Nasionalisme Milenial

0
458

Kolom Zainal Bintang

Tradisi memperingati kemerdekaan Republik Indonesia selalu dimeriahkan dinamika narasi simbolik patriotic, penggetar semangat pantang mundur dan rela berkorban apa saja untuk nusa dan bangsa. Namun ada catatan berbeda selama era reformasi ditandai melemahnya pelan – pelan narasi nasionalisme di kalangan generasi muda yang lebih dikenal dengan sebutan milenial. Milenium adalah bilangan untuk tiap jangka waktu seribu tahun dalam kalender. Istilah alaf yang berasal dari bahasa Arab banyak dipakai di Malaysia. Tahun 2000 disebut sebagai awal dari alaf baru dalam memasuki alaf ketiga (tahun 2000 sampai tahun 2999).

Setidaknya ada tiga hal yang mendorong terjadinya alienasi antara milenial dengan pemimpin bangsa dewasa ini. Sebutlah, pertama, arus deras globalisasi di semua sektor yang berimplikasi kepada ketahanan peradaban; kedua, keterhubungan dengan dunia luar melalui kemudahan transportasi antar bangsa; dan ketiga penetrasi teknologi, informasi dan komunikasi. Integrasi ketiga unsur pendorong itu membuat generasi milineal lebih leluasa memilih ruang kebebasan berekspresi. Pada saat yang sama terjadi penyempitan ruang yang disediakan negara.

Pemantik utama membuat milenial kehilangan kepercayaan dan rasa hormat terhadap elit pemimpin bangsa dewasa ini, akibat kemorosotan moral pemimpin politik sekaligus sebagai pemimpin bangsa, karena terlibat terus menerus kasus korupsi dan perbuatan tidak terpuji lainnya. Kecemasan terhadap melemahnya rasa nasionalisme milenial belakangan ini mengalami eskalasi dari tahun ke tahun sejak memasuki era reformasi 1998. Jejak korupsi pejabat negara dari tiga cabang kekuasaan, yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif tidak bisa disembunyikan.

Generasi senior yang seharusnya jadi panutan gagal mengendalikan diri dari korupsi. Pertanyaannya, darimanakah sumber mata air contoh tauladan bagi milenial untuk merawat cinta tanah air dan nasionalisme?

Sejak 2004 hingga 2020, Ada 274 Anggota DPR-DPRD Jadi Tersangka KPK. Begini uraiannya: Anggota DPR dan DPRD 274 orang ; Kepala Kementerian/Lembaga 28 orang; Duta Besar 4 orang; Komisioner 7 orang; Gubernur 21 orang; Walikota/Wakil, Bupati/Wakil;122 orang; ASN eselon 1,2 dan 3 : 230 orang; Hakim 22 orang; Jaksa 10; orang. Polisi; 2 orang. Pengacara; 12 orang. Swasta; 308 orang. Korporasi; 6 perusahaan. Disampaikan Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango dalam webinar pembekalan Cakada Provinsi Sulawesi Utara dan NTB di YouTube Kanal KPK, Kamis (5/11/2020).

Merayakan ulang tahun kemerdekaan hari ini, pada diri milenial, terus terang, kurang terpancar sensitivitas melalui teriakan – teriakan simbolik patriotik. Mereka beralih dan telah menemukan sebuah ruang ekspresi baru yang lebih leluasa, nyata dan bebas. Bahkan dianggap lebih jujur, menyentuh dan bersahabat, yaitu dunia media sosial (medsos) dengan varian – variannya seperti facebook, twitter, whatsapp, istagram, youtube, google dan tiktok!

Jejak praktik korupsi yang masif di era reformasi yang melibatkan banyak pejabat negara, membuat milenial kehilangan kepercayaan. Rasa homat melemah. Row model tokoh panutan moralitas pupus sudah. Meskipun ada pemisahan cabang kekuasaan secara formal berdasarkan teori Montesquieu yang dikenal dengan “trias politika”, faktanya model koalisi transaksional antar partai politik dengan pemerintah, tetap saja mendorong terjadinya praktik penumpukan kekuasaan terselubung yang dikenal dengan “kuasa kolektif”.
Praktik kolektif kekuasaan di satu tangan menghilangkan kontrol dan memudahkan penyelewengan. Persis dengan apa yang dikatakan Lord Acton (1833-1902): “Power Tends to Corrupt. Absolute Power Corrupts Absolutely” (“Kekuasaan Itu Cenderung Korup. Kekuasaan Mutlak, Korupsinya Juga Mutlak”). Inilah situasi dan kondisi anomali yang dihadapi bangsa Indonesia hari ini di dalam memasuki perayaan ulang tahun kemerdekaan yang ke -76.

Milenial ada dihadapan pertunjukan akrobatik korupsi para pejabat publik itu. Dilakukan secara telanjang dan terang – terangan di depan mata milenial tanpa rasa malu. Apalagi meneysal. Tak terhindarkan timbulnya tembok pemisah sarat pandangan miring milineal kepada pejabat publik. Ini ironi reformasi. Dan tragedi proklamasi. Masifnya perilaku nista pejabat publik, dari rumpun eksekutif, legislatif dan yudikatif, yang dengan suka cita melalukan praktik korupsi menguras uang negara yang notabene adalah uang rakyat: Melukai hati bangsa.
Menarik membaca buku yang berjdul “Nasionalisme ala Milenial: Sebuah Disrupsi?” yang diterbitkan bulan Februari 2021 oleh LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Bunga rampai ini berisi beragam pandangan penulis tentang bagaimana generasi milenial Indonesia memaknai kembali nasionalismenya. Lingkup buku ini mencakup 12 artikel yang dapat dikelompokkan ke dalam lima topik, yaitu pendefinisian pemuda milenial; pembentukan identitas milenial; ekspresi nasionalisme milenial; pendidikan, pemuda, dan bahasa generasi milenial; serta kewargaan milenial.

Ada potongan teks yang tertulis begini : “Seperti yang diilustrasikan oleh para penulis dalam bunga rampai ini, Indonesia memang sedang dalam masa transisi, setidaknya terkait dengan tiga hal, yaitu atmosfer politik yang lebih bebas dan terbuka, jumlah populasi generasi muda yang mencapai puncaknya, serta ketersediaan teknologi digital yang berkembang sangat cepat. Jika generasi muda pada awal abad ke-20 juga memperjuangkan kemerdekaan, pertanyaannya kemudian, ke mana dan bagaimana generasi milenial abad ke-21 membawa Indonesia?”

Hari – hari ini ada acara yang rutin berulang – ulang disiarkan di semua televisi nasional yang memancar ke seluruh Indonesia. Menampilkan tontonan video rakaman pimpinan lembaga legislatif. Mereka bernyanyi bersama. Beraksi bersama. Membawakan lagu “Berkibarlah Benderaku”. Narasi simbolik patriotik yang dilantunkan terlihat seperti ekspressi yang dipaksa dan kering. Tidak meninggalkan pesan apa – apa.
Bagi milenial pada umumnya, jelas tontonan tersebut tidak menarik. Atraksi itu dalam hati mereka sangat kalah jauh dengan acara K-Pop dari Korea. Tetap kalah menyentuh dibanding drama remaja patah hati dalam berbagai film Drakor (Drama Korea). Film itu leluasa mereka tonton. Melalu gadget di kamar tidur, di ruang tamu bahkan di kamar mandi. Sambil bercengkerama dengan teman semilienialnya.

Paska Pemilu 2019 situasi kondisi bangsa Indonesia memang telah carut marut. Serangan Pandemi Covid 19 yang melanda Indonesia (seluruh dunia) awal 2020 yang berkelindan dengan residu konflik kontestasi Pemilu, membelah dua masyarakat sampai hari ini. Menimbulkan banyak persoalan laten terkait dengan upaya pemerintah menjaga stabilitas dan keseimbangan, yang dinamis terus menerus, menggoyang persatuan nasional yang melahirkan sejumlah kejomplangan tatanan tidak terduga dan juga nyaris tidak tertangani.

Di posisi inilah Indonesia mengalami problem besar nasionalisme menghadapi ulang tahun kemerdekaan. Erosi korupsi, invasi media sosial, kekacauan fundamental ekonomi, telah menjadi pandemi tersendiri yang menggerus kepercayaan publik terhadap kemampuan pemerintah menangani mitigasi dengan baik penyelamatan rakyat. Sekalipun faktanya, pejabat pemerintah memang terlihat kerja keras. Presiden hampir tiap hari mengeluarkan perintah. Sekalipun karenanya, tidak jarang paradoks dengan perintah sebelumnya dan silang sengkarut dengan implementasi kinerja menteri di lapangan.
Kepingan puisi patriotis Chairil Anwar, “Karawang Bekasi” entah mengapa, terasa pahit. Serasa kehilangan kedalaman marwah magis yang menyayat. Telah tersayat bias nasionalisme yang kehilangan bentuk saat ini: “…Kami tidak bisa lagi berkata. Kaulah sekarang yang berkata. Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi. Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak. Kenang, kenanglah…kami…”
Di ujung subuh yang dingin menjelang fajar menyingsing, saya menerima banyak pesan WhatsApp masuk ke dalam HP saya. Anehnya, narasinya sama semua. Singkat padat. Mengutip sampul buku kumpulan puisi Sapardi Djoko Damono. Pendek banget: Dukamu Abadi!

Saya istighfar panjang, mengucapkan Astagfirullah 3 X sambil berbisik kepada diri sendiri:

“Dirgahayu Bangsaku. Selamat HUT Kemerdekaan ke – 76”.

Zainal Bintang, Dewan Pakar KKSS, wartawan senior dan pemerhati masalah sosial budaya.-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here