Secangkir Kopi Buat Menteri di Pendopo Theys Eluay (3)

0
772
- Advertisement -

Catatan Egy Massadiah

Yanto Eluay tak henti-henti menebar senyum senang atas kedatangan para pejabat tinggi negara. Pada saat menyambut, ia pun menjelaskan ihwal rumah bangunan yang saat itu digunakan menerima para tamu penting dari Jakarta. “Inilah rumah pemimpin adat di Kampung Sereh,” ujar Yanto.

Saat akan melanjutkan pidatonya, suara Yanto sempat tercekat. Rasa bahagia campur haru menyelimuti relung hati pria kelahiran tahun 1971 itu. Matanya basah. Berkaca kaca. Pandangannya ke langit langit pendopo. Sesaat, Doni sempat ikut larut dalam haru yang senada.

Yanto lalu menjelaskan bahwa di rumah adat itulah, masyarakat di kampung duduk membicarakan dan memusyawarahkan kepentingan masyarakat.

“Di rumah adat ini juga ada tradisi untuk melindungi siapa pun yang datang meminta perlindungan. Siapa pun dia yang sudah masuk rumah adat ini, wajib hukumnya dilindungi. Setiap rumah adat di Papua mempunyai nilai melindungi siapa pun yang datang,” tambah Yanto.

- Advertisement -

Sayang, dari waktu ke waktu, fungsi rumah adat menurun. Bahkan tidak sedikit rumah adat yang diabaikan masyarakat. Padahal, maknanya sangat besar. 

Yanto mengisahkan, saat terjadi kerusuhan rasial beberapa waktu lalu yang diperuncing berita hoax, banyak yang datang ke rumah adat minta perlindungan. Saat itu, saya termasuk yang merasakan kedamaian di tanah Sentani. Jayapura dan beberapa kota lainnya sedang menyala akibat kerusuhan, sementara saya yang sedang berdinas di Sentani justru asyik berkuliner ikan bakar mujair Sentani tanpa gangguan apa pun.

“Mereka saudara-saudara kami non Papua. Begitu datang minta perlindungan, maka ia tidak boleh diganggu oleh siapa pun orang Papua,” ujar Yanto.

Di situlah Yanto berharap pemerintah memberi perhatian terhadap rumah-rumah adat yang ada di Papua. Suasana menjadi semakin cair karena harapan Yanto langsung dijawab Menko Muhadjir.

Yanto juga berkesempatan menjelaskan tentang tiga identitas orang Papua. Pertama, dia adalah warga adat. Kedua, menjadi masyarakat beragama setelah masuknya misionaris dan lembaga agama-agama ke tanah Papua. 

Ketiga, sebagai warga negara Indonesia, sejak 17 Agustus 1945 dan dikukuhkan sejak 1969 saat Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat), bahwa Papua sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari Republik Indonesia. 

Ihwal “Papua Merdeka”, maknanya adalah sebuah harapan sekaligus keyakinan, bahwa ke depan Papua akan merdeka dari keterpurukan, merdeka dari kebodohan, dan merdeka dari kemiskinan. “Kami sebagai anak-anak serta cucu-cucu leluhur yang telah mengukuhkan sikapnya tahun 1969 itu, berkewajiban memelihara sampai kapan pun,” kata Yanto.

Yanto juga melaporkan, bahwa saat ini telah terbentuk ormas P5 kependekan dari Presidium Putra Putri Pejuang Pepera. “Dengan P5, kami siap mengawal perjuangan orang tua kami,” tandasnya.

Mendengar sambutan Yanto, tampak Doni Monardo serius mendengar sambil sesekali tersenyum. Hatinya tampak berkenan. 

Saat mendapat giliran berbicara, Doni pun menyampaikan tentang peristiwa hari itu yang disebutnya sebagai peristiwa sangat langka.

“Sangat jarang terjadi, dan ini baru pertama kali Bapak Menko, pejabat tinggi di negara kita, berkenan mengunjungi rumah adat Papua. Tentu ini bisa menjadi contoh bagi banyak pemimpin lain untuk juga mau bersilaturahmi kepada tokoh-tokoh adat,” kata Doni.

Dikatakannya, masyarakat Papua memiliki sikap yang penuh persaudaraan. Apabila mereka mendapat perhatian, dikunjungi, perhatian kepada kita akan jauh lebih besar.

“Peristiwa hari ini juga tak lepas dari bantuan Bapak Menkes saat menjabat Kepala RSPAD. Saya minta bantuan beliau untuk merawat almarhum Boy Michael Eluay, putra sulung almarhum Theys Eluay, yang jatuh sakit. Kemudian membawa Pak Boy ke Jakarta, dan Pak Menkes ini dulu langsung sigap menindaklanjuti.”

Pada prinsipnya, Doni Monardo sangat mendukung pendekatan-pendekatan yang bersifat komunikatif dalam rangka menyelesaikan masalah-masalah yang ada. Tidak hanya di Papua, tetapi juga di daerah lain. 

“Dan kita doakan, semoga saudara-saudara kita yang wafat, gugur, meninggal dunia, mendapat tempat terbaik di sisi Yang Maha Kuasa, serta keluarganya diberi ketabahan,” ujar Doni, dalam suara berat.

Begitulah, Yanto membenarkan apa yang diucapkan Doni. Termasuk, membenarkan ihwal sikap masyarakat Papua yang sangat kekeluargaan. Itu pula yang ditunjukkan Yanto melalui spanduk penyambutan bertuliskan bahasa Papua: 

“Helebhey Obhe” Pendopo Adat Ondofolo Ondikeleuw Haleufoiteuw HELLE WABHOUW”. 

Teks bahasa Indonesia tertulis “Selamat Datang Duta-duta Kemanusiaan di Tanah Papua.

Saat saya tanyakan ke Yanto melalui pesan WA, dijawablah, Obhe artinya rumah atau balai adat. Lalu Helebhey artinya Tajam. Maknanya, siapa yang melanggar norma/nilai, baik dalam perbuatan maupun perkataan dia akan teriris (mendapatkan kesusahan). Bisa pula dimaknai lain yang sejenis.

Lalu Ondofolo adalah Pemimpin Masyarakat Hukum Adat. Sedangkan, Ondikeleuw Haleufoiteuw adalah nama nama moyang /dewa, terkait lambang dalam jabatan ondofolo. 

Helle Wabhouw  adalah nama kampung yang mengandung arti komunitas atau kelompok masyarakat yang mula-mula mendiami wilayah hukum adat di sentani (pemilik hak ulayat).

Sebagai ondofolo, Yanto berusaha meneruskan tradisi yang ditanamkan leluhur. Termasuk Boy, kakaknya yang telah mendahului. “Sebelum meninggal, pesan beliau adalah supaya kita bersabar dan pandai memberi maaf kepada siapa saja. Termasuk yang tidak menghargai adat istiadat.”

Dari kerabat keluarga Yanto, yang bernama Ronald Manoach Eluay saya juga mendapat informasi menarik. Warga Kampung Sereh sangat terkesan dengan Doni Monardo. Tak heran jika ada salah satu keluarga yang menamakan bayinya yang baru lahir dengan nama Doni Monardo Ibo.

Bahkan ada seorang perempuan tua (mama) menghampiri Ronald dan bertanya, “Bapa itu siapa Ka?” Tidak menggubris jawaban Ronald, si mama tadi melanjutkan kalimatnya, “Bapa itu beda sekali…. Saat dia sambutan, kata-katanya masuk ke kami punya hati. Hati rasa tenang dan damai sekali. Tuhan berkati bapak itu. Kami senang sekali bapa itu….”

Begitulah cara Doni Monardo merajut persahabatan dan persaudaraan. Bukan hanya itu. Sudah banyak contoh, Doni membuat “lawan” menjadi “kawan”. 

Artinya, sebagai prajurit yang mengabdi kepada bangsa dan negara, Doni acap berhadapan dengan “musuh” ketika bertugas. Musuh dalam terminologi “musuh negara” secara konstitusional.

Tak heran jika Doni begitu dicintai warga Papua. Bahkan, merunut waktu lebih ke belakang, saya teringat tanggal 5 Desember 2019 saat BNPB meluncurkan program Katana (Keluarga Tangguh Bencana) di pesisir Desa Pasie Janteng, Kecamatan Lhoong, Aceh Besar. 

Doni tidak tidur di hotel, tetapi tidur di tenda, seperti halnya peserta kemah Katana yang lain. Pada tengah malam, ketika sebagian besar peserta Katana sudah beranjak ke peraduan, Doni –saya ikut menemani– menuju ke tengah tanah lapang. Duduk lesehan di terpal plastik yang dihampar di atas rumput.

Di situ, sudah ada belasan lelaki. Dalam sekejap Doni sudah terlibat pembicaraan akrab dengan mereka. Saat itulah saya tahu, orang-orang itu adalah para mantan anggota GAM, yang notabene (dalam konteks tugas) pernah berhadap-hadapan dengan Doni Monardo.

Begitulah, senjapun turun di wajah Sentani. Kopi sudah tuntas diteguk. Sebuah momen bahagia hari itu, makin meneguhkan pentingnya merawat perdamaian dan memuliakan adat. Dan di surga sana, (semoga) Theys pun tersenyum manis. (***)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here