PINISI.co.id- Membangunan Stasiun Pengisian Bahan bakar Umum (SPBU) British Petroleum (BP-AKR) di wilayah Tanjung Barat, Jakarta Selatan bersebelahan dengan Kampus Universitas Tama Jagakarsa, menuai polemik dan kontroversi. Pasalnya, ada salahsatu warga sekitar lokasi yang terdampak, yang merasa tidak diikutsertakan dalam pembicaraan mengenai kesepakatan pendirian SPBU tersebut.
Hal itu diungkapkan oleh seorang warga yang bernama Yolanda Tobing, yang rumahnya hanya dipisahkan oleh sebuah toko tinta printer kecil dengan SPBU BP tersebut. Yolanda mengungkapkan bahwa dirinya tidak dikutsertakan dalam pembicaraan warga yang membahas tentang Surat Persetujuan Izin Tetangga/ Warga.
“Hadir pada pertemuan tersebut pihak SPBU BP (PT Aneka Petroindo Raya / PT APR), Ketua RT 10, Ketua RT 14, Ketua RW 04. Lurah Tanjung barat, dan pihak pemilik tanah lokasi SPBU yang hendak disewakan. Tetapi saya pribadi yang awalnya berencana diundang, tidak diinfokan untuk menghadiri pertemuan dadakan tersebut. Nama saya justru digantikan oleh warga pemilik lahan, yang tentunya akan memperoleh keuntungan materiil dengan pendirian SPBU tersebut,” ujar Yolanda kepada awak media di kediamannya di RT 14 RW 04 Tanjung Barat pada Sabtu (14/06/2025).
Untuk diketahui, pembangunan SPBU berdampak resiko yang sangat tinggi terkait aspek kesehatan dan aspek keselamatan bagi warga di lingkungan sekitar. Diantaranya berpotensi seperti:
1. Menurunnya angka dan/atau kualitas hidup, diantaranya pencemaran air tanah
2. leukimia akut (efek dari menghirup uap yang dihasilkan /senyawa dari bensin)
3. potensi kebakaran yang dapat menghilagkan nyawa manusia
4. gangguan polusi lingkungan lainnya, diantaranya radiasi, bau, dan suara getaran yang berisik.
Lebih lanjut Yolanda menceritakan pengalamannya ketika menghadiri pertemuan dengan sejumlah perwakilan Dinas-Dinas yang terkait izin pendirian SPBU, di lingkup Pemprov DKI Jakarta. Salah seorang perwakilan Bagian Hukum pemprov ada yang berujar seperti ini, “Tidak perlu ada jarak antara pemukiman warga dengan SPBU minimal 500 meter atau 1 kilometer. Bila perlu jarak 0 meter pun bisa kita kondisikan,” demikian pernyataan salah satu staf bagian Hukum kantor pemprov yang tidak bersedia disebutkan namanya.
Hal ini mengacu pada kasus kebakaran yang pernah terjadi di Terminal BBM Plumpang, Jakarta Utara yang terjadi pada tahun 2023 silam, tepatnya pada Jumat (03/03/2023) malam.
Mengutip temuan dari seorang peneliti minyak dan gas bumi (migas) Oberlin Sijabat yang menyebut batas ideal jarak antara depo atau Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM) dengan pemukiman penduduk setidaknya sejauh 1 kilometer (km).
Oberlin yang pernah menjabat sebagai Peneliti Utama Puslitbangtek Migas periode 1985 s/d 2015, menilai jarak antara Depo Plumpang dengan pemukiman penduduk saat ini sudah terlalu dekat. Menurutnya, pembangunan rumah penduduk yang terlalu dekat dengan terminal BBM ini rentan menimbulkan masalah.
Hingga berita ini diturunkan, pihak SPBU BP-AKR belum memberikan keterangan resmi terkait penolakan ini. Warga yang terdampak mendesak Pemprov DKI Jakarta, utamanya Dinas-Dinas terkait, untuk segera meninjau ulang proses perizinan SPBU tersebut dan mengutamakan kepentingan serta keselamatan warga sekitar.
Penolakan ini menjadi preseden penting mengenai pentingnya keterlibatan masyarakat dalam setiap proyek pembangunan yang berdampak langsung pada kehidupan mereka. (Irfan)