia tidak sepenuhnya steril. Lagi pula Soeharto mencoba memecah pusat-pusat kekuatan yang ada.

Melindungi Kelompok Oposan

Dalam periode 1979-1981, acap terjadi perbedaan pendekatan antara Jusuf sebagai Pangab dan Laksamana Soedomo sebagai Pangkopkamtib dalam memperlakukan kelompok muslim yang dikategorikan ekstrem, petisi 50 atau aktivis mahasiswa. Jusuf lebih moderat. Ia tidak ikut campur dalam masalah pertikaian pimpinan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Ia mencoba menampilkan wajah ABRI yang lebih manusiawi kepada masyarakat terutama kepada mahasiswa dan generasi muda.    

Sikap lunak Jusuf juga terlihat sewaktu anggota petisi 50 — kelompok oposan yang berlawanan dengan Presiden Soeharto, hendak mengisolasi para anggota petisi 50 ke Pulau Buru, orang yang pertama-tama mencegah adalah Jusuf sehingga tidak sampai terjadi pengisolasian tersebut.     

Selanjutnya sebagai Pembina Golongan Karya, Jusuf emoh mendorong Golkar yang agresif memenangkan Pemilu 1982. Ia ingin melihat Golkar menang dengan cara elegan dan tidak menakut-nakuti rakyat. Bahkan ia meminta Pangdam, Dandim untuk tidak menjadi Ketua Dewan Pembina Golkar di tingkat provinsi dan kabupaten.

Namun, ia menyadari bahwa usahanya untuk menarik ABRI ke posisi yang lebih netral tidak pernah disetujui oleh Presiden Soeharto. Jusuf juga menolak jika ia disebut-sebut sebagai orang lingkaran dalam Soeharto, karena sejak awal Jusuf bukan anak buah Soeharto, meski ia mengaku cukup dekat pada saat peralihan Orde Lama ke Orde Baru. Kedekatannya dengan Soeharto didasarkan pada dua hal yaitu karena kehendak sejarah dan karena saling membutuhkan.      

Dalam mengawasi anggota ABRI,  semua kelakuan baik buruknya ia catat dalam buku kecil. Pengawasan model ini cukup efektif dilakukan Jusuf karena ia merasa ikut bertanggung jawab kepada seluruh anggota ABRI yang dikaryakan, khususnya pada perwira yang memegang jabatan-jabatan penting. Dikenal tegas, dia tidak segan-segan memberhentikan dua orang Pangdam karena dinilai tidak disiplin.

Jusuf menegaskan bahwa ABRI pasti tidak akan meminta dan tidak meminta-minta jabatan. Tidak ada sifat ABRI mengemis.

Ia melarang para anggota ABRI aktif untuk berdagang. Selain itu ia melarang tentara menjadi calon gubernur. Agar ABRI berdiri di atas semua golongan, Jusuf juga menarik dukungan ABRI terhadap  Golkar yang sejak pemilihan umum 1971 selalu berhasil menjadi mayoritas tunggal di DPR dan MPR.

Jusuf membolehkan Jenderal (Pur) Nasution mengemukakan pendapat sebebas-beasnya, hal yang tidak didapatkan Nasution ketika L.B. Moerdani mengganti Jusuf sebagai Panglima ABRI.

Dicintai Prajurit dan Rakyat

Kepeduliannya dengan anak buahnya membuat ia dicintai dan diidolakan oleh prajurit. Bekas Panglima TNI Jenderal Faisal Tanjung (waktu itu berpangkat kolonel) sangat mengidolakan Jusuf sebagai panglima. Kepada Faisal, Jusuf bilang, Pak Harto tentu tidak begitu senang atas komentar Faisal. Selang beberpa hari, Faisal Tanjung menyebut, selain Jusuf ia juga mengidolakan Soeharto dan Sarwo Edi.  

Jusuf tidak hanya hadir memberi taklimat kepada perwira tetapi mengunjungi pasukan dan asrama mereka. Para prajurit juga melihat bahwa Menhankam-nya yang satu ini tidak pernah menginap untuk pagi-pagi bermain golf dengan para Jenderal yang lain, juga mereka tidak pernah melihat Jusuf makan malam di restoran-restoran mahal. Sebisanya Jusuf melakukan perjalanan secara nonstop untuk 2 sampai 4 hari penuh lalu pulang ke Jakarta.

Namun, kegiatan awal Jusuf dinilai aneh  tersebab  banyak meninjau asrama dan markas-markas pasukan. Hal ini segera menarik perhatian banyak pihak. Setiap kali ia menyetujui pembangunan asrama atau markas tentara, adalah tidak boleh bangunan tersebut menggunakan penyejuk udara dan angin. Jusuf meminta agar setiap bangunan atau barak memakai system cross ventilation yang baik dengan jendela-jendela besar. ”Tentara tidak boleh pakai AC, itu tidak sehat buat mereka.”

Sejak 1980 rating penonton dalam program Dunia Dalam Berita TVRI yang ditayangkan pukul 21.00 WIB yang paling digemari pemirsa adalah dialog antara Menhankam/Pangab Jusuf dengan para prajurit yang dikunjunginya.

Dialog-dialog Jusuf mampu menyentuh hati para pemirsa karena merasa segar, tidak dibuat-buat dan menampakkan keikhlasan Jusuf dibanding liputan bersifat seremonial dan membosankan. “Apa kamu sudah punya pacar? Kalau punya, apa sudah menciumnya? “Apa senjatamu sudah kau bersihkan? Begitu pertanyaan Jusuf.

Liputannya di TVRI pada jam tayang utama dimuat lebih lama dibanding para pejabat lainnya. Masyarakat yang jenuh dengan pidato monoton, dan kurang komunikatif yang mendominasi berita televisi ganti merasa terhibur dengan gaya yang naif yang disampaikan Jusuf. “Aku tidak bisa menerima laporan-laporan saja. Prajurit tidak pernah berbohong dan tidak bisa berpura-pura,” tukas Jusuf.

Kecintaan Jusuf dengan prajurit ditandai dengan merayakan hari-hari besar keagamaan seperti Lebaran dan Natal di tengah-tengah prajurit di luar Jakarta. Jusuf tidak berkumpul dengan para petinggi negara di masjid Istiqlal bersama Presiden. “Sudah terlalu banyak orang di Jakarta. Para prajurit akan lebih senang jika Panglima ada bersama mereka,” katanya beralasan.   

Dengan begitu ketenaran Panglima Jusuf melambung dan singgah di hati masyarakat termasuk di kalangan prajurit dan perwira muda. Sulit dielakkan, Jenderal Jusuf terpopuler setelah Presiden Soeharto.

Karena itu, Jusuf membantah bahwa ia mencari popularitas dengan cara gampangan. Ketenarannya membuat Soeharto mulai merasa terusik. Walaupun sulit dibuktikan, banyak laporan yang masuk ke kuping Presiden bahwa Jusuf sedang berusaha menggalang dukungan masyarakat demi tujuan dan ambisi politiknya.

Konon segala gerak-gerik Jusuf dimata-matai oleh LB Moerdani sebagai orang intel. Moerdani lantas melaporkan bahwa Jusuf tengah memobilasasi kekuatan internal untuk menjadi presiden.

Suatu malam, Soeharto memanggil sejumlah pejabat tinggi di rumahnya untuk membahas masalah aktual kenegaraan termasuk soal citra Jusuf yang sangat tenar. Dalam kesempatan itu Mendagri Amir Machmud mengungkapkan, semakin populernya Jusuf, maka diduga ada ambisi Jusuf yang perlu dikonfirmasi kepada yang bersangkutan.

Dituding begitu, darah Jusuf kontan berdesir. Ia spontan menggebrak  meja. Braaak! Semua yang hadir di ruangan itu terkesiap, diam seribu bahasa termasuk Presiden. Dengan suara lantang, Jusuf menyahut, “Bohong. Itu tidak benar semua! Saya ini orang Bugis, jadi saya sendiri tidak tahu arti kata kemanunggalan yang bahasa Jawa itu. Tapi saya laksanakan perintah itu sebaik-baiknya tanpa tujuan apa-apa!”

Belum pernah ada orang yang berani menggebuk meja di hadapan Presiden dalam kondisi apapun. Presiden kemudian mencairkan suasana yang keburu menegang. Semua keluar ruangan kecuali Jusuf dan Presiden. Kejadian ini adalah titik rendah hubungan antara keduanya. Jusuf tidak pernah mau menghadiri rapat kabinet di Binagraha setelah peristiwa ini.

Soeharto masih menginginkan Jusuf sebagai Menteri Hankam, namun Jusuf menolak sembari menyampaikan terima kasih. Hal ini kemudian mendorong sejumlah perwira-perwira muda untuk mendesak Jusuf mengambil alih kekuasaan, karena sejumlah perwira itu tidak senang dengan perilaku LB Moerdani. Jusuf mendatangi kesatuan ini, menyambangi keluarga mereka dan mengatakan di hadapan prajurit-prajurit bahwa apa yang dilakukannya tidak elok. “Sejarah dan budaya TNI tidak mengenal istilah protes.”

Jusuf meminta agar tetap disiplin dan menjalankan perintah atasan mereka. Dalam beberapa saat, ia memadamkan sebuah rencana untuk mengambil alih kepemimpinan negara akibat kekecewaan mereka atas rencana pergantian Jusuf sebagai Menhankam.

“Sejarah kita mencatat selama berabad-abad aib itu bisa sampai terjadi,” kata Jusuf yang kemudian jadi pembela utama LB Moerdani dalam kasus penembakan misterius.  

Dan meski hubungan Jusuf dengan Soeharto membeku, tetapi ia tetap melakukan komunikasi tatap muka.  Paling tidak, Jusuf masih dipercaya untuk memegang jabatan prestius sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan.

Setelah Pemilu 1988, Jusuf menghadap Presiden dan berkata, “Pak Presiden, saya kemarin itu sebetulnya mau dicalonkan sebagi presiden, tatapi karena Bapak masih bersedia lagi, ya tidak jadi.”

Mendengar itu, Soeharto hanya bisa tertawa sumringah. Hehehe…..

(Alif we Onggang, diracik dari pelbagai sumber)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here