Muktamar Pejuang di Negeri Para Pejuang

0
437
- Advertisement -

Kolom Zaenal Abidin

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) lahir 24 Oktober 1950. Organisasi yang lahir lima tahun setelah diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia ini didirikan oleh para dokter pejuang. Bila ditarik ke belakang, sejarah lahirnya IDI bersinambung dengan organisasi dokter Indonesia pada masa-masa sebelumnya, sampai kepada Perkumpulan Boedi Oetomo dan tokoh-tokoh Kebangkitan Nasional, 20 Mei 1908. Bahkan kita pun akan tersambung dengan sejumlah nama dokter yang gugur dalam pertempuran melawan Belanda maupun Jepang. Inilah yang menjadi alasan mengapa tahun 2008, bertepatan Satu Abad Kebangkitan Nasional, IDI menetapkan dan memperingati tanggal 20 Mei sebagai Hari Bakti Dokter Indonesia (HBDI).

Komitmen IDI terhadap perjalanan negara dan bangsa tentu tidak dapat diragukan. Dapat dlihat dalam rumusan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) IDI. Mukaddimah AD/ART IDI diawali dengan kalimat, “Atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa, bangsa Indonesia telah berhasil merebut kemerdekaan dari kaum penjajah, maka setiap warga Negara Kesatuan Republik Indonesia menuju tercapainya kehidupan rakyat yang sehat, adil dan makmur.”

Selanjutnya, pada alinea kedua tertulis, “Dokter Indonesia sebagai warga bangsa yang ikut aktif dalam gerakan dan perjuangan kemerdekaan, sadar akan hak dan kewajibannya serta peran dan tanggung jawabnya kepada umat manusia dan bangsa, bertekad memberikan darma baktinya untuk mewujudkan nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam kehidupan keprofesian.”

Pernyataan di dalam mukaddimah di atas kembali diperkuat oleh pernyataan tujuan IDI (Pasal 7 AD IDI), yang ingin: 1) Mewujukan cita-cita nasional bangsa sebagaimana dimaksud dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. 2) Memadukan segenap potensi dokter Indonesia, meningkatkan harkat, martabat dan kehormatan diri dokter Indonesia serta mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan rakyat Indonesia menuju masyarakat sehat dan sejahtera.

- Advertisement -

IDI Organisasi Para Pejuang

Selain itu, pada berbagai kegiatan IDI selalu mengaitkannya dengan upaya memajukan dan menyehatkan rakyat dan bangsanya. Lihatlah tema Muktamar IDI ke 31 (22-25 Maret) mendatang, “Peran Strategis IDI dalam Membangun Kemandirian dan Meningkatkan Ketahanan Bangsa.” Dalam praktiknya, dapat pula kita saksikan bagaimana gigihnya IDI dan anggotanya melakukan kegiatan kemanusiaan ketika bencana negeri ini. Hampir tidak ada bencana besar di pelosok negeri ini tanpa kehadiran anggota IDI di lokasi tersebut. Bukti lain, sejak pandemi mendera negeri ini, IDI dan seluruh anggotanya berjibaku membantu masyarakat. www.antaranews.com (9/9/2021) melaporkan rilis Ketua Tim Mitigasi PB IDI yang menyampaikan bahwa sebanyak 730 dokter telah gugur akibat terpapar pandemi Covid 19 saat merawat pasien.

Muktamar merupakan kekuasaan tertinggi organisasi, sebagai forum pelaksanaan kedaulatan seluruh anggota IDI. Diadakan sekali dalam tiga tahun, untuk menetapkan AD/ART, tata laksana organisasi, dan kebijakan strategis nasional. Ia juga menilai pertanggung jawaban President PB IDI (Ketua Umum) dan mendengarkan laporan ketua MKEK, MKKI, dan MPPK, memilih President Elect PB IDI (Ketua Terpilih) dan mengukuhkan President Elect sebelumnya menjadi President PB IDI dan juga mengukuhkan Ketua MKEK, MKKI, dan MPPK yang baru terpilih. Dan masih banyak kewenangan lain dari Muktamar IDI lainnya.

Selain, kegiatan di atas, tidak dapat dipungkiri bahwa momen muktamar merupakan arena silaturrahim Pengurus IDI dan pehimpunan maupun anggota dari seluruh Indonesia. Bukan hanya dokter yang akan hadir, para istri dokter yang tergabung dalam organisasi Ikatan Istri Dokter Indonesia (IIDI) pada saat barsamaan juga hadir untuk menyelenggarakan muktamarnya. Belum lagi dari organisasi profesi kesehatan lain yang hadir sebagai undangan mapun pihak farmasi yang menjadi pendudukung atas terlaksannya muktamar. Jadi dapat dibayaknya begitu ramainya kota Kota Serambi Mekah, Banda Aceh mendatang andai tidak ada Covid 19.

Meneguhkan Komitman di Negeri Para Pejuang

Banda Aceh dikenal sebagai kota tua dengan kegemilangan sejarahnya. Pada masa kesultanan, Banda Aceh dikenal sebagai Bandar Aceh Darussalam. Kota yang dibangun oleh Sultan Johan Syah, pada hari Jumat, 1 Ramadhan 601 H. (22 April 1205 M.) ini merupakan salah satu kota Islam tertua di Asia Tenggara. Beberapa ulama besar, yang juga merupakan pejuang terkenal dari daerah ini. Sebutlah Hamzah Fansuri, Nurudin Arraniri, Syamsudin Al Sumatrani dan Abdul Rauf Al Singkili, dan lainya, menjadi bukti bahwa Aceh pernah menjadi pusat ilmu dan berperan penting dalam penyebaran Islam ke seluruh Nusantara. Karena itu pula kota ini dijuluki sebagai Serambi Mekah.

Secara geografis Aceh adalah provinsi paling barat Indonesia, yang tak bisa dipisahkan dengan perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Karena itu, ketika berbicara tentang Indonesia atau Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) maka Aceh tidak boleh dilupakan. Lagu nasional mengatakan, “Dari Sabang Sampai Merauke”. Artinya Indonesia terbentang dari Sabang (Aceh) di ujung paling barat sampai Merauke (Papua) di ujung paling timur.

Aceh merupakan daerah yang tidak pernah dikuasai oleh musuh dan merupakan modal utama dalam perjuangan kemerdekaannya Indonesia. Pernyataan ini didukung kenyataan, bahwa Aceh adalah satu-satunya daerah dalam wilayah Republik Indonesia tidak pernah diduduki oleh Belanda. Banyak tokoh dan pejuang yang lahir di Tanah Aceh. Seperti Teuku Umar dan istrinya Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, Sultan Iskandar Muda, Teuku Chik di Tiro Muhammad Sama, Laksamana Malahayati, dan seterusnya. Laksamana Malahayati yang juga dikenal Keumalahayati adalah laksamana laut perempuan pertama di dunia.

Salah satu modal perjuangan Bangsa Indonesia pada masa perang kemerdekaan adalah alat komunikasi. Dikutip dari Wikipedia, pada akhirnya Desember 1948 Radio Rimba Raya telah mengudara dan memberitakan kepada dunia luar bahwa Republik Indonesia masih eksis. Dari Radio Rimba Raya pula para pahlawan Aceh mengumandangkan pesan kepada pejuang-pejuang kemerdekaan lainnya untuk terus berjuang mempertahankan negara dari penjajahan Belanda. Selain menginformasikan berita kemerdekaan Republik Indonesia, Radio Rimba Raya juga menyiarkan berita tentang kenduri akbar di Aceh.

Jatuhnya ibu kota Pemerintahan Yogyakarta serta penangkapan Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir dan beberapa tokoh lainnya,19 Desember 1948 secara spontan Radio Batavia dan Radio Hilversum memberitakan bahwa Republik Indonesia sudah tidak ada lagi. Pada saat yang sama Radio Republik Indonesia Yogjakarta pun direbutnya. Siaran Batavia dan Radio Hilversum dengan tegas dibantah oleh Radio Rimba Raya. Siaran Radio Rimba Raya menandaskan bahwa “Republik Indonesia masih ada, Tentara Republik Indonesia masih ada, Pemerintah Republik Indonesia masih ada, dan wilayah Republik Indonesia masih ada. Dan disini, adalah Aceh, salah satu wilayah Republik Indonesia yang masih utuh sepenuhnya”. Berita ini dikutip oleh All India Radio dan radio-radio lain, kemudian menyiarkan lagi sehingga dunia pun mengetahui kebohongan Belanda.

Dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, rakyat Aceh menyumbang kepada pemerintah Republik Indonesia berupa senjata, makanan, pakaian dan lain-lain untuk membantu perjuangan menegakkan dan mempertahankan kemerdekaan di Sumatera Timur. Pada tahun 1948 rakyat Aceh telah mengirimkan ke daerah Medan Area sebanyak 72 ekor kerbau.

Tahun 1948, rakyat Aceh secara antusias mengumpulkan harta dan emas seberat 20 kg untuk membantu pembelian pesawat udara Indonesia yang pertama. Rakyat Aceh rela pintu rumahnya digedor malam hari untuk menyumbang untuk negara Indonesia. Pesawat yang dibeli dengan sumbangan rakyat Aceh ini diberi nama “Seulawah”, nama sebuah gunung yang terletak di perbatasan Aceh Besar dan Kabupaten Pidie. Pesawat ini diberi nomor RI-001. Selain pesawat, rakyat Aceh kembali menyumbang emas untuk diletakkan di puncak tugu Monumen Nasional (Monas). Dari 38 kg emas tersebut, 28 kg merupakan sumbangan dari pria asal Aceh bernama Teuku Markam.

Semoga Muktamar IDI yang berlangsung di Kota Banda Aceh, kota dan negeri para pejuang ini semakin menginspirasi dan meneguhkan semangat kebangsaan dokter Indonesia. Menguatkan pondasi, struktur dan bentuk, visi dan misi IDI sebagai satu-satunya kendaraan bagi seluruh dokter menggapai masa depannya sekaligus mengantarkan bangsa Indonesia menuju masyakat adan makmur, sehat dan sejahtera. Di Kota Banda Aceh pula kita berharap IDI terlahir baru dengan semangat yang baru. IDI reborn. Wallahu a’lam bishawab

Penulis adalah Ketua Umum PB IDI periode 2012 – 2015 dan Anggota Panitia Adhoc F)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here