Logika Sedekah

0
703
- Advertisement -

Kolom Ruslan Ismail Mage

Saat berdialog dengan penaku, ada ketukan pintu sambil mengucapkan salam. Masyaallah saya kedatangan seorang sahabat lama yang tidak pernah jenuh meningkatkan kecerdasan spiritualnya di tengah hiruk pikuknya kota Jakarta. Ia membawakan bingkisan yang luar biasa indahnya dan tak ternilai harganya. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya kalau bisa mendapatkan bingkisan seindah itu. Betapa tidak! Bingkisannya itu telah merubah cara berpikir dan perilaku saya dalam menjalani rutinitas kehidupan sebagai akademisi, inspirator dan penulis buku. Bingkisannya itu kemudian saya bingkai dengan tasbih lalu kuberi nama “Logika Sedekah” yang sangat inspiratif dan mudah dicerna untuk menyadarkan kita semua kalau sedekah itu bisa dilogikan secara sederhana.

Bingkisan itu diawali dengan diskusi familiar membahas salah satu ayat dalam Al-Qur’an yang menerangkan bahwa dalam setiap rejeki kita ada juga rejeki orang lain. Sepintas ini tidak bisa dilogikan, karena kita yang bekerja keras siang dan malam, kepanasan, kehujanan, dan tidak jarang menahan lapar, baru rezeki yang kita dapat itu dikatakan ada juga rezeki orang lain. Orang lain tidak membantu kemudian memiliki juga hak dalam rezeki yang kita dapat dengan cucuran keringat. Begitulah beberapa pertanyaan mengemuka dalam diskusi santai yang mencoba mencari logika sedekah. Untuk mencari alasan pembenar logika sedekah, ikuti ilustrasi sederhana berikut ini.

Sekitar jam lima pagi biasanya petugas kebersihan kota sudah menyapu sampah dan daun-daun kering yang banyak bertebaran di jalan. Tak lupa menyingkirkan batu-batu yang bisa membahayakan pengendara motor. Kita pun melaju dengan aman menuju tujuan. Diperempatan jalan nampak seorang bapak mengatur jalan supaya tidak semrawut karena lampu pengatur jalan tidak berfungsi. Kita pun terhindar dari kemacetan yang bisa merampas waktu produktif kerja. Sampai di kantor tidak bisa memarkir motor atau mobil karena sudah penuh tempat parkiran, lalu tukang parkir menggeser motor yang lain untuk mempersilahkan kita memarkir kendaraan. Sampai di ruangan kerja suasana sudah bersih, harum, disertai segelas air teh di atas meja. Sesaat kemudian kita menjalankan pekerjaan dengan perasaan tenang dan damai. Begitulah yang terjadi setiap hari sampai akhir bulan kita menerima gaji.

Dari titik ini, nampaknya perlu merenung sejenak. Sadarkah kita, ketika setiap hari berangkat ke kantor untuk menjemput rezeki, ternyata begitu banyak bantuan orang lain yang terkadang kita tidak sadari. Ilustrasi di atas menunjukkan bahwa ada empat orang (tukang sapu jalanan, bapak pengatur jalan, tukang parkir, dan cleaning service) yang sudah membantu memuluskan perjalanan dan pekerjaan kita dalam menjemput rezeki. Lalu adilkah kita ketika ternyata setiap saat dibantu oleh orang-orang kecil dan lemah dalam menjemput rezeki, tetapi tidak berbagi kalau mendapat rezeki?

- Advertisement -

Firman Allah dan Hadits Nabi berikut ini akan menjawabnya. “Dan pada harta benda mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta, dan orang miskin yang tidak meminta.” (QS. Az-Zariyat : 19). Sementara Rasulullah SAW bersabda “Tidaklah kamu diberi pertolongan dan rezeki melainkan karena orang-orang lemah di kalangan kamu.” (HR. Bukhari).

Sahabat pembelajar, dengan memahami logika sedekah ini, tidak ada lagi alasan untuk tidak berbagi ke sesama. Karena ketika memberi sesungguhnya kita menerima. (Salam berbagi tanpa syarat, salam sehat tanpa limit. Salam sukeses tanpa batas, salam damai tanpa sekat, salam bahagia tiada akhir).

Penulis : Akademisi, Inspirator dan Penggerak, Founder Sipil Institute

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here