Leluhurku dari Pegunungan, Atas Pammase dan Saromse Saya Berada Saat Ini

0
318

Kolom Fiam Mustamin

MENGINGAT saja sudah penuh keharuan.

Masa pra sekolah dalam suasana kekacauan gerembolan pemberontakan Abdul Qadhar Mudzakar, Darul Islam Tentara Indonesia/DITI, kami sekeluarga menyingkir ke daerah pegunungan perbatasan Soppeng/Abbolongen dan Barru/Takklasi.

Di Takkalasi, wilayah kekuasaan Daeng Patobo, disapa dengan Puang Tobo yang begitu dihormati masyarakat termasuk para gerombolan, rakyat yang berontak masuk hutan pimpinan Abdul Kadhar Mudzakar.

Saya masuk Sekolah Rakyat di Takkalasi sekitar tahun 1954 an. Dari situ dengan becak tiga roda keluarga sering membawa saya ke Wiringtasi, sebuah teluk pantai daerah Mangkoso.

Di Wiringtasi berdiam kerabat bangsawan, ada Saoraja yang di halamannya ada tambak luas, di daerah itulah bermukim keluarga dari Tajuncu Soppeng.

Karena itu saya tak terpisahkan secara emosional dengan daerah itu yang disebut Soppeng Riaja.

Beberapa saat di Takkalasi kembali ke kampung dan melanjutkan sekolah di desa Tajuncu dan Leworeng 15 km dari kota Watansoppeng setelah mendiang ayahanda La Fiabang bin La Bandung sekitar tahun 1955.

Saya bisa bersekolah atas kebaikan keluarga Guru La Upe dan Petta Sahari suami isteri yang guru sekolah.

Di Saoraja Merekam Cerita Peradaban

DI MASA kanak kanak pra sekolah, ayah sering membawa saya ke Saoraja untuk tablik bersama orang tua kerabat.

Saya yang merengek untuk ikut dan ayah menidurkan dengan menyelimuti sarung/ dibombo bermaksud menidurkan.

Tapi saya tidak tidur mau mendengarkan/ maccoling tablik orangtua yang belum saya pahami dan kemudian perilaku ingin tahu dari masa itu sampai kelak dewasa terbawa menjadi anak sok tau seolah olahnya banyak tau dari sedikit yang diketahui, hahaha …

Dari dalam sarung itu, saya mendengarkan apa yang dibicarakan para krabat Arung itu/subhanallah … serpihan pembicaraan itu masih terekam dalam memori.

Di masa sekolah, saya ikut bertani, makkaja di sungai/ mattoa bale namanya dan di tapparreng/ danau tempe.

Saya ikut menghalau ternak sapi tengah malam hujan-hujan melewati kuburan/ woh serem deh … ke sawah yang akan dibajak esoknya.

Sembari menyongsong fajar, ternak dilepas bebas di persawahan, kami anak penggembala pada berbaring di saung/ bola bola galung yang tak beratap memainkan kecapi dan seruling menatap langit dan bintang bintang.

Bunyi itu bagai simponi di alam terbuka menggema di tengah persawahan dari empat penjuru, begitu terekam dalam batin.

Sesat lagi fajar, para ibu ibu berdatangan menjunjung sarapan berupa sokko/ pengnge, ikan kering / bale bolong/ gabus atau tarawani, parutan kelapa dan bette kaluak dan peco bue/ kacang putih yang dihaluskan.

Sering pula disertai dengan tuak aren manis yang sudah dihangatkan supaya tidak jadi cuka.

Di perumahan guru disela pohon kelapa, malam menjelang tidur, saya suka membuka buka majalah pembagian guru, Voice of Amerika dalam teks Indonesia.

Sejak itu terlintas bayangan tentang kota itu di Amerika selain kotaku di Soppeng / kota bukit pegunungan sejuk yang dipenuhi burung kelelawar/ Panning yang bergelantungan terus mengerang dipohon asem.

Di kota itu adanya Salassae/ kediaman krabat Datu tempat menyimpan benda pusaka warisan Datu pertama, Tau Manurunge La Temmamala yang namanya Arajangnge.

Periode belajar di SMP kota Watansoppeng ini selesai tahun 1965 di masa pembetontakan Gestapu PKI.

lalu lanjut ke SMA di kota Juppandang/ Makassar yang memberi basis pemahaman budaya dan pergaulan berbagai suku dengan seniman budayawan khususnya.

Saya melakukan berbagai kegiatan yang bisa mendapatkan uang, teristimewa menjadi kru film yang diproduksi ; Sanrego dan Di Pantai Losari.

Lalu nekat merantau/ sompe ke Jakarta dengan modal telah punya kenalan orang Jakarta yang pernah ke Makassar.

Kesempatan itu ketika datang undangan Lokakarya Perfilman 6 bulan dari PARFI 1973.

Setelah lokakarya selesai, lagi lagi saya nekat kuliah di Sinematografi LPKJ / IKJ saat ini atas rekomendasi Ketua Dewan Kesenian Makassar, Rahman Arge.

Tiga tahun kemudian, 1975, sayapun mengikuti kuliah Ilmu Komunikasi di Universitas Ibnu Chaldun atas dorongan rektor Prof Amura.

Sementara status mahasiswa itu saya aktif di organisas profesi Parfi sembari menulis berita seputar Kebudayaan dan Kesenian untuk sejumlah media di Jakarta dan Pedoman Rakyat di Makassar yang honornya peruntukan bagi sekolah adik adik di daerah.

Seterusnya aktif di organisasi Sosial Budaya (KKSS dan Institut Lembang Sembilan ) dengan akumulasi waktu keseluruhan dari bakti sosial itu selama 30 tahun tanpa pensiunan.

Di awal di Jakarta tahun 1974 dari Parfi, saya lolos seleksi beasiswa satu satunya dari Deppen RI ke Colombo Plan di USA untuk studi Seni Peran/ Perfilman.

Tidak jadi pemberangkatan terkendala oleh hubungan politik kedua negara saat itu.

Bila takdir bersekolah di Amerika, mungkin saya anak gunung salah satu dari kampung yang ke negeri Super Power Paman Sam dimana bermukim multi suku bangsa kiblat peradaban dunia.

Jalan takdir itu mengikuti ketentuannya, setidaknya saat ini ada yang bisa saya tuliskan dalam memori kenangan ini.

Semua ini bisa terjadi karena kehendakNya/ Pammasena Puangnge.

Perilaku dalam kehidupan ini dengan ketulusan hati untuk selalu hadir yang saling memberi manfaat, tidak dengan perhitungan menunggu imbalan jasa, itulah Saromase yang semata karen memohon ridho Allah SWT, aamiin.

Semua ingatan dan pengalaman melakukan aktivitas kehidupan dengan ketulusan memberi kekuatan dalam hati dan pikiran untuk menjadi syiar ibadah dalam lakon hidup sehari hari untuk dilakukan dan dituliskan.

Dari makna itu, saya mengamati kehidupan Ulama/Anre Guru bila sedang bertausyia di mimbar, pesan pesan ajarannya yang disampaikan mengalir tanpa teks panduan, dan inilah Hidahnya/ Pammase bagi umat yang terpilih dengan peran itu.

Karena itu, jadilah umat yang mengemban amanah Rahmayam Lil Alamin, Aaamiin …

Legolego Ciliwung 7 Maret 2023

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here