Falsafah Hidup Masyarakat Sulawesi Selatan

0
8785
- Advertisement -

Ungan na PanasaE, yakni pucuk buah nangka, namanya “lempu”, diartikan kejujuran, karena dengan kejujuran, maka dalam kehidupan sosial terwujud saling mempercayai, saling amanah, jauh dari korupsi, jauh dari pengkhianatan

Kolom Prof. Dr. Hamka Haq, MA

Orang Sulawesi Selatan (Bugis, Makassar, Toraja, dan Mandar) memiliki falsafah hidup yang tinggi dari segi kebudayaan yang dapat mendorong terbangunnya peradaban yang maju dan berkarakter.  Minimal ada 4 (empat) dimensi karakter falsafah hidup orang Sulawesi Selatan sebagai berikut:

Dimensi Komunikasi

Orang Sulawesi Selatan sangat menghargai pergaulan yang santun, baik dai segi perilaku maupun dari segi bahasa yang halus atau cara berkomunikasi yang santun.  Hal ini dapat dilihat atau dipahami dari ungkapan-ungkapan keseharian mereka, misalnya:

- Advertisement -

Singereng mu pada bulu, ada(n) mu si lappaE ruttungen manengngi. (Walau jasamu sebesar bukit, tapi seutas katamu (yang kasar) meruntuhkan semuanya.

Sau lo’ bessi te’ sau lo’ ininnawa. (Luka bekas tikaman besi dapat sembuh, tapi luka hati karena ucapan kasar, tak dapat sembuh.

Dalam bahasa Mandar: “Monge-monge pa Iya’u, anna to nande gayang, to nande gayang, diang pauliyan na”. (Aku sangatlah merasa sakit, ketimbang orang yang tertikam; orang yang tertikam masih ada obatnya. Hal ini menunjukkan pentingnya berbahasa yang santun, dan tidak menyinggung  parasaan orang lain.

Rupa tau, ada(n) na ri yakkatenni, olo kolo, tulu’na riakkatenni, (Untuk manusia, ucapannya yang diperpegangi, sedang untuk hewan, talinya yang dipegang). Ungkapan ini menunjukkan bahwa kesetiaan seseorang dalam membuktikan ucapannya atau janji-janjinya dalam wujud perbuatan nyata merupakan akhlak mulia bagi manusia yang selalu didambakan. Dari sini pula lahir ungkapan “Seddi ada na Rupa Gau”  yang maksudnya: bersatunya ucapan dengan perbuatan.

Ungkapan-ungkapan di atas mengandung arti bahwa orang Sulawesi Selatan memiliki tingkat spiritual yang cukup tinggi, selalu menjaga akhlaknya yang baik, dengan keyakinan bahwa apa yang mereka lakukan selalu disaksikan oleh “Dewata SewwaE” yakni “Tuhan Yang Maha Esa”. Dengan kata lain masyarakat Sulawesi Selatan, sejak dahulu kala telah percaya adanya Tuhan yang mengawasi hidup dan kehidupan manusia. Tuhan juga sering disebut dengan istilah “Pa TotoE”, artinya Wujud yang menentukan dan senantiasa memantau nasib dan perbuatan manusia.

Dimensi Sosial-Politik yang Demokratis

Dalam kehidupan sosial-politik, masyarakat Sulawesi Selatan sangatlah demokratis, selalu mementingkan musyawarah mufakat, baik menyangkut kehidupan keluarga, soal kemasyarakatan umum, bahkan soal pemerintahan. Raja atau Datu tidaklah berkuasa absolut, tetapi menjalankan pemerintahan dengan musyawarah mufakat, yang didampingi oleh penasihat-penasihat dari kalangan kaum adat dan kalangan kaum syara’ (agama).

Dalam kehidupan sosial, tampak dalam kebersamaan menetapkan awal turun sawah, atau awal panen dalam pertemuan “Tudang Sipulung”. Juga dalam menangani kebersihan kampung, memakmurkan rumah ibadah, menentukan hari-hari pasar secara bergiliran untuk setiap kampung, semuanya selalu berdasarkan musyawarah mufakat.

Sedang dalam sosial-politik, dikenal ungkapan “Maradeka to WajoE, ade’nami napopuang” (Orang Wajo (Bugis) itu merdeka, tidak tunduk pada apa pun titah raja (Datu), tetapi mereka (Datu dan Rakyat) tetap berpedoman pada  adat yang disepakati.  Mereka yang tidak mematuhi adat, akan dikucilkan bahkan dibuang ke daerah lain, “ritongkang ware’na”, diruntuhkan kediamannya. Raja yang tidak taat pada adat, akan dimakzulkan dari singgasananya.

Di kalangan orang Makassar dikenal ungkapan “Parentai tau wa ri ero’na”, yang bermakna bahwa Sang Raja (Karaeng) dalam menjalankan pemerintahannya, harus berpedoman pada tradisi yang dikehendaki oleh rakyat. Dengan tetap berpedoman pada tradisi yang dikehendaki rakyat, maka segenap perintah dari Raja (Karaeng) akan pasti dipatuhi oleh  rakyatnya.

Sementara di kalangan Toraja dikenala ungkapan “Misa Kada Dipotuo Pantan Kada Dipomate, yang artinya: satu kata (sepakat) membawa kehidupan, dan bersilang kata atau sengketa membawa kematian. Ungkapan ini mengharuskan masyarakat Toraja, pemimpin dan rakyat harus mengembangkan sistem musyawarah untuk mufakat dalam menjalankan pemerintahan dan pembangunan. Tanpa kesepakatan, apalagi jika disertai persengketaan, niscaya membawa kemudharatan dan kehancuran bagi masyarakat.

Dimensi Moralitas

Dalam berbagai ungkapan warisan secara turun-temurun, diketahui bahwa orang Sulawesi Selatan sangat berpegang pada moralitas atau akhlak yang mulia. Misalnya ungkapan berikut:

Iya te’ paja ku sappa, Belona kanukuE, Unganna PanasaE, Pallangga Mariang. Maksudnya: orang Sulawesi Selatan selalu mendambakan akhlak yang mulia dengan ciri-cirinya antara lain: “belona kanukuE”, yakni Pacci, yakni daun pacar yang biasa dipakai dalam acara “mappacci” menjelang pernikahan. Dalam bahasa Bugis, pacci (paccing), bermana kesucian atau kebersihan, atau keikhlasan.  Artinya bersih dari perilaku dan ucapan kotor, bersih sifatnya dari hal-hal yang haram, bersih hartanya dari judi dan kecurangan.

Juga mendambakan “Ungan na PanasaE”, yakni pucuk buah nangka, namanya “lempu”, diartikan kejujuran (lempu’), karena dengan kejujuran, maka dalam kehidupan sosial terwujud saling mempercayai, saling amanah, jauh dari korupsi, jauh dari pengkhianatan.

Begitupun mendambakan “Pallangga Mariang”,  yaitu Pedati, yang diterjemahkan dalam bahasa Bugis “Pada ati”, artinya: sehati, yakni kehidupan sosial yang ditopang oleh kesetiaan, kebersamaan, senasib sepenanggungan, sebagai akhlak mulia.

Juga ungkapan “Aja Mualai, aju sanreE, Narekko Tanniya iko PasanreI”,  yang berarti larangan kepada setiap orang untuk mengambil sebatang kayu yang bersandar, atau terletak di suatu tempat, jika bukan miliknya. Ungkapan ini bermakna luas, mencakup larangan atas setiap orang mengambil barang apa pun yang bukan haknya. Artinya ungkapan tersebut anti korupsi dan manipulasi, anti perampasan hak milik orang lain.

Dimensi Solidaritas

Bahwa masyarakat Sulawesi Selatan memiliki sifat solidaritas yang sangat tinggi, dalam bentuk gotong royong  dan kesetia-kawanan.

Gotong Royong; bahwa orang Sulawesi Selatan mempunya sifat spontanitas gotong royong dalam menghadapi persoalan, baik untuk kepentingan perorangan, maupun untuk kepentingan umum. Dahulu, sebelum ada mesin traktor, mereka sling membantu membajak sawah, sampai pada saling membantu menanam, juga memanen bersama. Bahkan dalam hal membangun rumah, atau memindahkan rumah (rumah panggung) juga tampak sikap kebersamaannya. Dan yang paling menonjol ialah pada acara pernikahan, khitanan dan penguburan, semua ditangani secara bersama. Pokoknya dalam hal bahagia dan sedih, mereka menunjukkan solidaritasnya.

Kesetia-kawanan; bahwa masyarakat Sulawesi Selatan, sangat tinggi kesetia-kawanannya, terutama dalam menghadapi persoalan yang sulit menyangkut kehormatan dan harga diri. Ungkapan yang sering kita dengar ialah “Siri na Pacce”.   Implementasi ungkapan ini antara lain sebagai berikut:

Menjaga martabat dalam hal prestasi, bahwa orang Sulawesi Selatan selalu ingin menunjukkan prestasinya, perkembangan kariernya, dan keberhasilan usahanya di kampung sendiri atau di perantauan. Dalam hal ini, semua keluarga turut memberi semangat, karena keberhasilan dinilai sebagai keberhasilan bersama.

Saling menjaga dan melindungi kehormatan, sehingga biasanya masalah yang dihadapi seseorang yang dapat menghina kehormatan pribadinya, atau kehormatan bersama, apalagi jika mengancam jiwanya, secara spontan akan mendapat pembelaan dari keluarga, atau tentangga, atau sesama asal daerahnya.  Misalnya dahulu, jika masyarakat mendapat kabar bahwa seorang anak gadis dari suatu keluarga dibawa lari oleh seorang laki-laki, maka hal itu dianggap aib bagi masyarakat setempat. Segenap kerabat dari keluarga yang bersangkutan merasa terinjak kehormatannya, maka mereka pun berusaha menemukan sang lelaki yang membawa lari gadis itu, dan tidak segan-segan membunuhnya. Kecuali jika lelaki tersebut segera melakukan upacara “maddeceng”, semacam upaya damai untuk kawin secara resmi, maka barulah keluarga perempuan merasa kembali kehormatan dan martabatnya seperti sedia kala.

Atau jika dalam suasana perantauan, ada seorang warga Sulawesi Selatan teraniaya oleh orang lain, maka spontan saja warga sesama Sulawesi Selatan tampil membela bahkan menuntut balas, minimal mengupayakan perdamaian yang saling menguntungkan.

Pokok-pokok pikiran ini disampaikan dalam Pertemuan Cendekiawan Bugis Makassar, 27-28 Juni 2020.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here