Kisah Malik Toding di Belanda, Pemilik 3 Resto dan Toko Kelontong

0
630
- Advertisement -

PINISI.co.id- Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Begitu prinsip diaspora asal Toraja yang sukses mengembangkan profesi sebagai saudagar di negeri Keju Belanda.

Malik Toding (43) sudah 20 tahun mukim di Den Haag, Belanda. Malik awalnya berangkat ke Belanda sebagai pelayan Panti Jompo. Tapi, karena jiwa saudagarnya, ditopang oleh spirit ingin maju dan berhasil melalui kerja keras, ia kini sudah memiliki tiga restoran besar di pusat kota Den Haag dan puluhan karyawan.

Malik masuk pengurus di Badan Pengurus Luar Negeri Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (BPLN KKSS) Eropa, yang diketuai oleh Nena Doligez, dilantik oleh Dr. Andi Jamaro Dulung, salah satu Wakil Ketua Umum BPP KKSS tahun 2018 di kota Paris, Perancis.

Tulisan bagian pertama berisi kisah perjalanan awal Malik Toding dari Makassar dan Jakarta menuju dan kini menetap dan memiliki usaha restoran di Belanda. Malik berbagi kisah awal seperti berikut ini:

“Alkisah hidup saya di Belanda dimulai ketika di tahun 2002, saya ikut daftar Program Pemerintah Republik Indonesia, pengiriman tenaga terampil di bidang kesehatan untuk menjadi pelayan di Panti Jompo Belanda. Bersama yang lain saya diseleksi ketat di Jakarta dan dikarantina selama setahun, dibekali ilmu dan berbagai macam skill, dan testing final,” urai Malik.

- Advertisement -

Selanjutnya dari 54 peserta yang dikarantina, hanya 20 yang lolos tes final dan dapat berangkat ke Belanda, termasuk Malik. S

Ia lalu bekerja dengan baik selama 13 tahun di Panti Jompo itu dan sempat disekolahkan untuk menjadi tim pelatih spesialis bagi juniornya. Tapi, setelah menikah dengan putri asal Danau Toba, Samosir, Sumatera Utara, teman sesama peserta dan pekerja di Panti, mereka berdua sepakat keluar dari Panti untuk merintis usaha sendiri.

“Itu adalah keputusan berani kami dan punya resiko karena kami harus menyewa lawyer dan siap jika dikenakan denda karena masa dinas kami belum selesai,” kisahnya.

Setelah keluar dari Panti Jompo, Malik dan istri merintis usaha restoran. Mereka beruntung karena dipertemukan oleh seorang pengusaha asal Surabaya, Jawa Timur, ke seseorang yang ingin menjual restorannya. Malik mengatakan:

“Tahun 2015, berkat seorang teman yang baik, saya dan istri dipertemukan pemilik sebuah restoran yang sudah mulai redup. Singkat kisah, harga jual-beli cocok, dan transaksi ditunaikan. Saya dan istri menjaminkan beberapa aset kami di Makassar dan gaji kami di Panti Jompo karena masih terdaftar sebagai pekerja ke sebuah Bank milik Pemerintah di Indonesia. Hasilnya, kami sudah memiliki dana yang cukup dan sisanya berupa pinjaman lunak dari sahabat saya untuk membeli dan mengelola awal restoran itu di pusat kota Den Haag, menu makanan khas Indonesia.

Lewat nama “Redjeki Restaurant,” beralamat di Choorstraat 50-54 Delf, Den Haag, Belanda, resto ini kian waktu makin dikenal.

Berkat kerja keras Malik, dalam dua tahun, restoran ini menjadi primadona, laris-manis, dan kami bisa membuka cabang atau restoran kedua dan ketiga, juga toko kelontong: Toko Redjeki: Choorstraat 56 Delft dan Cabang ketiga, Dua Nona Redjeki: Koornmarkt 80 Delft; Toko Redjeki Loosduinen: Loosduinse Hoofdplein 187 Den Haag, dan Kurir (Drijver) delivery. Sebagian karyawan saya adalah anak-anak mahasiswa asal Indonesia yang kuliah di Technik Universiteit (TU) Delft.

Bagaimana kisah dan trik Malik Toding mengelola usaha Restorannya selama era pandemik Covid-19 dan apa pesannya pada diaspora asal Sulawesi Selatan? Ikuti kisahnya di bagian kedua dan ketiga tulisan ini.

(M. Saleh Mude)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here