Menemukan Pemimpin, Laksana Mencari Jarum dalam Jerami

0
1008
- Advertisement -

Kolom Alif we Onggang

Jelang Pilkala ini musim mencari pemimpin.

Jangankan jadi pemimpin, menjadi manusia normal saja sulitnya bukan kepalang: tidak sirik atas kesuksesan orang lain, patuh kepada aturan lalu lintas, taat bayar utang, atau menepati janji.

Apalagi menjadi seorang presiden, menteri, gubernur, bupati, ketua partai, rohaniawan, pimpinan ormas, hingga anggota dewan.

Pemimpin semakin jangkung pohonnya, kian kencang terpaan angin. Sebab pemimpin rnengemban misi mulia, maka ia diimbangi tanggung jawab yang besar pula. Tapi apa daya, banyak pemimpin tidak menginjak bumi dan rnengambang di awang-awang.

- Advertisement -

Ada yang kembali berjanji, padahal janji periode lalu saja menumpuk dalam lemari. Ada petahana dalam kampanye akan mendaur ulang sampah, padahal di akhir masa jabatannya, bau sampahnya justru makin menyengat. Ia maju lagi dan orang cuma butuh amplopnya.

Obama menyambangi orang di jalanan, hingga ke tukang gali got menjual gagasannya. PM Jepang Yoshihide Suga yang pernah jadi buruh pabrik, ribuan kali mendatangi orang di perkampungan untuk mengajak berdialog dan mendengar aspirasinya.

Di kita,  pemimpin lebih sering dijumpai di baliho dengan tampang manis, kalau tidak cengar-cengir.

Kalau terpilih, ia senang melihat orang tersiksa membungkuk-bungkuk mencium punggung tangannya. Kekuasaan demikian nikmat dicicipi. Senang dipujapuji, ABS, baperan jika dikritik.

Dalam khazanah Lontara, banyak nilai-nilai kepemimpinan yang mendasarkan pada kebajikan. Dan kebajikan itu melekat pada diri seorang pemimpin. Tentu ia bukan tipe pemimpin yang cuma duduk di menara gading; yang selalu dahaga akan pujian, harta, wanita dan tepuk tangan.

Kendati status sosial jabatan cuma dipinjamkan belaka karena sewaktu-waktu ia tanggal begitu saja dan bakal ditinggalkan oleh kerabat-kerabatnya sekalipun.

Prinsip-prinsip dasar Lontara menyoal kepemimpinan, adalah kata-kata yang benar (adatongeng). kejujuran dan tidak mencuri hak orang (lempu), konsisten pada pendirian (getteng), saling menghargai sesama (sipakatau) dan berserah diri pada pencipta (rnappesona ri pawinruk seuwae). lni konsep kepemimpinan yang dulu diimajinasikan Plato (428-427 SM) bahwa seorang pemimpin idealnya seorang filsuf.

Namun nilai-nilai itu sungguh ideal untuk dipadankan dengan konteks sekarang. Ia berlawanan dengan ruang waktu kini; lantaran sama dengan menjaring angin.

Begitu sulitnya mencari seorang pemimpin yang sudah selesai dan paripurna. Ia laksana mencari jarum dalam tumpukan jerami.

Tak sedikit mereka menghalalkan sogala ihwal untuk menduduki kursi kekuasaan. Adakalanya mengejar layang-layang putus sehingga walau orang lain telah rnendapatkannya ia merebut paksa dan mengoyak-payak layangan tadi. Senang melihat orang menderita karenanya,

Pernah dalam satu kurun di mana sejumlah tokoh menarik serumpunnya tatkala mereka duduk di singgasana, Sekonyong-konyong kalau tidak merebut jabatan hidupnya nelangsa di bawah kolong jembatan.

Kepemimpinan tak lebih dari sebuah hadiah untuk merelakan pelayanan. Robert K Greenleaf memperkenalkan konsep kepemimpinan yang melayani. Yaitu model kepemimpinan yang mendahulukan pelayanan kepada orang lain.

Pendek kata, pemimpin siap menderita. Bukan melayani diri, keluarga, kelompok, suku, agama, atau partai sendiri. Model ini sebetulnya hukan konsep baru, karena dalam setiap titah agama, filosofi kepemimpinan adalah sikap melayani terutama terhadap si lemah. Nabi Muhammad diutus menjadi pemimpin bagi suatu kaum dan merupakan pelayan umat. Isa Almasih melayani manusia dengan cinta kasih.

Pemimpin adalah pembawa tugas. la tahu bagaimana harus bekerja.

Namun, perpolitikan yang karut-marut dan membelah, lebih banyak diliputi pikiran jangka pendek, ala kadarnya dalam siklus lima tahunan, eh pilkada mi seng, pilpres mi sedeng. Ini simptom lima tahunan. Selalu berulang.

Tanpa sadar, kita sebetulnya kehilangan figur pemimpin dan melulu ketemunya dengan penguasa. Itupun penguasa yang sering reaktif diskriminatif dan dibalas rakyat dengan anarkis pula. Setimpal.

Kekosongan kepemimpinan, alhasil melahirkan penguasa-penguasa dan politisi medioker, para begundal dan aji mumpung, penumpang gelap, pemimpin populis yang piawai membakar massa. Pemimpin solidarity maker diganti oleh penguasa bermental calo. Akibatnya, 397 pejabat dan politisi kota dan kampung ditangkap KPK selama  2004-2020.

Tak kurang pula, berseliweran pemimpin-pemimpin yang perlu merawat dan mempertahankan pengikutnya. Maka mereka perlu kambing hitam dan stigma. Komunis, Islamis, Radikalis atau Cina.  

Kenapa Cina tak disukai, karena ia menguasai teknologi, militer, dan uang. Jepang dan Australia perlu berkolaborasi untuk melawannya. AS dibuat kelimpungan. Padahal dulu Cina jauh di belakang Indonesia. Vietnam yang belajar menanam padi di Jawa, sudah lama memberi makan orang Indonesia.

Tahun lalu, Cina berhasil mendaratkan pesawat ruang angkasa di bulan. Dari bulan, ia meneropong tingkah laku orang Indonesia yang terus bertengkar, saling menyakitkan bahkan merendahkan, acap dengan kata-kata jorok hingga lupa belajar dan bekerja. Buktinya, kemampuan Cina dalam sains, matematika, dan membaca nomor satu di dunia, sementara Indonesia terbelakang di urutan 72.

Jadi siapa yang menguasai ilmu pengetahuan dialah sang penakluk dunia. Seperti Imperium Islam Ottoman yang merajai Eropa, sebagian Afrika dan Asia ratusan tahun lamanya, lewat ilmu pengetahuan, sains, filsafat, seni dan moderasi agama.

Sekarang?

Justru sistem algoritma yang diciptakan ilmuwan Islam dikembangkan oleh Barat menjadi kecerdasan buatan yang memudahkan hidup kita. Dari chat dengan istri simpanan di WA,  mencari mal baru di Google, hingga pesan kapurung lewat aplikasi pesan antar.   

Jadi dari sanalah titik berangkatnya: pengusaaan ilmu

Tapi benar kata Dieh Arthur Schilier, inilah zamannya zaman besar, tetapi zaman besar itu yang ditemukan manusia-manusia kerdil.

Kodong, Kasihan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here