Mensinergikan Ekonomi Pancasila dan Sumberdaya Alam

0
729

Kolom H.M. Amir Uskara

Ekonomi Pancasila (EP) adalah ideal jika diterapkan dengan sungguh-sungguh. Ia tidak hanya menyejahterakan rakyat berdasarkan keadilan ekonomi, tapi juga menjaga kelestarian alam.

Bertubi-tubinya musibah di Indonesia — seperti banjir, longsor, dan badai — mengindikasikan bahwa perekonomian Indonesia belum sepenuhnya menerapkan konsep EP. Kita tahu, ketiga musibah terkait hidrometeorologi tersebut, merupakan dampak pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang alpha terhadap kelestarian lingkungan.

Deforestasi masif dan eksploitasi SDA tanpa kompromi terhadap sustainability lingkungan menjadikan bencana hidrometeorologis makin sering terjadi di Indonesia. Solusi untuk mencegah — setidaknya meminimalisir bencana hidrometeorologi tersebut — adalah mengembalikan ekonomi Indonesia kepada konsep EP. Yaitu Ekonomi berbasis lima sila dalam Pancasila.

Ekonomi SDA

Ekonomi SDA menurut Prof. Dr. Emil Salim, Guru Besar Ekonomi Lingkungan Universitas Indonesia, harus mengacu pada sustainabilitas alam yang kompleks, multikultur, dan saling terkait antar satu entitas biologis dengan entitas biologis lainnya melalui rantai kehidupan organisme yang panjang. Itulah sebabnya, dalam mengelola ekonomi SDA, para ahli environomi mengajukan konsep total economic value (TEV).

Dalam TEV, parameter ekonomi tidak hanya diukur dari aspek finansial semata yang ada pada saat itu. Tapi juga mengukur ekonomi dari aspek metafinansial yang belum ada saat itu. Parameter metafinansial tersebut adalah dampak lingkungan yang akan terjadi dan masa depan ekosistem akibat eksploitasi SDA tadi.

Sejauh ini, konsep nilai ekonomi hanya berdasarkan teori ekonomi kesejahteraan neoklasik yang akarnya adalah utilitarianisme. Dalam utilitarianisme nilai ekonomi hanya diukur pada tingkat — sejauh mana sebuah benda bisa memuaskan individu. Preferensinya dinyatakan dalam terma utilitas. Yaitu sebuah kegunaan atau kemanfaatan yang dapat diukur dengan uang. Dengan demikian, nilai ekonomi diukur dari jumlah uang yang bisa diperoleh individu sebagai kompensasi kemanfaatan dan kegunaan benda tersebut. Dalam kaitan ini, willingness to pay (WTP) dan willingness to acecept (WTA) merupakan parameter dari nilai benda atau jasa h yang dapat dipertukarkan dengan uang tadi.

Dalam ekonomi neoklasik, pasar merupakan tempat yang menentukan nilai sebuah benda atau jasa. Komponen dasarnya adalah direct use value atau nilai penggunaan atau kemanfaatan langsung yang preferensinya WTP dan WTA tadi. Komponen direct use itu kini mendominasi sistem ekonomi pasar. Hampir semua transaksi di pasar — seperti jual beli sandang, pangan, dan papan — pendekatannya adalah direct use. Pendekatan ini jelas mengabaikan dampak lingkungan yang akan terjadi. Transaksi SDA dianggap sesuatu yang pasti, fixed, netral, dan hanya berlaku saat itu. No future effects. Transaksi SDA tidak demikian. Transaksi SDA harus melibatkan kepentingan pihak-pihak lain seperti kondisi lingkungan dan ekosistem yang ada di sekilingnya. Karenanya pendekatan ekonomi direct use tidak bisa diterapkan dalam transaksi SDA.

Sebagai contoh penebangan kayu hutan, pembukaan lahan sawit, dan eksplorasi batu bara di hutan lindung tidak bisa memakai pendekatan direct use semata. Tapi juga harus memakai pendekatan indirect use. Pendekatan indirect use memakai parameter masa depan, dengan melihat berbagai kemungkinan yang akan terjadi. Seperti bencana alam hidrometeorologis dan global warming. Saat ini, muncul istilah green industry, untuk menerapkan konsep ekonomi indirect use. Dalam green industry, semua aspek lingkungan, baik jangka pendek maupun panjang, dikaji secara komprehensif.

Dari pendekatan nilai indirect use inilah, lahir konsep TEV yang lebih komprehensif. TEV tidak hanya mengukur nilai benda dari aspek direct use dan indirect use — tapi juga harus mengukur dari aspek nonuse value.

Nonuse value dalam environomi diperkenalkan pertama kali oleh John V Krutilla dari Harvard University, Amerika. Ia menyatakan: nonuse value meliputi semua elemen nilai yang tak terkait dengan pemakaian sekarang dan akan datang.

Lalu apa yang yang harus dinilai dari nonuse value? Jawabnya: Keberadaan. Krutilla menganggap “keberadaan sesuatu di alam” mempunyai nilai terhadap sustainabilitas lingkungan alam tersebut. Konsep Krutilla ini mengandaikan bahwa sebuah kemaujudan atau eksistensi sesuatu di alam, niscaya mempunyai nilai terhadap ekosistem dan lingkungan alam. Ia memberi contoh keberadaan hutan belantara di sebuah pulau tak berpenghuni. Meski hutan itu tak terlihat manfaatnya untuk manusia, tapi Krutilla menganggap bahwa keberadaannya punya nilai untuk keberlanjutan alam. Konsep nonuse value Krutilla ini kemudian dianggap sebagai pendekatan modern dan inspiratif untuk penyelamatan lingkungan, sehingga ia mendapat hadiah Volvo Environment Prize, 1990.

Lebih jauh Krutilla membagi nonuse value menjadi dua. Pertama existence value. Kedua bequest value. Existence value menggambarkan sebuah nilai manfaat dari sesuatu yang telah diprediksi, meski dalam jangka panjang dan bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Pangeran Charles dari Inggris, misalnya, memberi bantuan keuangan untuk melestarikan harimau Sumatera. Padahal keberadaan harimau itu tidak bermanfaat secara langsung kepada dirinya dan juga Kerajaan Inggris.

Lalu apa manfaatnya bagi Charles? Untuk masa depan dunia. Kita tahu, harimau adalah “top end predator” untuk menjaga keseimbangan lingkungan di Pulau Sumatera. Keseimbangan lingkungan tersebut berpengaruh terhadap kondisi atmosfir bumi. Kondisi atmosfir bumi berpengaruh langsung pada global warming. Ini artinya, donasi dari Pangeran Charles tersebut, walau pun bersifat lokal, dampaknya global. Putra mahkota Inggris tersebut, dari perspektif nonuse telah “membeli” keselamatan lingkungan global melalui donasi kelestarian harimau Sumatera.

Sedangkan bequest value merefleksikan keuntungan untuk masa depan suatu bisnis meski tidak bisa memanfaatkannya saat itu. Sebuah industri, misalnya, ikut melestarikan buaya, dengan tujuan jangka panjang, stok kulit buaya tersedia untuk pasokan industri kulit yang dikelolanya. Dengan kata lain, bequest value, merefleksikan “warisan keberadaan sebuah eksistensi” untuk anak cucu, atau generasi mendatang.

Dari gambaran environomi tersebut, kita melihat sisi Ekonomi Pancasila dengan perspektif luas. Dalam EP, perkembangan ekonomi harus berbasis sumberdaya alam yang sehat, kontinyu, dan sustainable. Nabi Muhammad, misalnya, ketika memasuki Kota Mekah (Fathu Makkah) sebagai tanda kemenangan dalam peperangan melawan suku kafir jazirah Arabia, yang pertama diinstruksikan pada tentara Islam adalah — jangan sekali-kali menebang pohon apa pun yang ada di Kota Mekah. Kedua jangan membunuh binatang apa pun yang ada di wilayah Mekah. Ketiga, jangan membunuh anak-anak dan wanita. Dan keempat, jangan membunuh orang tua dan orang yang berdaya.
Perintah Nabi Muhammad kepada pasukannya itu, kalau kita pahami dengan perspektif lingkungan, merupakan suatu upaya untuk menjaga kelestarian alam. Konsep direct use value, indirect use value, dan nonuse value sudah tercakup semuanya dalam perintah Rasul tersebut.

Prinsip ekonomi Pancasila adalah memanfaatkan sumberdaya alam untuk kesejahteraan rakyat dengan bertumpu pada keseimbangan (keadilan) tanpa mencederai alam. Green economy yang bersahabat dengan alam (eco friendly) merupakan salah satu prinsip ekonomi Pancasila yang harus ditegakkan. Tanpa itu, pembangunan ekonomi akan berdampak buruk pada kehidupan bumi. Tepat sekali firman Allah dalam Alquran, “Dan bila dikatakan kepada mereka: Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.” (QS. Al-Baqarah: 11-12).

Penulis adalah Ketua Fraksi PPP DPR RI

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here