Sumpah Pemuda dan Agenda Berjalan Bersama (2)

0
4944
- Advertisement -

Kolom IMRAN DUSE

Mengintip senjakala Orde Baru, awal tahun 1998, ketika bangsa Indonesia ditengarai berada di persimpangan jurang-sejarah. Tak sedikit pengamat dari luar membayangkan kemungkinan mengikuti jejak Uni Soviet –yang runtuh di era 1990-an dan terpecah menjadi beberapa negara.

Masa itu, terjadi desakan perubahan yang nyaring disuarakan berbagai komponen bangsa. Bergema di hampir seantero negeri. Energi gerakan pro reformasi yang dimotori Dr. Amien Rais akhirnya berhasil mengkonsolidasikan berbagai kekuatan elemen bangsa.

Energi tersebut mencapai klimaksnya saat Presiden Soeharto menyatakan berhenti menjadi presiden pada 21 Mei 1998 sekaligus mengakhiri kekuasaan Orde Baru setelah hampir 32 tahun. Sehari setelah itu, fajar Reformasi pun menyinsing menghangatkan Ibu Pertiwi.

Indonesia memasuki babak sejarah baru, yang diharapkan menghadirkan kesejahteraan, persamaan, dan keadilan seluas-luasnya bagi seluruh warga negara. Era baru yang kemudian disebut Orde Reformasi ini, mencatat besarnya peran pemuda –tentu saja dengan sokongan elemen bangsa yang lain.

- Advertisement -

Dan, Alhamdulillah, Indonesia tetap utuh. Rupanya ada yang terlupakan oleh sejumlah pengamat itu: bangsa ini kenyang pengalaman menyelesaikan berbagai masalah besar. Sejak dulu hingga sekarang. Sebagaimana juga disinggung di tulisan sebelumnya.

Jika ditelisik, membesarnya bola salju gerakan reformasi ketika itu dipengaruhi tiga isu utama. Yakni, Hak Asasi Manusia (HAM), pemberantasan korupsi, tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Ketiga isu tersebut menunjukkan adanya kerinduan mendalam warga negara untuk berpartisipasi dalam proses kehidupan berbangsa-bernegara.

Tidaklah mengherankan jika produk parlemen yang pertama kali disahkan dalam masa reformasi menyangkut HAM (UU No.39/1999) dan Pers (UU No.40/1999). Selain itu, dalam Sidang MRP RI Tahun 2000 –yang menghasilkan Perubahan Kedua UUD 1945–, dimensi hak atas informasi publik juga telah diadopsi dan masuk dalam konstitusi negara (Pasal 28F UUD 1945).

Ini berarti negara mengakui hak atas informasi sebagai HAM, selain sebagai hak konstitusional warga negara. Dan sebagai turunannya, delapan tahun kemudian, lahirlah UU Keterbukaan Informasi Publik (UU No.14/2008). Pada saat itu, Indonesia merupakan negara ke-76 yang memiliki UU tentang kebebasan informasi.

Berjalan Bersama

Dalam dialognya yang sangat menarik, Arnold Toynbee, sejarahwan besar itu, secara pasti memperlihatkan suatu kontradiksi antara generasi muda dan generasi tua, kepada sahabatnya Daisaku Ikeda, pimpinan Soka Gakkai –organisasi kaum Buddhis awam–, tentang reaksi dunia dalam menentang kekuasaan (dalam Ikeda & Toynbee, 1987).

Toynbee mengatakan, ciri-ciri khusus reaksi seluruh dunia menentang kekuasaan ini adalah, bahwa revolusi ini mengambil suatu bentuk perang antara generasi muda dengan generasi setengah umur di dalam kekuasaan itu sendiri.

Kendati demikian, mahaguru Universitas London itu tidak menampik tesis bahwa revolusi menentang kekuasaan terdahulu banyak dipimpin anggota muda dari kekuasaan itu sendiri. Juga bahwa masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan, baik di negara kaya maupun miskin, merupakan mayoritas dari penentang.

“Tetapi secara keseluruhan, revolusi generasi muda dari dalam golongan establishment, adalah ciri-ciri khusus kekacauan umum sekarang ini, lanjut Toynbee.

Daisaku Ikeda mengkonfirmasi pernyataan Toynbee, mengatakan, dengan lewatnya sang waktu, generasi tua sekarang terpaksa harus menyingkir. Hanya soal waktu saja, sebelum generasi muda hari ini menjadi pemegang tampuk kekuasaan.”

Namun, demi menghindari terjadinya perang antar generasi, Ikeda menawarkan agar, kita harus berusaha menemukan suatu jalan di mana generasi-generasi sekarang yang terpisah dapat berjalan bersama.

Gagasan berjalan bersama, sebagaimana ditawarkan Ikeda, boleh jadi merupakan cita-cita ideal yang perlu dipertimbangkan. Dengan berjalan bersama, dilema antar generasi dapat diantisipasi sejak awal.

Tetapi, memperhatikan dialektika dan konflik yang berlangsung belakangan, nampaknya dibutuhkan bukan saja dialog antar generasi muda dan generasi tua, melainkan antar seluruh elemen bangsa.
Momentum peringatan Sumpah Pemuda (yang tahun ini mengangkat tema Bersatu dan Bangkit) relevan dijadikan spirit melakukan refleksi kebangsaan: melacak sumber masalah sembari merumuskan kembali haluan hidup berbangsa-bernegara. Untuk mencapai cita-cita Proklamasi sebagaimana tersurat dalam Pembukaan UUD 1945.

Nampaknya, itulah yang terjadi belakangan ini. Ketika anak bangsa terbagi (terbelah?) secara tajam dalam pandangan soal UU KPK, RUU HIP, dan saat ini UU Omni Bus Law Ciptaker. Terlepas dari pro kontra yang ada, kenyataan tersebut menunjukkan ada sesuatu yang perlu diperbaiki dalam cara hidup kita sebagai sebuah negara-bangsa.

Dalam kaitan itu, ada 2 hal yang ingin kita usulkan. Pertama, perlunya membincangkan kembali usulan Muhammadiyah dan NU, akhir tahun lalu, mengenai wacana mengembalikan GBHN dan menghidupkan kembali Utusan Golongan di lembaga MPR RI. Usulan tersebut juga mendapat dukungan sejumlah organisasi lainnya, seperti PGI dan Matakin, serta nampaknya diamini Ketua MPR RI Bambang Soesatyo.

Setidaknya, itu dapat kita baca dari antusiasme pimpinan MPR RI mendatangi organisasi keagamaan dan membuka ruang dialektika tentang wacana tersebut, awal tahun ini. Namun, pandemi COVID-19 mengalihkan perhatian publik sehingga wacana ini tidak mendapatkan penajaman.

Kedua, kita perlu mempertimbangkan dengan jernih dan melalui serial dialog kebangsaan tentang urgensi Sumpah Pemuda menjadi salah satu Pilar Kebangsaan kita. Pada saat yang sama, Pancasila sebagai dasar negara dikembalikan dan diletakkan pada tempatnya yang agung, yakni sebagai pondasi, tempat di mana 4 Pilar Kebangsaan itu berdiri: UUD 1945, NKRI, Bhineka Tunggal Ika, dan Sumpah Pemuda.

Kita berharap kedua agenda ini dapat menjadi pertimbangan, khususnya bagi pimpinan MPR RI. Tentu saja dibutuhkan pengkajian lebih mendalam disertai dialog yang intens bersama semua elemen kebangsaan yang ada.

Imran Duse, Wakil Ketua BPW KKSS Kaltim/Mahasiswa Pascasarjana Komunikasi dan Penyiaran Islam IAIN Samarinda.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here