Ia Bukan Tamu

0
701
- Advertisement -

Kolom Ruslan Ismail Mage

Sebulan sebelum memasuki bulan puasa, auranya sudah mulai terasa. Ketika sudah masuk bulan puasa, terasa hampir seluruh ruang publik memancarkan sinar keimanan. Masjid dan mushola dipenuhi dengan pengajian. Seluruh media koran menyiapkan rubrik Ramadhan, semua TV menyiarkan tausyiah dan cacatan keislaman. Semua orang berlomba-lomba menunaikan salat Tarawih, berjamaah di masjid. Semua orang berlomba-lomba membaca Al-Qur’an hingga ingin menuntaskan 30 juz dalam sebulan.

Terasa nikmatnya bertetangga karena saling berbagi hidangan berbuka puasa. Seorang sahabat mengirim pesan di WhatsApp, katanya istrinya membuat kue khas daerahnya untuk hidangan berbuka puasa. Ia membagi-bagikan ke tetangganya, tidak terkecuali ke tetangga yang nonmuslim. Subhanallah jawabku, engkau dari dulu telah menjadi pribadi yang selalu berbagi sebelum dan sesudah bulan Ramadhan.

Terasa 99 Asmaul Husna seperti menjelma dalam kehidupan, di antaranya mengasihi dan menyayangi sesama dengan mudah berbagi dan bersedekah. Suasana begitu familiar dan damai mewarnai kehidupan. Pemberitaan di TV banyak secara pribadi maupun komunitas ramai-tamai menyantuni fakir miskin.

Waktu berjalan terus, hingga tidak terasa sudah berada di hari-hari terakhir jelang lebaran. Semakin dekat saat malam takbiran menandai puasa sebulan sudah berakhir. Saat itulah orang biasanya ramai menulis status di media sosial, yang walaupun redaksinya beragam tapi intinya sama melukiskan perasaannya tentang bulan suci Ramadan yang akhirnya pergi meninggalkan kita semua umat Islam.

- Advertisement -

Perlakuan sebagian dari kita seolah tamu yang datang menginap beberapa malam lalu pergi entah ke mana. Pasca lebaran, masjid dan mushola yang selama bulan Ramadhan penuh orang shalat Tarawih, biasanya sudah mulai kosong. Kurang lebih sama kondisinya, shalat berjamaah yang ramai kembali tidak bergairah. Pengajian kembali sunyi, tadarusan sepi, semangat berbagi kendor.

Kalau pemaknaan hanya seperti ini, di mana hanya menganggap bulan Ramadhan hanya ritual dan siklus tahunan. Seolah-olah momentum Ramadhan hanya menjadi ajang untuk menyenangkan Tuhan semata, maka pasca Ramadhan kehidupan akan kembali kepada kebiasaan menyimpang dari nilai-nilai ajaran Islam.

Sahabat, benarkah ia seperti tamu? Sepintas mungkin iya, kalau hanya melihat dari segi ritual dan namanya. Namun sesungguhnya ia bukan tamu karena roh dan energinya tidak pernah pergi meninggalkan hati yang suci dan jiwa yang bersih.

Ya Allah ya Rabb, semoga hamba dan seluruh pembaca tulisan ini termasuk orang yang selalu istiqomah menjalankan perintah-Mu, dan disampaikan umurku untuk menjalankan ibadah di bulan Ramadhan berikutnya yang penuh berkah.

Penulis : akademisi, inspirator dan penggerak, founder Sipil Institute Jakarta.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here