Emas Olimpiade Greysia Polii dan Apriyani Rahayu, Vitamin Kita untuk Tidak Menyerah

0
329
- Advertisement -

Kolom Tauhid Nur Azhar

Mengharukan dan mengharumkan nama bangsa. Tradisi emas olimpiade dari cabang bulutangkis terukir kembali dalam sejarah olimpiade dan kali ini Olimpiade 2020 Tokyo Jepang yang dihelat 2021.

Apa arti dan makna dari emas bagi bangsa. Emas, persembahan tertinggi dan termulia bahwa sebagai bangsa yang memiliki martabat/harga diri dan kedaulatan di antara bangsa bangsa lain.

Tokyo menjadi saksi sejarah bahwa di tengah pusar pandemi yang menghadirkan berbagai tekanan multi dimensi, resiliensi yang lahir karena niat suci dapat maujud dalam sebentuk prestasi. Hari Senin tanggal 2 Agustus di bulan bersejarah yang 76 tahun lalu melahirkan momentum kemerdekaan sebuah bangsa, sebuah catatan perjuangan lainnya telah dilahirkan.

Pasangan Indonesia yang mencerminkan keragaman Nusantara, Greysia Polii dan Apriyani Rahayu. Greys atau Greysia Polii anak Minahasa kelahiran Jakarta berpasangan dengan anak desa Lawulo kecamatan Unaaha Kabupaten Konawe Sulawesi Tenggara. Keduanya merepresentasi anak bangsa yang berasal dari daerah kaya bahan alam nan subur. Dari perut Minahasa dan Konawe tak kurang emas dan nikel terkandung di dalamnya. Cengkeh, kopra, dan sagu menjadi komoditas andalannya. Tapi ternyata tak hanya itu saja, anak-anak Sulawesi yang dimanja alam dan dibuai langit itu tumbuh menjadi pejuang hebat yang tak lekang oleh tekanan dan derita yang kini tengah bersama mendera kita semua. Kemauan dan kemampuan bersatu dalam kekuatan untuk mewujudkan impian.

- Advertisement -

Dan Jepang menjadi saksi, bahwa anak Indonesia juga memiliki semangat yang tak kalah dengan spirit Bushido ataupun nilai-nilai Kaizen yang memandu harkat manusia agar bermartabat sebagai makhluk yang mampu memberi manfaat.

Kompetisi dalam semangat Olimpiade; citius, altius, dan fortius yang mulai diperkenalkan sebagai tagline Olimpiade sejak penyelenggaraan di Paris pada 1924, dapat diartikan sebagai sebuah ajang pengekspresian nilai dasar kemanusian yang saling asah, asih, dan asuh. Berlomba dalam memberikan kemampuan yang terbaik dan bersama meningkatkan kapasitas sebagai sesama manusia. Jadi bukan semata menang kalah yang sangat normatif. Bahkan kalah pun bisa menang, jika kekalahan membawa hikmah terkait upaya lanjutan untuk meningkatkan kapasitas diri. Atau yang paling sederhana, ya membuat lawan merasa berbahagia. Amal sholeh juga bukan? Tentu jika diniatkan untuk bisa didapatkan melalui serangkaian proses perjuangan.

Kemampuan manusia untuk memaknai tekanan tidak terlepas dari fungsi neurofisiologis yang melibatkan valuasi nilai, imbalan, dan tujuan yang diperankan di korteks orbitofrontal, nukleus akumben, ventral tegmental area, korteks dorsolateral prefrontal, dan korteks anterior singulata. Keseimbangan dari ketiga aspek ini dapat menghasilkan kejernihan pikir (clarity) tentang tujuan dan proses mencapai tujuan yang kerap menjadi faktor penentu orientasi hidup manusia. Faktor pendistorsi pun bekerja di ranah ini. Adanya internalisasi nilai yang diserap dari budaya, pengasuhan, dan pembelajaran yang dikelola oleh salience network melalui aktivitas insula dan girus singulata membuat manusia memiliki kemampuan menavigasi proses perjalanan dirinya dalam mencari esensi dari eksistensi.

Dari sanalah lahir nilai inti yang terimplementasi dalam sebentuk harapan dan rencana untuk menggapainya.

Dalam konteks berlomba dalam kebajikan dan semangat Jepang yang semestinya terdispersi pada aura Olimpiade Tokyo kali ini kita dapat mengacu kepada dalil dan sitasi kalimat bertuah yang menjadi bagian rujukan kita kali ini.

Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. Al Baqarah:148).

Greys dan Apriyani mencontohkan pada kita bahwa berprestasi adalah soal momentum dan energi. Ada ruang waktu yang menjadi dimensi bahwa segenap aksi dapat terjadi. Maka perubahan waktu yang disikapi secara ideal akan memberikan hasil optimal yang dapat mengubah segala sesuatu dalam pengertian yang universal.

Segerakan hal yang baik, jangan ditunda. Karena bersegera dalam kebaikan akan mengurangi keengganan dalam berkarya, Zen wa isoge bahasa Jepangnya.

良いと思ったことは、気が変わらないうちに行動するのが良いということ
(sesuatu yang baik, segeralah dilakukan sebelum berubah pikiran). Greys dan Apriyani mengajarkan kepada kita utk all out penuh totalitas hinga tercurahlah energi nyaris tanpa batas di saat segenap elemen semesta bersinergi dalam harmonisasi doa yang terorkestrasi sempurna. Pemanfaatan waktu yang efisien telah melahirkan kebermanfaatan momentum yang luar biasa. Medali emas yang diraih bukanlah sekedar prestasi, tapi juga sebuah bukti tentang konsistensi dan rasa syukur yang berlimpah atas rahmah berupa amanah waktu yang dengan “keukeuh” terus diolah dan dijelajah. Walhasil yang dapat dipersembahkan adalah hadiah terindah berupa “obat hati” bangsa Indoensia yang membangkitkan semangat bersama dalam berjuang untuk mencari solusi dari masalah yang saat ini tengah menyelimuti.

Karena dalam hidup, setiap aktivitas, termasuk memupuk dan melatih kemampuan serta bakat perlu persiapan yang dilandasi pengetahuan. Konsep “Iqra” atau proses belajar berkesinambungan adalah keniscayaan yang semestinya dimodulasi sebagai sebentuk kepercayaan tentang nilai diri, esensi, dan eksistensi. Korobanu saki no sue,
何かを始める前には、失敗しないように準備や用意を
しっかりするのがよいということ kata orang Jepangnya.

Sebelum memulai segala sesuatu, lakukan persiapan sebaik mungkin agar tidak gagal. Atau dalam peribahasa kita, gagal mempersiapkan adalah mempersiapkan kegagalan. Ikhtiar dan doa tersintesa di sana. Daya dan upaya disertai konsistensi dan kompetensi yang diubah dari potensi adalah kata kunci.

Di penghujung tentu saja ini bukan lagi sekedar masalah berencana, beraksi atau memulai, akan tetapi juga soal loyalitas terhadap nilai inti yang diyakini dan itu adalah esensi dari integritas yang merepresentasikan keikhlasan dalam “menjadi” dan “memberi”.

Greysia Polii dan Apriyani Rahayu telah membuktikan semangat merencanakan kebaikan akan menghasilkan kemuliaan jika direalisasikan dengan segenap niat dan tekat, serta tentu saja integritas terhadap nilai yang dikonversi dari keyakinan yang diimani.
正直の頭に神宿る(しょうじきのこうべにかみやどる)=shojiki no koube ni kami yadoru. Dan pada akhirnya setiap langkah kita, baik berencana maupun melaksanakan rencana itu sepenuh hati tentu diperlukan kejujuran dan integritas.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here