KKSS, Gemiliar, Kita

0
6454

Oleh Imran Duse

Entah apa yang sedang dipikirkan kakanda Fiam Mustamin ketika menyebut saya al-ustadz saat mengawali tulisannya “Manusia Bersahabat dengan Makhluk Alam” (PINISI, 1/5/2020). Mungkin sedang melamunkan adzan maghrib. Mungkin terjaga di kesenyapan malam, merengkuh kemesraan bersama-Nya. Ataukah itu sebuah doa? 

Saya mengenal kanda Fiam Mustamin sejak tahun 1990, sebagai “penjaga gawang” KKSS; sekaligus sebagai ‘striker’ dan ‘goal-getter’. Saat itu saya masih kuliah di Yogyakarta. Aktif di kampus membuat saya kerap ke Jakarta mengikuti acara kemahasiswaan, wawancara tokoh, atau sekali waktu demo ke Senayan. 

Dari situlah relasi dengan penggiat perfilman ini terjalin. Kok bisa? Ada hubungan apa kegiatan kemahasiswaan dengan KKSS? Atau, jangan-jangan Fiam Mustamin aktor intelektual di balik demo-demo mahasiswa waktu itu?

Jangan suudzon dulu. Bagi mahasiswa seperti saya, kantor KKSS saat itu adalah “penginapan” terbaik di Jakarta: ber-AC, sering ada diskusi, dan –ini yang penting– gratis. Saya bersyukur pernah berkegiatan di hampir semua “penginapan” terbaik itu. Sejak di Tanah Abang, Cideng Barat, Kebon Nanas, Buncit Raya hingga ke Lantai 22 Gedung Bank Bumi Daya. Termasuk di Bendungan Hilir yang sekarang sudah menjadi milik KKSS.

Dari situ pula saya mengenal Aprial Hafsah, Alif we Onggang, dan teman-teman yang aktif di sekretariat. Selain tentang KKSS, kami juga sering berdiskusi soal Ikami Sulsel. Termasuk ketika kami merencanakan penerbitan majalah “Baruga”.

Tentang ini, ada sejumput cerita menarik. Suatu hari di Makassar, menjelang pembukaan Mubes Ikami Sulsel tahun 1992. Saya bersama kanda Fiam Mustamin dan kanda M. Pahlevi Pangerang (Ketua Umum PB Ikami Sulsel) menyerahkan majalah “Baruga” ke Ir. H. Akbar Tanjung (Menpora), Prof. Dr. H. Achmad Amiruddin (Gubernur Sulsel) dan Maya Rumantir (Owner Maya Gita).

Saat tiba giliran Prof. Dr. Ir. H. Beddu Amang, Ketua Umum BPP KKSS mengira majalah itu terbitan KKSS. “Bukan pak. Ini majalah adik-adik Ikami,” kata kanda Fiam, tak menduga pertanyaan itu.       

Pergumulan dengan KKSS lebih jauh terjadi ketika saya pindah ke Jakarta, tahun 1998. KKSS, selain sebagai komunitas, sesungguhnya juga adalah laboratorium, tempat di mana ide dibedah dan dibincangkan. Wadah berkegiatan sekaligus proses belajar. Sebuah lingkaran saudara dan ruang gerak. Mungkin juga sebuah simpul kehidupan yang menjadi bagian –mungkin bagian kecil– dari proses masyarakat untuk memberi manfaat bagi lingkungan dan bangsanya.

Lewat itu, saya berkesempatan mengenal gaya kepemimpinan beberapa Ketua Umum KKSS: H. Beddu Amang, H. Mohammad Taha, H. Hasanuddin Masseile, dan H. Abdul Rivai. Adapun H. Sattar Taba hanya dalam momen tertentu, semisal PSBM maupun rakernas, dikarenakan saya sudah berdomisili di Kalimantan Timur. 

Gaya kepemimpinan tersebut masing-masing memiliki gelora dan langgam berbeda dalam mengemudikan arah ‘bahtera’ KKSS. Semua punya kelebihan dan kelemahan. Namun ada satu hal yang mempersamakan: keikhlasan. 

Keikhlasan adalah modal utama mereka, para Ketua Umum KKSS itu. Bukan hanya dalam aspek finansial, tetapi waktu dan seluruh jejaring yang mereka miliki juga diwakafkan untuk merawat eksistensi dan mendorong kemajuan organisasi.

Rute Baru

Hemat kita, keikhlasan itu jugalah yang “memanggil” H. Muchlis Patahna, SH., M.Kn., untuk menakhodai KKSS –organisasi yang entah kenapa sangat berarti bagi kita. Saya mengenalnya cukup baik, saat tokoh HMI ini menjabat Sekjen (2 periode) dan Wakil Ketua Umum KKSS. Selain menjadi Notaris papan atas, juga mengelola pondok pesantren di Jawa Barat dan dikenal memiliki jejaring luas di kalangan elite. 

Dengan pengalaman panjang itu, wajar jika banyak pihak menaruh harapan di kepengurusan saat ini. Juga terhadap Yayasan Gerakan Miliaran (Gemiliar) yang di-launching bersamaan pengukuhan pengurus BPP KKSS periode 2019-2024. Kakanda H. Muchlis Patahna pasti telah “belajar” atas pengalaman gerakan serupa yang pernah digagas KKSS. Misalnya, Gerakan Seribu Latimojong dan Gerakan Siri’ na Pacce, yang tak terdengar lagi kabarnya. 

Sebagaimana diberitakan, Gemiliar (lidah saya sejuurnya lebih nyaman menyebut Gemilar, hehe) sudah menghimpun dana sebesar Rp 4,4 miliar. Jumlah itu belum termasuk donasi Pak Jusuf Kalla, Aksa Mahmud, dan tokoh KKSS lainnya. Dengan pengelolaan secara profesional dan akuntabel, jumlah ini tentu berpeluang bertambah.

Akankah Gemiliar mengikuti jejak yang gelibat ataukah membuat rute baru? Waktulah yang akan menjawab. Harapan kita, Gemiliar tidaklah majal. Ia mesti efektif dan terstruktur. Sebab itu, kita ingin mengusulkan dua hal. 

Pertama, Gemiliar hendaknya mendorong tradisi menulis di kalangan pelajar/mahasiswa keluarga besar KKSS. Ini dapat bekerjasama dengan portal PINISI. Katakanlah, Gemiliar mengapresiasi setiap tulisan pelajar/mahasiswa yang tayang di PINISI online dengan menyediakan honorarium sekadarnya. 

Gemiliar juga bisa menyediakan bantuan dana penelitian untuk mahasiswa yang akan melakukan riset tentang KKSS. Kita berpendapat, ada banyak dimensi terkait KKSS yang bisa diteliti, khususnya untuk skripsi S.1.

Tulisan terpilih pelajar/mahasiswa serta skripsi yang memenuhi syarat, pada waktunya dapat diterbitkan menjadi buku. Dan bisa dibayangkan ada berapa judul buku yang akan diterbitkan BPP KKSS dalam periode ini. 

Barangkali, ini salah satu cara melanjutkan tradisi menulis di kalangan masyarakat Bugis-Makassar yang sudah berlangsung sejak dulu. Bukankah UNESCO, badan dunia di bawah PBB itu, telah mengakui naskah Ilagaligo sebagai Memory of the World

Inilah jejak peradaban manusia Bugis Makassar dan menjadi salah satu dari empat karya sastra terbaik di dunia. Dan diantara itu, Ilagaligo adalah yang terpanjang. Maka cara terbaik mengenang kehebatan Ilagaligo ialah melanjutkan tradisi menulis tersebut. 

Yang kedua, kita berharap ada “perbaikan-serius” website KKSS. Apa yang kita longok di www.kkss.or.id (diakses 6/5/2020, pukul 04.00 Wita) sungguh tidak menggambarkan eksistensi KKSS: anggota 14 juta jiwa, cabang 34 provinsi dan 392 kabupaten/kota seluruh Indonesia, dan perwakilan di 28 negara. 

Sebagai organisasi nirlaba, KKSS dapat meningkatkan reputasi, kepercayaan publik, dan branding organisasi dengan merancang official website yang hangat. Ini juga akan menjadi sarana komunikasi efektif pengurus KKSS di semua tingkatan. Apalagi website muktakhir telah dilengkapi fitur seperti live chat, voice note, kotak saran hingga kontak. 

Publik juga akan mudah mengakses informasi semisal AD-ART, struktur kepengurusan, kegiatan organisasi, hingga laporan keuangan –yang memang harus disediakan berdasarkan Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.  

Situs-web tersebut juga memuat informasi seputar Gemiliar. Tentang jumlah donasi, rencana kegiatan, persyaratan dan daftar penerima beasiswa, aksi kemanusiaan, dan sebagainya. Bahkan memungkinkan untuk “open donasi”, sehingga membuka peluang partisipasi semesta warga KKSS. Hal terpenting di sini adalah keikutsertaan warga sebagai wujud sokongan dan kepercayaan terhadap organisasi. 

Protokol Covid-19 di-rumah-saja merupakan momentum yang tepat untuk merestorasi website KKSS kita. Sehingga, tatkala hari-di-mana-Corona-berlalu telah tiba, kita juga menengok laman baru itu dengan optimis. Lalu, lewat laman itu, kita pun berbagi cerita tentang Corona, merindu PSBM, atau kita bikin janji ketemu di Rakernas KKSS. Barangkali itu!

Imran Duse, Wakil Ketua BPW KKSS Kalimantan Timur dan Mantan Pemimpin Redaksi Majalah PINISI.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here