Seusai Pilkada Bulukumba: Sebuah Refleksi

0
1371
- Advertisement -

Kolom Tasman Ambar

Dengan berakhirnya pesta demokrasi pilkada, khususnya di Bulukumba. Terlepas dari persoalan kalah dan menang, untuk saya pribadi menemukan beberapa higlight sebagai new insight, experience dan knowledge sebagai bahan evaluasi dan introspeksi diri agar lebih dewasa dalam menjalani demokrasi juga persiapan andil perhelatan-perhelatan politik mendatang

Dalam menggiring opini publik untuk mencapai tingkat elektabilitas, penting bagi para pendukung menerapkan tolak ukur bahasa opini. Kritis pada kenyataan bukan nyinyir menyerang personal. Kritis karena data dan fakta tentu beda kelas dengan nyinyir. Tendensius politik karena idealisme ialah hal wajar, selama koridornya tetap pada batasan etika.

Bahwa Bulukumba primordialisme masih sangat kental. Sikap “pakkamasseang” masyarakat terhadap seseorang sangat besar, sehingga sangat keliru jika masih ada kandidat/pendukung yang menerapkan taktik / strategi menjelek-jelekkan pribadi kandidat. Akibatnya, alih-alih masyarakat empati dan tertarik dengan opini kita, justru mereka makin cinta pada kandidat yang kita serang dengan bahasa-bahasa kebencian.

Tetap saja orang Bulukumba belum suka pada pendukung sok paling pintar. Orang Bulukumba tidak terlalu suka selalu diposisikan sebagai murid yang mesti kita didik hanya dengan teori-teori pencitraan, bahkan orang Bulukumba, kita tidak mesti mengatakan “pilih saya” untuk mendapat dukungannya, cukup membuktikannya dengan kerja nyata maka empati dan dukungan dari masyarakat akan mengalir.

- Advertisement -

Baik partai pendukung/pengusung juga seluruh elemen tim sukses penting memperhatikan dasarnya secara keseluruhan dalam memberikan dukungan. Tidak serta-merta sebatas karena kawan karib semata. Ini penting agar mudah kerja kolektif guna memenangkan pertarungan. Terakhir, dengan meningkatnya persentase partisipasi pemilih padahal dalam keadaan masa pandemi, ini berarti bahwa proses kampanye tidak lagi dibatasi oleh ruang dan waktu. Media sosial memungkinkan jangkauan tanpa batasan jarak. Pun metode ini, selain lebih mudah, murah dan efektif meyakinkan konstituent juga tidak ada batasan jarak dan waktu kepada siapapun.

Overall, masing-masing kita penting introspeksi diri. Mengakui dan memperbaiki kesalahan dan kelemahan. Terus belajar menambah wawasan, pengetahuan dan pengalaman. Sebab setiap proses akan menempatkan kita pada kelas dan kualitas masing-masing.

Competing at the highest level is not about winning. It’s about preparation, courage, understanding and nurturing your people, and heart. Winning is the result.”

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here