Motivasi Teologi Dalam Bekerja

0
694
- Advertisement -

Kolom Prof. Dr. Amsal Bakhtiar

Berkarya dan bekerja dalam hidup
ini adalah satu kebutuhan mutlaq manusia. Tidak  ada manusia yang tidak menginginkan kerja. Dalam konteks kehidupan masyarakat sekarang ini bekerja merupakan sumber penghasilan ekonomi. Artinya, dengan bekerja  manusia menghasilkan pendapatan yang itu bisa membiayai  kebutuhan hidup untuk diri sendiri dan keluarga.

Bekerja tidak bisa dilepaskan dari ajaran agama (Islam). Islam menganjurkan umatnya untuk bekerja dan mencari rezki.  Menurut Islam, bekerja bukanlah semata aktivitas ekonomi, tetapi juga mengandung nilai ibadah. Dalam bekerja terkandung perbuatan amal shaleh yang merupakan salah satu nilai utama ajaran Islam.

Amal shaleh artinya seseorang berkontribusi untuk bekerja dan orang lain merasakan manfaatnya. Memang bekerja itu sekarang menjadi profesi, yaitu ia dibayar karena jasa dan keahliannya. Namun, kalau seseorang bekerja dengan niat ibadah dan karena Allah maka ia tetap mendapat pahala dari Allah, sedangkan menyangkut honorarium dan pembayaran yang diterimanya tidaklah akan menggugurkan niatnya yang awal untuk beramal shaleh dan bekerja sebagai ibadah.

Bekerja sebagai ibadah itu artinya pekerjaan kita akan diperiksa oleh Allah. Dalam surat at-Taubah ayat 105  dengan tegas dikatakan,” Dan katakanlah,  bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasulnya, dan orang-orang mukmin, dan kamu akan dikembalikan kepada Allah Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata , lalu diceritakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan”.

- Advertisement -

Bekerja yang diniatkan sungguh-sungguh karena Allah memiliki dampak yang baik untuk meningkatkan prestasi kerja dan kejujuran. Perasaan diawasi oleh Allah dan ingin meraih pahala-Nya mendorong setiap orang untuk menghasilkan kerja yang berkualitas dan bekerja secara jujur untuk tidak melakukan perbuatan yang tidak terpuji, seperti korupsi dan melakukan penyelewengan. Jadi kalau bekerja dengan niat untuk ibadah dan mencari ridho Allah, maka setiap diri manusia secara inheren telah melakukan pengawasan sendiri. Melakukan waskat atau pengawasan melekat. Dengan demikian tidak perlu lagi pengawasan manusia atau atasan. Diri sendiri sudah melakukan pengawasan internal, dan kalau diresapi dengan baik maka inilah pengawasan yang efektif.

Menurut Dr.Amien Rais, suatu tugas apapun hanya akan berhasil  bila dipertanggungjawabkan di hadapan suatu instansi yang lebih tinggi. Jika kita bertanggung jawab kepada Tuhan, tidak saja kita akan menjadi dewasa penuh, melainkan kita juga akan melaksanakan tugas itu dengan sungguh-sungguh. Dus ada moral obligation yang sangat kuat pada diri kita : bahwa tugas yang kita pikul harus berhasil secara optimal ( Dr.Amien Rais, kata pengantar untuk buku Abul A’la al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, Evaluasi Kritis atas Sejarah Pemerintahan Islam, Penerbit Mizan, Bandung, 1984 hal.25).

Dalam Islam terdapat hubungan atau relasi yang kuat antara keyakinan dan amal perbuatan atau yang populer disebut Iman dan Amal Shaleh. Dalam Al-Quran kata Iman dan Amal selalu digandengkan. Ini artinya Iman itu bukan hanya semata percaya dan yakin,  juga dituntut pembuktian dalam bentuk amal nyata, baik itu berupa pengorbanan harta, pikiran bahkan raga. “Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berkorban dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar (al-Hujurat : 15).

Dalam surat al-Bayyinah ayat 7 Allah berfirman,” Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shaleh mereka itu adalah sebaik-baik makhluk”.

Pernyataan di atas diperkuat lagi oleh hadist yang mengatakan,” Sebaik-baiknya orang ialah yang lebih memberi manfaat kepada orang lain”.

Ayat -ayat Al-Quran di atas menunjukkan orang yang beriman dan bekerja dengan baik dan memiliki harta akan terdorong untuk beramal shaleh. Dan, seperti disebut di atas Al-Quran mengungkapkan manusia yang terbaik adalah yang suka beramal shaleh. Bahkan, manusia atau muslim yang disebut predikat Taqwa itu salah satunya adalah yang suka mendermakan harta yang dimilikinya kepada orang yang membutuhkan ( al-Baqarah ayat 177).

Konsep Islam tentang kerja dan amal shaleh  serta manusia pilihan ini (manusia taqwa dan manusia terbaik), jika dihubungkan dengan  konteks agama dan perilaku ekonomi sebagaimana tesis Max Weber  bahwa ada hubungan kuat antara agama dan perilaku ekonomi. Bahwa manusia pilihan dalam Protestan ethik adalah mereka yang bekerja keras, bekerja dengan baik , disiplin dan bekerja dalam sistem organisasi  yang teratur. Dalam Protestsn ethik terutama ajaran Calvinisme, kerja itu adalah panggilan suci yang disebut beruf atau calling ( Lihat dalam Taufik Abdullah, Agama, Etos Kerja dan Perkembangan  Ekonomi, LP3ES, Jakarta, 1979).

Berbeda dengan Islam yang menekankan  bekerja sebagai ibadah yang melahirkan perilaku amal shaleh,  dalam Protestan ethik dan semangat Calvinisme menurut Weber merupakan spirit atau semangat yang melahirkan kapitalisme. Dan kapitalisme seperti yang berkembang sekarang melahirkan semangat eksploitatif, keserakahan  dan penjajahan.

Bagi Islam, menurut Dr. Harun Nasution, paham yang cocok untuk menggairahkan kerja dan pembangunan adalah paham Qadariah atau free will, yaitu suatu paham bahwa manusia memiliki kebebasan dan kehendak dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Nasib manusia di dunia  dan juga di akhirat nanti tergantung pada kehendak dan usaha manusia sendiri. Kalau manusia menempuh jalan yang benar dan sungguh-sungguh, bekerja keras dan berusaha maka ia akan berhasil dan mencapai cita-citanya ( Harun Nasution, Theologia dan Pembangunan, dalam buku Keyakinan dan Perjuangan, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 19722, hal. 362).

Theologi Amal Shaleh

Menurut Abdurrahman Wahid dalam  bukunya Muslim di Tengah Pergumulan (Leppenas, 1981 hal 5-6 ) ada dua pendekatan dalam melihat hubungan agama dengan pembangunan. Pertama, pendekatan suplementer dan kedua pendekatan komplementer. Pendekatan suplementer bersifat mendukung atau menunjang pembangunan, sifatnya hanya  memberikan  legitimasi atau mensyahkan  kebijakan yang telah dilakukan. Pendekatan suplementer bersifat manipulatif yang hanya untuk mencapai tujuan, tanpa mengajak keterlibatan agama, dan hanya memberikan legitimasi

Pendekatan kedua disebut pendekatan komplementer,  pendekatan ini mengajak  keterlibatan agama dalam pembangunan dan  menetapkan sasaran dalam mencapai tujuan. Bersama dengan unsur lainnya agama saling tunjang menunjang dalam menetapkan suatu tujuan mulai dari awal hingga menyelenggarakannya.

Dalam hubungan theologia, iman dan keyakinan dalam bekerja, sejak tahun 70-an atau awal pemerintahan Orde Baru yang giat  menggalakkan pembangunan dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan, tidak terlepas aspek agama ikut disertakan. Sehingga theologi yang dimasyarakatkan waktu itu untuk mendukung pembangunan adalah theologi partisipasi.

Saat ini telah 5 dekade lebih berjalan sejak pemerintah Orde Baru mencanangkan pembangunan. Isu yang dikembangkan waktu itu seperi etos kerja, produktifitas, mengembangkan prestasi kerja dan semacamnya, saat ini mungkin sudah tidak terlalu relevan. Masyarakat kita sekarang ini justeru sudah memiliki semangat kerja yang tinggi, berorientasi produktif, berusaha meningkatkan pendapatan, berfikir rasional, individualistik dan malah mungkin materealistik dan konsumtif, yang semuanya ini tentu berusaha keras meningkatkan produktifitas untuk mencapai penghasilan yang tinggi dan besar.

Sekarang ini justeru dengan kemajuan pembangunan dan ekonomi tingkat pendapatan masyarakat sebagian telah melonjak  tinggi. Justeru yang menyolok saat ini adalah terjadinya ketimpangan dalam masyarakat antara yang  kaya dan yang miskin. Jurang atau gap itu sangat lebar. Di Indonesia 1 persen orang terkaya menguasai 50,3 persen kekayaan bangsa ini. Sisa kekayaan yang 50 persen diperebutkan  99 persen penduduk. Kemudian 74 persen tanah di seluruh pelosok tanah air dikuasai penggunaannya oleh hanya 0,2 persen penduduk (Dr. Hafid Abbas, dalam Ensiklopedi Pemikiran Yusril Ihza Mahendra, buku 2,, Pro deleader, Jakarta, 2016, hal XV).

Ketimpangan ini juga terlihat dalam   kepemilikan dana simpanan di perbankan. Dari sekitar Rp 1.380 triliun dana pihak ketiga di bank pada akhir Juli 2007, sebesar 80 persennya dikuasai hanya oleh 1,82 persen pemegang rekening. Artinya, dari 80,3 juta pemegang rekening di bank, sebanyak  1,47 juta rekening menguasai 80 persen dana simpanan (Investor Daily, 23  November 2007 hal. 1,2 dan 4).

Melihat persoalan di atas maka theologi yang relevan dikembangkan di Indonesia adalah theologi yang menekankan pentingnya amal shaleh atau amal kemanusian atau berlomba-lomba berbuat kebaikan (fastabiqul khairat). Theologi atau keyakinan amal shaleh ini selain tinggi nilai amalnya di mata Allah, juga diharapkan mampu mengurangi ketimpangan sosial dengan merangsang orang kaya membantu orang miskin yang tidak berpunya. Artinya, theologi amal shaleh ini bagaimana menumbuhkan rasa empati dan kepekaan sosial pada orang yang menderita dan hidup dalam kesulitan dan kesusahan.

Memang ada juga yang ingin mengembangkan yang disebut theologi transformatif, yaitu theologi yang punya keprihatinan pada ketimpangan sosial dan  prihatin pada persoalan keadilan dalam masyarakat. Apapun namanya yang jelas harapan setiap orang pasti  menginginkan adanya kehidupan yang aman, nyaman, sejahtera dan martabat manusia dihormati serta dihargai   Dan ini adalah cita-cita setiap agama, khususnya Islam. Allahu ‘alam bissawab.

Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, Direktur Pengembangan Usaha Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) Depok.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here