Independensi Tim Penilai Kesehatan Presiden dan Wakil Presiden

0
513
- Advertisement -

Kolom Zaenal Abidin

Penulis adalah Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia, periode 2012 – 2015, Ketua Departemen Kesehatan BPP KKSS

Berdasarkan Peraturan KPU No. 3 Tahun 2022, Pendaftaran Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden RI akan digelar 19 Oktober – 25 November 2023. Selanjutnya, pemungutan dan perhitungan suara akan berlangsung 14 Februari 2024 dan 15 Februari 2024. Sementara rekapitulasi suara dilakukan 15 Februari – 20 Maret 2024. Artinya, meskipun pelatikan Presiden dan Wakil Presiden baru dilakukan 20 Oktober 2024, namun setidaknya siapa yang tepilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI yang akan memimpin bangsa Indonesia lima tahun ke depan sudah diketahui sejak selesainya rekapitulasi suara oleh KPU.

Tekait dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden RI, tentu sebahagian dari kita masih ingat diskursus yang cukup hangat di tengah masyarakat pada bulan Maret 2001. Diskursus itu terkait kondisi kesehatan Presiden yang dipilih melalui poses dinamis di dalam Sidang Umum MPR RI 1999. Ketika itu empat orang dokter yang memerotes keras dan menyampaikan surat rekomendasi tentang kesehatan Presiden kepada Ketua DPR RI. Isi rekomendasinya menjelaskan mengenai status kesehatan Presiden ditinjau dari tiga faktor: saraf, kejiwaan, dan penglihatan.

- Advertisement -

Mei 2001, Komisi VII DPR RI mengundang PB IDI untuk menghadiri Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU). Substansi yang dibahas terkait pasal RUU Kepresidenan, yang berhubungan dengan syarat-syarat dan kondisi kesehatan Presiden dan Wakli Presiden. Hadir pula Perhimpunan Dokter terkait dan keempat dokter yang sebelumnya telah membuat rekomendasi kepada Ketua DPR.

Sebagai tindak lanjut dari RDPU di atas, Juli 2001, PB IDI dan PP HIMPSI (Himpunan Psikologi Indonesia) membentuk tim persiapan penyusunan Syarat Kesehatan Pejabat Negara guna memperdalam Pasal RUU Kepresidenan. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari polemik yang berkepanjangan di masa mendatang.

Tanggal 11 September 2001, bertempat di Istana Cipanas PB IDI menyelenggarakan rapat untuk menyusun draft usulan mengenai syarat kesehatan Calon Presiden. Draft usulan ini kemudian dipresentasikan di Komisi VII DPR, Oktober 2001. Dari usulan IDI tersebut keluarlah Pasal 6 (d) UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Bahwa Calon Presiden harus memenuhi syarat mampu secara rohani dan jasmani untuk melakukan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Ketentuan ini juga sejalan dengan bunyi Pasal 6 (1) UUD RI 1945. Namun, syarat ini masih sangat normatif dan belum implementatif.

Bulan Januari 2004, rumah seorang dokter oleh massa pendukung bakal calon anggota legislatif yang dinyatakan tidak lolos dalam pemeriksaan kesehatan di salah satu RSUD. Atas kasus tersebut, wartawan meminta pendapata salah satu Anggota KPU RI, Anas Urbaningrum. Anas kemudian menjawab, “KPU serahkan sepenuhnya hasil pemeriksaan sesuai profesionalisme dokter yang bersangkutan.”

Terkesan KPU lepas tangan atas kejadian tersebut. Padahal dokter tersebut bekerja di RSUD milik pemerintah merupakan tempat resmi pemeriksaan kesehatan para caleg sebagai syarat mutlak kandidasinya. Dan juga pemeriksaan kesehatan itu dilakukan atas peraturan yang dibuat KPU. Karena itu, dr. Fachmi Idris, Ketua Terpilih PB IDI itu mengajak penulis untuk menemui saudara Anas Urbaningrum.

Dalam pertemuan, selain menjelaskan jawaban wawancaranya dilakukan secara spontan, Anas juga menyampaikan bahwa di dalam UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, terdapat syarat, “mampu secara rohani dan jasmani”. KPU justru ingin minta bantuan IDI sebagai lembaga profesi dokter satu-satunya yang independen dan imparsial untuk menilai kesehatan pasangan bakal calon (balon) Presiden dan Wakil Presiden.

Mengapa perlu dinilai oleh lembaga profesional, independen dan imparsial? Setidaknya ada tiga alasan yang penulis dapat sampaikan. Pertama, agar keputusannya dapat dipertanggungjawabkan secara profesional dan bersifat teknis administratif sebagaimana yang diatur oleh UU No. 23 Tahun 2003.

Dua, tahun 2004 untuk pertama kalinya Indonesia menyelenggarakan pemilu Presiden dan Wakil Presiden RI yang bersifat langsung. Dan diperkirakan tensi politiknya cukup tinggi serta dipantau oleh seluruh masyarakat di berbagai belahan dunia. Tiga, untuk menghindari polemik panjang pasca terpilihnya Presiden dan Wakil Presiden.

Ajakan KPU itu kemudian disambut baik oleh PB IDI sebagai wujud tanggung jawab IDI sebagai organisasi profesi. Dengan harapan polemik terkait kesehatan Presiden dan Wakil Presiden tidak berulang pada masa mendatang. Sekaligus untuk menghindarkan publik dari memilih calon pemimpin yang tidak sehat jiwa dan jasmaninya. PB IDI sadar betul bahwa sangat penting untuk memastikan kondisi kesehatan jiwa dan jasmani seorang bakal calon Presiden dan Wakil Presiden sebelum mengikuti kontestasi.

Penyusunan Panduan Penilaian

Setelah KPU memberi sinyal akan meminta bantuan IDI maka PB IDI segera melakukan rapat terbatas. Rapat yang dipimpin oleh Ketua Umum PB IDI (Prof. Farid A. Moeloek) didampingi Wakil Ketua Umum (dr. Fachmi Idris) tersebut langsung masuk kepada inti persoalan. Dokter Fachmi mengatakan bahwa IDI belum memiliki pengalaman dan belum punya panduan penilaian kesehatan balon Presiden dan Wakil Presiden. Karena itu, perlu penyusunan panduan yang mengacu standar profesi dokter.

Sebelum menyusun panduan, PB IDI kembali bertemu KPU guna menanyakan syarat sehat seperti apa yang dimintanya. Namun KPU belum bisa memberi jawaban sebab syarat yang tercantum di dalam UU No. 23 Tahun 2003 sebab sangat normatif. Karena itu PB IDI minta penjelasan mengenai tugas utama Presiden dan Wakil Presiden dalam kesehariannya? KPU kemudian menjelaskan secara singkat dan selebihnya meminta IDI untuk menginterpretasikan sebagaimana syarat yang ada di dalam undang-undang.

Berdasarkan permintaan KPU tersebut, PB IDI mengadakan rapat dengan dewan penasehat, ketua-ketua majelis, dan beberapa dokter senior. Hadir pula Karumkit RSPAD yang telah berpengalaman melakukan medical check up perajurit TNI. Rapat terbilang alot, sebab membahas interpretasi kalimat, “Calon Presiden dan Wakil Presiden harus memenuhi syarat mampu secara rohani dan jasmani untuk melakukan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.”

Dari rapat tersebut diambil konsensus, kata “mampu” diinterpretasikan sebagai sehat. Sementara kata “rohani” diinterpretasikan sebagai mental atau jiwa. Bahwa kata rohani mempunyai makna yang amat luas, termasuk ide, sikap dan perilaku beragama atau kepercayaan, namun itu tidak diperiksa sebab cukup sulit dan tidak menjadi domain kesehatan. Intepretasi didasarkan atas definisi sehat menurut WHO dan pengertian kesehatan menurut Undang-Undang No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.

Rapat juga menyepakati bahwa Calon Presiden dan Wakil Presiden tidak harus bebas dari penyakit, impairment (kecacatan), namun setidaknya ia harus mampu melakukan kegiatan fisik sehari-hari secara mandiri tanpa gangguan (disabilitas) selama lima tahun ke depan. Dan tidak memiliki gangguan jiwa sehingga kehilangan kemampuan melakukan observasi, menganalisa, mengambil keputusan, dan mengomunikasikannya.

Bagian yang harus diperiksa sehubungan tugas utama Presiden Wakil Presiden juga disepakati. Seperti MMPI (Minnesota Multiphasic Personality Inventory) untuk kesehatan jiwa. Penyakit dalam, jantung dan pembuluh darah, paru, bedah, urologi, ortopedi, obstetri-ginekologi (perempuan), neurologi, mata, THT-KL, gigi dan mulut untuk kesehatan jasmani.

Pemeriksaan lain, yakni: pemeriksaan penunjang (wajib dan atas indikasi), pemeriksaan laboratorium (darah dan urin, petanda tumor atas indikasi, dan papsmear bagi calon perempuan). Karena banyak pemeriksaan, sehingga perlu disepakati spesialisasi yang akan terlibat.

Terkait tim pemeriksa, PB IDI menyurat kepada HIMPSI agar mengirimkan psikolog terbaiknya guna menyertai tim dokter spesialis kedokteran jiwa. Dan juga meminta kepada perhimpunan dokter spesialis terkait untuk menunjuk dua dokter terbaiknya, dengan syarat: anggota IDI, STR dan SIP masih berlaku, telah bekerja sebagai dokter 20 tahun dan 15 tahun sebagai dokter spesialis.

Syarat lain, tim pememiksan adalah independen. Bukan anggota partai, bukan dokter pribadi balon Presiden dan Wakil Presiden atau anggota Dokter Kepresidenan, bukan bawahan langsung dari balon Presiden dan Wakil Presiden akan diperiksan, terpercaya dan mempunyai reputasi baik di atas rata-rata peer grupnya, serta mendapat mandat dari perhimpunan spesialisnya.

Seluruh tim dokter tersebut akan bersama dengan tim rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan. PB IDI juga menyurat kepada lima fakultas kedokteran tertua di Indonesia agar mengirimkan guru besarnya untuk menjadi tim pengarah.

Rapat pada hari atau pekan berikutnya adalah rapat rutin menyusun panduan. Rapat ini terkait bidang keilmuan dan keahlian. Karenanya, tidak jarang terjadi perdebatan ilmiah tingkat tinggi, sampai anggota tim harus menunjukkan beberapa buku teks dan jurnal terbaru guna pendukung argumentasinya.

Setelah panduan selesai, dilakukan survei rumah sakit sesuai kriteria yang ada di buku panduan. Pada tahun 2004, tiga rumah sakit rujukan nasional di Jakarta yang disurvei, RSPAD Gatot Subroto, RSCM, dan RSP Pertamina. Berdasarkan laporan tim survei serta berbagai pertimbangan, disepakati RSPAD sebagai tempat pemeriksaan.

Berikutnya, PB IDI menerbitkan Surat Keputusan (SK) Tim Penilai dan Panduan, serta rekomendasi rumah sakit tempat pemeriksaan kepada KPU, guna mendapatkan pengukuhan dengan SK KPU. Setelah SK KPU terbit sahlah Panduan Penilaian, resmi pula Tim Penilai dan RSPAD sebagai tempat pemeriksaan. Artinya, semua bekerja atas permintaan dan atas nama KPU. Hasilnya akan dilaporkan kepada KPU untuk dijadikan pertimbangan.

Pemeriksaan oleh Tim yang Kompeten dan Independen

Seluruh anggota tim pemeriksa betul-betul independen, imparsial, kompeten, serta sadar bahwa pemeriksaan kesehatan yang akan dilakukan selama minimal delapan jam, bukan medical check up (MCU) biasa. Penuh harapan dan konsekuensi, sehingga perlu kehati-hatian. Bila semua pasangan lolos tentu tidak ada masalah. Namun, bila ada yang tidak lolos maka KPU hasus menyurat kepada parpol pengusung untuk mengganti balon yang tidak lolos. Dan selanjutnya mengikuti jadual pemeriksaan pada gelombang kedua.

Karena itu, jauh hari sebelum pemeriksaan, KPU sudah harus menyampaikan panduan penilaian, protokol pemeriksaan, jadual pemeriksaan kepada parpol pengusung serta semua pasangan balon. Mengapa? Sebab balon perlu mengikuti beberapa protokol sebelum diperiksa. Misalnya: berpuasa satu hari sebelumnya, pada jam 06.30 balon diminta minum air putih sebanyak dua gelas dan tidak boleh buang air kecil sampai selesainya pemeriksaan USG (08.00-08.25). Bagi balon perempuan, agar 10 hari sebelum hari pemeriksaan (papsmear) tidak melakukan hubungan seksual.

Sehari sebelum pemeriksaan, seluruh anggota tim telah berkumpul di rumah sakit tempat pemeriksaan untuk melakukan simulasi. Dan pada hari pemeriksaan, setiap jam 07.00 seluruh anggota tim berkumpul di ruang rapat rumah sakit untuk melakukan briefing yang dipimpin Penanggung Jawab (Ketua Umum PB IDI), didampingi Ketua Tim Pengarah, Ketua Tim Pelaksana, Ketua Tim Pemeriksa, dan Karumkit. Hadir pula Anggota KPU sebagai Penasihat. Briefing selalu diawali dengan pembacaan doa dan pengucapan Sumpah Dokter Indonesia.

Setelah briefing, seluruh anggota tim menuju ruang pemeriksaan di MCU dan tempat lain yang telah ditentukan. Tes kepribadian dan psikopatologi MMPI (Minnesota Multiphasic Personality Inventory) merupakan salah satu penilaian yang menyita waktu cukup lama, 90 menit.

Sore harı, setelah rangkaian pemeriksaan usai, seluruh anggota tim penilai kembali berkumpul di ruang rapat untuk melakukan rapat pleno yang dipimpin oleh Penanggung Jawab. Mendengarkan laporan pemeriksaan dokter pemeriksa, kemudian mengambil kesimpulan secara independen dan imparsial, mengenai ada/tidaknya disabilitas berdasarkan konsensus ilmiah dan evidence based. Sebuah penyimpulan profesi yang indah dan harmoni.

Rekomendasi Menjelang Pemilu 2024

Menjelang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2024, penulis ingin mengajukan tujuh catatan sekaligus rekomendasi: Satu, agar tidak terulang polemik sebagaimana pasca Sidang Umum MPR RI 1999, sangat penting menilai status kesehatan balon Presiden dan Wakil Presiden.

Dua, IDI telah memiliki buku “Panduan Teknis Penilaian Kemampuan Rohani dan Jasmani Bakal Calon Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia”, yang dilindungi UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, serta masih relevan untuk dipergunakan. Paduan yang mendapatkan Surat Pencatatan Ciptaan dari Kementerian Hukum dan HAM ini telah empat kali digunakan IDI untuk menilai kesehatan balon Presiden dan Wakil Presiden (2004, 2009, 2014, 2019) serta pejabat negara lainnya.

Tiga, KPU sebagai penyelenggara pemilu sebaiknya mulai berkomunikasi dengan PB IDI guna menyiapkan segala sesuatu terkait rencana penilaian kesehatan 2024. Empat, seluruh kebutuhan biaya dalam rangka penilaian hendaknya tetap menjadi tanggung jawab KPU.

Lima, menurut IDI, syarat “Calon Presiden dan Wakil Presiden harus memenuhi syarat mampu secara rohani dan jasmani untuk melakukan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden” adalah keadaan kesehatan jiwa dan jasmani yang bebas dari gangguan/disabilitas dalam menjalankan tugas dan kewajiban. Hal ini merupakan konsensus profesional IDI, berlandaskan penilaian ilmiah, obyektif, dan evidence-based.

Enam, rumusan konsensus IDI terkait syarat “mampu secara rohani dan jasmani” tersebut sangat penting sebagai satu standar profesi yang tunggal, satu etik kedokteran, serta satu hasil penilaian kesehatan yang bersifat final.

Tujuh, IDI adalah satu-satunya lembaga profesi dokter di Indonesia yang bersifat independen dan imparsial serta telah berpengalaman menilai balon Presiden dan Wakil Presiden, sehingga sangat tepat untuk diminta bantuannya. Wallahu a’lam bishawab.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here