Menegakkan Harkat Profesi Dokter

0
504

Kolom Zaenal Abidin

Adalah Cicero (106-43 SM), orator, penulis dan negarawan Romawi yang menciptkan kata dignitas, martabat manusia yang menyangkut aspek keutamaan atau keunggulan dan menjadikannya layak dihormati. Kata dignitas dihubungkan dengan kewajiban-kewajiban manusia. Ketika itu kewajiban publik mendapatkan nilai yang sangat tinggi di dalam masyarakat, sehingga orang yang melalaikannya akan dipandang rendah. Menurut Cicero, martabat manusia terletak pada tindakannya yang disesuaikan dengan tugas dan kewajibannya.

Dalam hubungan dokter dan pasien, bila mengacu pada kata dignitas ciptaan Cicero di atas maka akan bertemu dua dignitas, yakni dignitas dokter dan pasien. Dignitas dokter sebagai profesi, yang karena jasanya sehingga menunjukkan level dan keutamaan, yang tidak sama untuk semua orang di tengah masyarakat. Dignitas ini bisa naik dan bisa pula turun, karena itu ia lebih dekat dengan kata “harkat” dalam bahasa Indonesia atau attributed dignity.

Sementara itu, dignitas pasien lebih menekankan aspek kesamaan antarmanusia. Dignitas pasien adalah dignitas manusia yang stabil tidak berubah selama pasien itu adalah manusia. Tidak berubah walaupun manusia itu kehilangan sebagian anggota badannya atau sakit. Dalam bahasa Indonesia dimaknai sebagai “martabat” dari bahasa Arab “martabah” yang berarti kedudukan atau peringkat utama atau mulia. Sering pula disebut martabat manusia, yang dihubungkan dengan istilah intrinsic dignity.

Sebagai profesi luhur, setidaknya profesi dokter itu menyipati empat hal: Pertama, selalu dituntut pertanggung jawaban bila menjalankan pekerjaan atau pengamalan profesinya. Kedua, menghormati apa yang menjadi hak pasien (orang lain) sebagai wujud prinsip keadilan. Ketiga, bersikap ikhlas dalam memberi pelayanan dengan mengutamakan atau mendahulukan kepentingan pasien dibanding kepentingan pribadi atau keluarganya (altruistik). Keempat, selalu mempertahankan etika profesinya sekalipun masyaraat atau bahkan pemerintah dan negara berkehendak lain. Etika profesi luhur menghendaki agar pelaku profesi luhur menjunjung tinggi tuntutan profesinya.

Profesi dokter adalah pekerjaan yang membutuhkan dukungan “body of knowledge” sebagai dasar bagi perkembangan teori yang sistematis, menghadapi berbagai tantangan. Karenanya, membutuhkan pendidikan dan latihan yang cukup lama. Profesi dokter memliliki etika dan kode etik, dengan orientasi utama adalah memberi pelayanan kedokteran kepada pasien. Karena itu, tidak salah bila Wilensky (1964) menyebut bahwa profesi itu bukanlah sembarang pekerjaan.

Secara umum profesi dokter itu memiliki kriteria sebagai berikut: Pertama, ilmu. Setiap dokter harus memiliki ilmu dan pengetahuan kedokteran yang optimal. Ilmu dan pengetahuan itu diperolehnya melalui suatu pendidikan formal di Sekolah Kedokteran, mulai dari program preklinik, program profesi dokter sampai menjadi dokter.

Kedua, pelayanan. Setiap dokter memberikan pelayanan yang dinilai oleh masyarakat sebagai suatu yang sangat bermanfaat. Dalam pemberi pelayanan, terjadi hubungan antara dokter dan pasien yang didasari oleh kepercayaan satu terhadap yang lain. Hubungan kepercayaan ini melahirkan adanya sikap kepasrahan pasien kepada dokternya. Sikap pasien yang demikian harus pula diimbangi oleh perlakuan dan tanggung jawab dokter. Kepercayaan pasien selain didasarkan atas keahlian dokter, juga bersumber dari integritas dokter itu sendiri. Dari sini pula muncul adanya rahasia jabatan seorang dokter. Rahasia jabatan ini mutlak harus dipegang teguh oleh setiap dokter. Sepatah kata yang bernilai rahasia dari mulut seorang dokter dapat menghancurkan reputasi dan hubungan baik dokter dan pasiennya.

Ketiga, otonomi. Profesi dokter memiliki otonomi untuk memutuskan dan mengawasi pekerjaannya sendiri. Hal ini dapat dimengerti sebab tidak ada orang lain yang lebih tahu tentang seluk-beluk pekerjaan dokter selain dokter itu sendiri dan anggota seprofesinya. Pemberian otonomi ini bersumber dari kewenangan hukum dan kepercayaan masyarakat atas keluhuran profesi dokter. Dari sini pula munculnya tuntutan agar profesi dokter membuat standar profesi dan dipatuhi oleh anggota profesi dalam praktiknya. Etika dan kode etik kedokteran harus mampu menggariskan bahwa seorang dokter senantiasa mengindahkan standar profesinya. Etika dan kode etik menjadi urusan internal profesi dokter itu sendiri.

Sejarah Kelam Profesi Dokter

Setelah Hippokrates meninggal sebagian muridnya meninggalkan ajaran gurunya, salah satunya, “dokter tidak seharusnya bekerja untuk keuntungan pribadi, melainkan karena cinta pada manusia.” Ketika itu, banyak yang lebih memilih euthanasia dengan memberikan racun ketimbang berupaya untuk menyembuhkan pasien. Menipu dan membocorkan rahasia, mencobakan metode pengobatan atau obat yang belum terbukti khasiatnya, melakukan perbuatan asusila dan sebagainya.

Bila ditarik ke belakang pada zaman Babilonia kuno, boleh jadi dokter yang melanggar berat tersebut akan berhadapan dengan hukum potong tangan Undang-undang Hammurabi. Atau dapat pula terkena larangan dari “Sumpah Asaph”, ditulis oleh dokter Asaph Judaeus, yang menginspirasi Phytagoras dan pengikutnya (580-500) untuk mengucapkan sumpah. Sumpah ini disebut “Manifesto Pythagorean” atau lebih dikenal sebagai “Sumpah Hippokrates” sebagai penghormatan kepada Hippokrates sebagai Bapak Ilmu Kedokteran Modern

Pada masa Ibnu Sina di Gurganj pun demikian. Banyak dokter yang tidak kompeten, dianosanya sering keliru, menyalahgunakan pekerjaannya, sehingga merugikan masyarakat. Manurut Ibnu Sina; “Syarat utama untuk bekerja di bidang kedokteran adalah penguasaan ilmu dan latihan di bidang tersebut. Orang-orang yang bergelut dengan nyawa orang lain seharusnya adalah orang-orang pilihan yang mulia akhlaknya, rendah hati, dan tidak tamak.”

Ibnu Sina mengusulkan kepada raja agar dibentuk Dewan Kedokteran guna menyeleksi dan melarang praktik pengobatan dokter-dokter yang belum mumpuni. Dewan Kedoteran Gurganj yang diketuai Raja al-Ma’mun itu beranggotakan lima orang tokoh terkemuka, tiga berprofesi dokter dan dua berprofesi non dokter. Jangan mengira dokter yang dilarang melakukan praktik tidak kompeten dan etis itu diam saja. Mereka dan para pendukungnya bahkan menunjukkan ketidaksenangannya dan memusuhi Ibnu Sina.

Dalam perkembangan, tampaknya Sumpah Hippokrates belum cukup untuk mencegah perilaku tercela para dokter. Serentetan peristiwa kelam masih terjadi. Seperti yang sangat fenomenal ketika para dokter melakukan tindakan kriminal dan kekejaman medis, dengan dalih penelitian ilmiah kepada tawanan Perang Dunia ke-2.

Mereka melakukan riset tidak etis, tidak manusiawi, tanpa penjelasan dan persetujuan dari manusia yang dijadikan obyek. Akibatnya, banyak yang meningal. Kejadian ini terungkap dalam Tribunal Nuremberg, yang kemudian dirumuskan dalam Kode Nuremberg 1947. Tidak berhenti sampai di situ, masih ada kejadian berikutnya, sehingga lahirlah Pedoman Internasional Pengaturan Penelitian Medis pada Manusia. World Medical Association pun kemudian memperbaharui dan sempurnakan bunyi sumpah dokter, 1947 dan merumuskan Kode Etik Kedokteran Internasional, 1949.

Dari sekian pelanggaran yang merendahkan harkat profesi di atas, bila di kelompokkan maka dapat dikategorikan menjadi tiga berat dan ringannya. Pertama, pelanggaran derajat ringan sehingga hanya melanggar etik saja. Kedua, pelanggaran derajat sedang sehingga dikategorikan melanggar disiplin dan etik. Ketiga, pelanggaran derajat berat sehingga dikategorikan melanggar hukum, disiplin dan dipastikan melanggar etik pula. Artinya, baik pelanggaran ringan, sedang, maupun berat, pasti melanggar etika. Dengan demikian, semua pelanggaran yang merendahkan harkat profesi dokter selalu berawal dari pelanggaran etika kedokteran.

Menegakkan Harkat Profesi Dokter

Nah, bagaimana agar profesi dokter mampu mempertahankan harkat dan keluhuran profesinya? Untuk mempertahankannya, tentu harus dimulai dari individu dokter itu sendiri sebagai anggota profesi. Dokter tersebut harus sadar bahwa ia sedang diberi menerima kepercayaan penuh dari pasien. Pasien memasrahkan perawatan kesehatan kepada dokternya. Karena itu seorang dokter wajib menjunjung tinggi kepercayaan yang diterimanya dengan memberikan pelayanan dan perawatan sebaik-baiknya. Pelayanan dan perawatan yang penuh tanggung jawab, dibarengi perilaku luhur.

Di sini, organisasi profesi dokter dalam hal ini Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan peer group-nya harus mengambil tanggung jawab untuk mencegah terjadinya minus etika. Menghimbau dan melarang perilaku tercela anggotanya demi menjaga martabat masyarakat serta harkar dan keluhuran profesi dokter. Organisasi profesi harus selalu mendampingi dan membina anggotanya agar mematuhi sumpah dokter dan kode etik kedokteran dalam perilaku kesehariannya.

Organisasi dapat menghimbau agar Sumpah Dokter Indonesia dan Kode Etik Kedokteran Indonesia dipasang di ruang praktik dokter. Tujuannya, selain agar dokter tersebut mengingatnya, pasien dan anggota keluarganya pun dapat membacanya serta memahaminya. Bahkan bila pasien merasa dirugikan maka ia dapat melaporkan dokter tersebut ke Majelis Kehormatan Etik Kedokteran. Tentu dengan maksud agar dokter tersebut selalu mematuhi sumpah dan etika profesinya.

Apabila organisasi profesi telah mengingatkan namun dokter tersebut tetap minus etika, melanggar etika maka organisasi profesi dituntut mengambil tanggung jawab, memberi sanksi etik. Telah diuraikan di atas, bahwa pelanggaran etika adalah hulu dari terjadinya pelanggaran disiplin dan hukum. Pelanggaran etika ini tidak boleh dianggap sepele, jika tidak ingin terjembab ke sejarah kelam masa lampau.

Sanksi pelanggaran etika profesi dokter dapat berupa teguran, pengasingan atau pengucilan, skorsing, sampai dikeluarkan dari keanggotaan organisasi profesi. Tergantung berat atau ringannya pelanggaran yang dilakukan. Jadi, pengucilan, skorsing, sampai dikeluarkan dari keanggotaan organisasi adalah hal biasa bagi suatu profesi.

Bila sanksi diterima dan dijalani secara tulus maka pada akhirnya organisasi profesi akan merehabilatsi nama dokter tersebut supaya dapat kembali diterima oleh para sejawatnya. Namun, jika tidak setuju atau berkeberatan dengan sanksi tersebut maka ia berhak mengajukan pembelaan diri dalam forum yang disediakan organisasi profesi. Begitulah sejatinya profesi dokter menegakkan harkat dan keluhurannya. Wallahu a’lam bishawab.

Penulis adalah Ketua Umum PB IDI periode 2012-2015 dan Sekjen PB IDI periode 2006 – 2009)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here