Kerinduan Sosok Seorang Pahlawan

0
328

Kolom Jacob Ereste

Pahlawan itu berbasis perbuatan yang tulus dan ikhlas tanpa pamrih. Tiada pernah terlintas sekejap pun dalam pikiran memperoleh sesuatu dalam bentuk apapun.

Karenanya para pelaku berhak disebut pahlawan bagi dan dari orang lain yang merasa dan menyadari perbuatan yang bersangkutan tidak ternilai harganya itu. Boleh jadi wujudnya tidak seberapa. Namun karena waktu dan tempatnya yang tepat saat diperlukan. Wujudnya menjadi sangat besar nilainya, tanpa bisa ditakar dengan cara apapun.

Seorang penulis miskin, akan bersuka cita tatkala mendapat hibah alat tulis bekas sekalipun. Karena yang penting baginya tidak harus peralatan yang baru dibuka dari dalam bungkus. Tapi yang sangat dibutuhkan oleh seorang penulis miskin itu hanya hasratnya untuk mengekspresikan gagasan dan pemikirannya yang dia yakin perlu untuk diketahui dan berikan pada orang lain lewat paparan dan uraian pemikiran terbaiknya.

Bagi pengendara yang kehabisan bahan bakar di tengah perjalanan saat melintas di perkebunan misalnya, satu liter bahan bakar yang diberi penduduk setempat nilainya tiada bertara bagi si penerima. Meski volume dan nilainya mungkin tidak seberapa dalam nilai rupiah, jika harus dikonversi dengan nilai uang. Tetapi manfaat dan kegunaannya telah nyata menyelamatkan orang yang kehabisan bahan bakar itu terlepas dari kesulitan yang bisa menderanya.

Apalagi seperti jasa para pahlawan bangsa Indonesia yang telah melucuti para penjajah dari keangkuhannya menindas rakyat pada masa perjuangan kemerdekaan. Sehingga untuk siapa saja yang menyadari serta menghargai jasa para pahlawan acap disebut sebagai bangsa yang besar jiwa dan hatinya.

Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawan di negerinya. Seperti persembahan upeti kepada raja, lantaran rakyat merasakan telah mendapatkan perlindungan dan pelayanan yang baik dari sang raja. Tapi sebaliknya, bagi raja yang zalim menjadi pantas untuk disanggah. Atau dihujat. Bahkan — bila perlu — segera diturunkan dari tahta di singgasana kekuasaannya.

Sikap rezim zalim atau penguasa yang culas itu, bisa saja dia lakukan dengan cara yang sangat halus — tidak kentara — namun rakyat jelata sekalipun akan merasakan perlakuan degil itu, walau sulit untuk menerasikannya dalam bahasa ucap diam yang membungkam atau terbungkam.

Sosok seorang pahlawan itu, sangat mungkin muncul dari kalangan kawula alit untuk kawula gede, yaitu raja atau para pamong yang sepatutnya memberikan pengayoman dan pelayanan seperti tugas mulia aparat negara yang taat dan amanah melindungi rakyat. Begitu pula sebaliknya, bagi pejabat negara yang patuh — bukan cuma terhadap hukum formal tapi juga hukum Tuhan — tiada akan pernah khianat maupun murtad atas sumpah dan janji yang telah dia ikrarkan saat menerima jabatan untuk menunaikan tugas mulianya. Meski realitas pada kekinian di jaman ini — dimana kapitalism semakin keren berpenampilan neo-lib — hingga membuat pandangan nanar banyak orang telah menjadikan semua banda itu menjadi dewa atau bahkan berhala. Akibat dari pandangan yang nanar itu semua manusia harus kembali pada fitrah illahiyah kemanusiaannya yang sejati.

Dalam konteks kepahlawanan yang bertarung bebas dengan sikap rakus, tamak, kemaruk serta egoistik, sungguh sulit untuk menemukan titik silangnya di era kehancuran peradaban manusia seperti yang terjadi pada hari ini, karena banyak orang yang semakin mempertuhankan materi. Sehingga stempel terhadap cewek materialis semakin absah dan dianggap afdol adanya. Maka itu status dan gelar kepahlawanan pun terlanjur sudah menjadi komoditi perdagangan. Persis seperti harkat dan martabat petani kita yang telah berjasa dalam memproduksi beragam bahan pangan, justru dibunuh secara perlahan-lahan dalam lumbung pangan mereka yang melimpah, namun tak dilindungi oleh rezim penguasa yang serakah. Karena rezim zalim memang lebih suka menangguk dari komisi impor yang tak ubah seperti perilaku lintah darat yang meraja lela dimana-mana.

Sosok pahlawan sejati itu boleh saja banyak omong, tapi juga harus lebih banyak bekerja keras — seperti laku spiritual tanpa pamrih untuk mewujudkan idealismenya tiada hirau untuk dihargai atau tidak dihargai oleh orang lain. Sebab yang penting baginya adalah berbuat kebaikan untuk orang banyak tanpa harus abai pula pada dirinya.

Banten, 9 November 2021

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here