Sebelum Jadi Koruptor, Yuk, Mari Berkaca Sejenak ke Baharuddin Lopa

0
7341
- Advertisement -

Kolom Alif we Onggang

Salah satu penyakit yang sudah menjadi ‘endemik’ dan mendarah daging di Indonesia adalah korupsi. Ia lintas agama, suku dan golongan, dilakukan oleh baik yang rajin beribadah maupun orang kafir, dari kepada desa, hingga gubernur, dari kacung kantoran, politisi siluman, menteri hingga ketua lembaga tinggi negara.

Tak ubahnya virus Covid-19, korupsi senantiasa ada dan kita harus siap hidup berdampingan dengannya. Istilah kerennya, hidup berdamai dengan koruptor.

Korupsi telah berkecambah sejak VOC berkuasa di Nusantara. Begitu digdayanya VOC, ia akhirnya tamat juga karena digerogoti korupsi dan bangkrut tahun 1700-an. Warisannya, korupsi menjalar seperti kanker ganas hingga kini. Itulah sebab indeks korupsi Indonesia tahun 2020 memburuk, setara dengan negara miskin Gambia di Afrika.

Butuh kajian yang lebih komprehensif kenapa orang melakukan korupsi begitu kemaruk, meski sudah berkecukupan bahkan tergolong kaya raya, tetap saja merasa kurang. Sekonyong-konyong hendak mengamankan harta untuk 12 turunan ke bawah dan ke atas. Padahal serakus-rakusnya koruptor, makannya cuma tiga piring sehari. Semewah-mewah istananya, toh ia cuma butuh kasur tak lebih 3 x 2 meter buat mendengkur sepanjang malam.

- Advertisement -

Sebetulnya, Indonesia memiliki banyak panutan bagaimana hidup indah dan nyaman tanpa korupsi. Tidak sedikit kearifan lokal yang mengajarkan kebajikan menjaga marwah, merawat kehormatan dan harga diri. Semisal siri’ dan Pancasila. Namun, nilai-nilai ini mandek sebagai barang antik di museum. Ia sebatas kata benda, bukan kata kerja yang harus dipraktikkan.

Korupsi dapat dicegah dari atau diawali dari rumah. Seorang pejabat tinggi hukum menaruh hasil kejahatannya di rekening mantunya. Sejumlah pejabat daerah, suami istri anak kompak melakukan korupsi. Tentu bukan ini yang dimaksud keluarga sakinah mawaddah.

Wel, sebelum menjadi koruptor, baik kiranya kita bercermin pada kehidupan Prof. Dr. Baharuddin Lopa. Ia role model untuk dijadikan teladan dalam menjaga marwah jabatan. Betapapun Lopa adalah Jaksa Agung dan Menteri Kehakiman, dan Bupati Majene saat masih berusia milenial 25 tahun, namun ia mampu bergeming dari macam godaan. Ia bisa mengamalkan kejujuran, integritas moral dan menyatukan kata dengan perbuatan – taro ada taro gau.

Suatu hari, Lopa mengumpulkan anak-anaknya dan berseru, “Kalian tidak bisa menuntut kemewahan, karena kemewahan tidak sesuai dengan Islam. Bapak tak mampu memberi kalian lebih dari apa yang Bapak mampu. Bapak tak mau memberi makan dari sumber-sumber yang syubhat, haram dan melanggar hukum”.  

Resep Lopa mengemban amanah sederhana belaka, sebersahaja hidupnya. “Kunci hidup bersih adalah kesederhanaan. Kita bisa terhindar dari pemberian tak halal. Sekali terpancing untuk melakukan penyelewengan, maka sulit untuk menegakkan keadilan,” katanya berwasiat. 

Sekiranya kita dapat meniru secuil saja perilaku Lopa, Indonesia niscaya bersih dari korupsi, suap, dan perbuatan culas lainnya.  Sehingga dana-dana yang dikorupsi ratusan triliunan banyaknya tidak menguap sia-sia.

Tak adil sepenuhnya menyontoh Lopa, jangan juga meniru 100 persen, cukup sepersepuluh saja dari momen-momen hidupnya yang ekstrem terhadap korupsi, maka kita  akan terbebas dari perilaku banal dan tamak, jauh dari sifat-sifat mangoa. Dalam pepatah Bugis disebut, cecceng ponna, canga-canga tengngana, sapuripale’ eppana’, artinya serakah awalnya, mau menang sendiri tengahnya, kehilangan sama sekali akhirnya.

Saking jengkelnya terhadap koruptor, Lopa akan memburunya sampai ke neraka. Sebuah metafora yang sarkastik. Saat Kepala Kejaksaan Sulsel, Lopa menahan orang kuat Tony Gozal yang dilindungi pejabat Pusat. Memergoki, Tony dijemput menggunakan mobil Kepala Kejaksaan Makassar, Lopa langsung menghardik sang jaksa kepala. “Ganti mobil! masa pake mobil begini, ganti mobil tahanan,” perintah Lopa dengan amarah. Tony pun dipindah ke mobil tahanan dan dijebloskan ke jeruji besi.

Tak cukup di situ, saat Lopa jadi Kajati di berbagi daerah, semua pejabat yang korup diringkus dan membabat para pecundang. Kala menjadi menteri nya Gus Dur, orang dekat dengan presiden pun diincar karena berperilaku curang. “Saya hanya takut kepada Tuhan,” sergahnya.

Namun, banyak kisah Lopa terasa ganjil, aneh dalam anakronisme zaman yang selalu ditakar dengan materi; yang menuhankan jabatan dan uang, yang mendahulukan kepentingan diri dan kelompok.

Bagaimana mungkin, Lopa tak bisa tidur lantaran ia lupa mengembalikan korek api mahasiswa yang dipinjamnnya sewaktu ia menghadiri acara di Makassar. Korek remeh temeh ini terbawa ke Jakarta. “Jangan gara-gara korek ini saya masuk neraka,” katanya kepada koleganya yang akan ke Makassar sambil menitip si korek api kepada si empunya.

Lopa pernah ditraktir bawahannya di restoran India saat ia Kepala Penjara Makassar. Oleh Lopa, sang anak buah diajak ke pojok ruangan. “Dari mana ko ambil uang untuk traktir. Bukan hasil koruspi kan? Saya tak mau makan, makanan yang haram ya,” ujar Lopa.

Sebegitunya Lopa. Padahal ini kewajaran belaka. Tapi begitu itu karakternya.

Saat Dirjen Lembaga Pemasyarakatan, di rumah dinas Lopa, listrik kerap byar pet – hidup mati. Jika ada yang menyetrika, tekanan listrik langsung jepret. Seorang anak Lopa bolak balik ke meteran listrik untuk menyalakannya. Jika tak hidup juga, berarti ada yang harus mengalah. “Matikan saja kulkasnya,” teriak Lopa. Dan listrik kembali hidup seperti sedia kala di rumah sang pejabat. Ini pejabat lho, bukan pegawai honorer.

Memang semasa jadi pejabat, Lopa tak pernah mengizinkan fasilitas untuk kepentingan keluarga. Apabila istrinya hendak mudik ke kampung di Majene, ia menggunakan bus umum. Bahkan, Lopa melarang anaknya menumpang di mobil dinasnya, ketika berangkat sekolah, sungguhpun letak sekolah anaknya sejalur dengan kendaraan dinas yang dilewati Lopa.

Ko naik angkutan umum saja, biar tahu bagaimana susahnya hidup,” ujar Lopa kepada anaknya.

Pengalaman serupa dialami sorang putrinya, yang menjadi panitia seminar hukum di Unhas. Si putri ingin meminjam kursi di kantor Kajati di mana Lopa jadi kepalanya. ”Pak, bisa ji pinjam kursinya,” rayu anaknya.

Kesusu saja kursi lipat itu dibalik oleh Lopa seraya menunjukkan tulisan yang tertera di belakangnya. “Baca ko ini, Barang Inventaris Kejaksaan Tinggi Sulsel, bukan Inventaris Fakultas Hukum Unhas. Jelas to? Jadi tidak bisa dipinjam!”

Aturan yang mirip berlaku pula di rumahnya. Lopa sengaja mengunci telepon di rumah dinasnya, agar tak digunakan untuk kepentingan pribadi anak, istri dan keluarganya. Karena itu, Lopa menyiapkan telepon koin untuk seisi rumah. Bahkan, sewaktu ia jadi Jaksa Agung pun, keluarganya menambah  penghasilan dengan membuat rental playstation dan warung telekomunikasi (wartel) di samping rumahnya, di kawasan Pondok Bambu, Jakarta Timur.

Banyak lagi kisah Lopa yang membikin kita terperangah, kalau tidak merasa takzim, atas laku yang Lopa perankan sepanjang hidupnya. Ini sekelumit contoh saja, agar kita tak mudah dicokok KPK.

Benar-benar Lopa seorang khalifah di muka Bumi. Almarhum mewariskan sebuah virtue — nilai-nilai kebajikan yang melampui zaman, dan selalu relevan, lebih-lebih ketika seseorang yang diberi amanah melakukan tindak korupsi. 

Sudah begitu banyak pemimpin nasional, tokoh dan pejabat yang membangun reputasi sekian lama, dan tiba-tiba di puncak karir, mereka tersandung korupsi. Ibaratnya mereka membangun istana pasir selama ini. Kasihan.

Alif we Onggang, penulis buku Lopa Yang Tak Terlupa

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here