Tiga Menguak Takdir: Terbang Tinggi atau Jatuh Terempas?

0
1070
- Advertisement -

Kolom Alif we Onggang

Siapapun yang kelak jadi presiden, ia laksana pilot yang terbang tinggi di tengah turbulensi sehingga ia harus piawai mengendalikan pesawat. Sang pilot hanya punya waktu 5 tahun. Kalau terbangnya mulus, ia bisa terpilih untuk kali kedua. Namun, bila salah kemudi Indonesia bisa terhunjam menjadi negara pariah.

Momentum Pilpres 2024 merupakan titian untuk mengangkasa menjadi negara maju pada 2045 — seabad usia bangsa Indonesia. Lewat bonus demografi, diharapkan Indonesia berpendapatan tinggi. Bonus demografi ditandai dengan proporsi penduduk usia produktif (15-64 tahun) lebih besar ketimbang usia nonproduktif (65 tahun ke atas). Bonus ini hanya ada sekali dalam sejarah sebuah bangsa.

Saat ini Indonesia berpendapatan menengah atas dengan per kapita 4.580 dolar. Untuk mencapai negara berpenghasilan tinggi, rerata pendapatan masyarakat harus mencapai 13.846 dolar.

- Advertisement -

Negara berpendapatan tinggi belum tentu maju dan modern. Arab Saudi atau Brunei inkamnya tinggi namun keduanya tidak tergolong maju.

Mengurai Benang Kusut

Setelah dilantik jadi Presiden, sang pilot tak punya waktu untuk berleha-leha sebab ia berada dalam kelindan persoalan dan untuk itu ia segera mencuci piring kotor yang ditinggalkan rezim.

Presiden seperti hamburger. Dari atas ia ditekan oleh perubahan geopolitik dunia, perlambatan ekonomi, perubahan iklim, kelangkaan pangan dan potensi perang nuklir.

Dari bawah, ia digencet kawanan oligarki dan bandit politik, mafia hukum berikut predator lokal yang niscaya mengonsolidasi diri guna menancapkan pengaruh. Lalu korupsi — biang segala kejahatan dan utang luar negeri yang menumpuk, disparitas ekonomi yang jomplang ( 1% orang kaya menguasai 50% aset nasional ), hingga kerusakan lingkungan.

Pelbagai soal ini beririsan dengan SDM yang minimalis (61 % cuma berpendidikan SMP), sarjana hanya 5-7 % itupun didominasi sarjana sosial. Belum 21 % stunting, ada 180 juta yang tidak memenuhi kecukupan gizi. Jika standar kemiskinan dinaikkan sedikit, terdapat 100 juta jiwa rentan kemiskinan ditambah puluhan juta pekerja tidak layak.

Belum lagi literasi rendah. IQ orang Indonesia terendah di Asean. Tak satupun perguruan tinggi yang masuk top 200 dunia — malah sibuk mengumbar gelar profesor kepada politisi, sementara banyak politisi jadi badut kekuasaan. Anggaran riset yang minim dan hanya mampu menumbuhkan teknologi rendahan. Satelit China sudah mendarat di bulan, sebaliknya kita terus bertengkar bagaimana cara memanjat pohon kelapa.

Negara Lunak

Meskipun bangsa Indonesia memiliki nilai-nilai kearifan, kebajikan lokal dan kebudayaan adiluhung, namun itu tidak terserap dan mewujud dalam perilaku dan praktik sosial dan bernegara. Sebagai sebuah bangsa, Indonesia tidak memiliki karakter setangguh Jepang, Korea atau China yang melekatkan nilai-nilai tradisional mereka sebagai etos yang dapat diadaptasi dengan budaya modern.

Itulah sebab Bung Karno hendak membangun karakter (nation dan character building). Karakter belum terbentuk, datang orde baru yang menindas. Berganti orde reformasi yang mekar sebentar, tetapi layu di tangan presiden Jokowi yang terjerumus sebagai seorang despotik dan demagog. Demokrasi yang sudah cacat dibajak demi dinasti keluarga.

Entah, apa memang DNA nya sudah begitu? Yang jelas di masyarakat yang feodal dan paternalistik seperti kita, rakyat menggugu pemimpinnya. Kalau penguasa melabrak konstitusi rakyat kecil menerabas lampu merah. Jika pejabat korupsi berjamaah pegawai keroco melakukan pungli, sedangkan rakyat cuma bisa mencopet.

Revolusi mental yang dicanangkan tidak lebih daripada pepesan kosong. Enam menteri Jokowi justru dikerangkeng dalam penjara, terbanyak sejak reformasi. Jokowi juga dicap sebagai presiden terburuk karena menggunakan instrumen kekuasaan demi kepentingan pribadi dan kelompok. Bahkan rezim militerisme dan otoriter seperti Orde Baru tidak tega melakukan hal yang sama.

Pengabaian terhadap etika dianggap sebuah kelaziman. Penguasa berfikir legalistik formalistik dan nir-etika. Negara dilakoni tanpa nilai dan moralitas.

Puluhan tahun lalu, peraih Nobel Gunnar Myrdal dalam bukunya Asian Drama (1968) menyebut banyak negara di Asia, termasuk Indonesia, sebagai negara lunak dengan praktik korupsi lantaran ketidakbecusan menerapkan hukum yang tegas.

Kesenjangan antara perumusan dan implementasi kebijakan dalam negara lembek yang dicirikan berbudaya lemah, inkonsisten, tidak displin, minim kepercayaan sosial, malas, dan kurang patuh pada aturan hukum.

Tahun 1977 cendekiawan Mochtar Lubis lewat pidato kebudayaan bertajuk Manusia Indonesia yang kemudian dibukukan, mengemukakan ciri negatif manusia Indonesia yaitu munafik dan tidak bertanggung jawab.

Senada, antropolog Koentjaraningrat melansir bahwa ada lima kelemahan mentalitas orang Indonesia: meremehkan mutu, mentalitas yang suka menerabas, tidak percaya pada diri sendiri, tidak berdisiplin, dan lepas tanggung jawab sebagaimana ia tulis dalam bukunya, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, 1974.

Puluhan tahun kemudian, di hari-hari ini, apa yang dicetuskan tiga tokoh pemikir ini mendapat pembenaran. Indonesia menjadi amnesia dan berjalan mundur dan tidak pernah belajar dari sejarah.

Dan itulah tugas presiden mendatang untuk mengurai benang kusut dan semrawut ini kemudian merajutnya kembali menjadi tenun kebangsaan lewat basis nilai dan moral yang ajek.

Kalau gagal, Indonesia emas yang diimpikan pada 2045, hanya menjadi negara lemas, sebagaimana banyak negara yang tidak naik kelas dan terperangkap dalam golongan menengah belaka.

Apa iya? Kasihan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here