Derajat Kesehatan itu Diperjuangkan

0
412
- Advertisement -

Kolom Zaenal Abidin

Setiap ada kompetisi olahraga antar negara yang mana tim Indonesia ikut berlomba selalu saja semangat nasionalisme rakyat ikut bergelora, bangkit mendukung tim nasionalnya. Sebut saja sepak bola yang bermain beregu dengan durasi bermain cukup lama.

Pada awal permainan (babak pertama) biasanya tim nasional Indonesia yang sering disebut Tim Garuda bermain cepat dan langsung mengebrak. Hampir saja menjebol gawang lawan. Namun, menjelang akhir babak pertama tempo permainan Tim Garuda mulai melambat, serangan pun cenderung berkurang. Sektor pertahanan pun mulai kendor. Di sinilah gawan Tim Garuda sering kebobolan. Ini baru babak pertama, belum masuk babak kedua, apalagi perpanjang waktu.

Bila Tim Garuda kebanggaan rakyat Indonesia menang atau seri tentu tidak banyak masalah. Segenap media mengelu-elukan. Tetangga sebelah rumahnya pun ikut diwawanca dan masuk TV. Tapi bila Tim Garuda kalah, di sinilah letak masalahnya. Akan muncul berbagai komentar miring. Mulai dari kelemahan pemain penyerang sampai penjaga gawang dikomentari. Bahkan tidak jarang merambat kepada pelatih, manajer, maupun pembinaan oleh PSSI.

Pada saat yang hampir bersamaan, muncul pula komentar yang mengagumi pemain lawan, yang menampilkan pola permainan bagus. “Jelas saja mereka menang, postur tubuh tinggi, kuat, nafasnya panjang, pasti gizinya bagus, dan seterusnya,” ungkap sebagian warganet.

- Advertisement -

Komentar tidak hanya sampai di situ. Obrolan di warung kopi lebih seru dan lebih tajam lagi. Mulai membadingkan fasiltas Tim Garuda dengan tim lawan. Membandingkan kualitas stadion, penginapan, fasilitas, sampai soal keuangan pemain.

Ada pula yang mengungkit masalah yang sebetulnya tidak berkaitan langsung dengan Tim Garuda, melainkan soal kesejahteraan masyarakat secara umum. Misalnya, kesulitan ekonomi, kelangkaan minyak goreng, tarif listrik, akses air bersih, rumah kumuh, sanitasi, sakit-sakitan, anak kurang biaya sekolah dan lainnya.

Dari rentetan komentar di atas tentu berlebihan, meski boleh jadi ada benar dan hikmahnya. Hikmahnya, karena setidaknya telah mengantarkan kita untuk sampai kepada kesadaran bahwa kualitas seorang atlet memang sangat terkait dengan kualitas sumber daya manusianya.

Dan kualitas manusia sangat ditentukan oleh banyak faktor. Dan status kesehatan dan asupan gizinya, pendidikan, dan standar hidup atau pendapatan adalah yang utama. Artinya, bila kita ingin menjadi bangsa pemenang maka ketiganya harus diperhatikan.

Kesehatan sebagai Kualitas Manusia

Setidaknya, terdapat tiga faktor yang mempengaruhi kualitas sumber daya manusia. Pertama, asupan gizi dan kesehatan. Kedua, pendidikan dan latihan. Ketiga, kondisi lingkungan dan sosial budaya.

Asupan gizi dan kesehatan masyarakat. Dalam kehidupan ini, setiap orang memerlukan asupan gizi yang seimbang. Demikian pula status kesehatan yang prima, semua membutuhaknnya. Asupan gizi dan kondisi kesehatan yang tidak prima menyebabkan seseorang tidak mampu beraktivitas secara produktif fisik dan spiritual .

Pendidikan dan latihan akan menghasilkan sumber daya manusia yang cerdas dan terampil. Dengan pendidikan dan latihan yang baik mampu menghasilkan berbagai sumber daya manusia dengan berbagai keahlian dan keunggulan untuk bekerja dengan standar terbaik pula.

Kondisi lingkungan dan sosial budaya adalah faktor lain yang memengaruhi kualitas sumber daya manusia. Kondisi lingkungan fisik yang tercemar sangat berpengaruh terhadap rendahkan kualitas hidup manusia di sekitarnya. Itulah sebabnya mengapa program lingkungan hidup sehat dan bersih sangat penting dalam pembangunan berwawasan kesehatan. Demikian pula kondisi lingungan sosial yang tidak baik, seperti lingkungan empat kerja yang tidak adil tentu akan menurunkan kegairahan bekerja dan kualitas kerja.

Dari ketiga faktor di atas, tentu saja faktor asupan gizi dan status kesehatan menempati posisi yang amat penting. Karena itu tidak salah bila dikatakan, derajat kesehatan sangat menentukan kualitas manusia dan kemajuan berperadaban suatu bangsa. Tidak salah pula bila para alim ulama dan cerdik pandai selalu mengingatkan bahwa “Dua Allah yang tak ternilai harganya, yakni nilkmat beriman kepada Allah sendiri dan nikmat sehat walfiat.”

Sekali pun sehat itu adalah nikmat Allah namun memperolehnya tetap perlu perjuangan. Tidak ada yang gratis. Artinya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia pun diperlukan perjuangan. Kenapa demikian? Sebab, derajat kesehatan itu sangat ditentukan oleh kemauan politik penguasa di suatu negara atau wilayah. Tentu saja dengan menggunakan alokasi anggaran secara jujur, etis, dan bertanggung jawab.

Perjuangkan Politik Kesehatan

Bila kita bicara derajat kesehatan, ingatakan kita hampir selalu tertuju kepada Teori klasik H. L. Bloom (1974). Terori ini menyatakan bahwa ada empat faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan secara berturut-turut, yaitu: 1) gaya hidup (life style); 2) lingkungan (sosial, ekonomi, politik, budaya); 3) pelayanan kesehatan; dan 4) faktor genetik (keturunan). Keempat determinan tersebut saling berinteraksi dan mempengaruhi status kesehatan seseorang.

Lebih lanjut dikemukakan bahwa faktor gaya hidup dan lingkungan memiliki daya ungkit sekitar 70%, sementara pelayanan kesehatan dan keturunan hanya 30%. Pesan yang ingin disampaikan adalah bila ingin melakukan intervensi dalam meningkatkan derajat kesehatan rakyat atau bangsa maka utamakanlah faktor yang daya ungkitnya paling besar, dalam hal ini gaya hidup dan lingkungan.

Terori H. L. Bum di atas menunjukan bahwa pelayanan kesehatan hanya menempati urutan ketiga dalam mempengaruhi derajat kesehatan. Artinya, membangun rumah sakit mewah saja belum menjamin peningkatan derajat kesehatan. Derajat kesehatan lebih ditentukan oleh masalah dasar, seperti perilaku hidup bersih dan sehat, asupan gizi seimbang, satitasi, lingkungan bersih, air bersih, perumahan sehat, pendidikan, tingkat pendapatan dan dan sebagainya.

Semua foktor determinan utama di atas ditentukan oleh intervensi dan kehendak politik kekuasaan. Derajat kesehatan merupakan dampak dari proses panjang yang dipengaruhi oleh intervensi dari keputusan politik. Memerlukan adu kekuatan politik untuk memenangkannya, baik di legislatif maupun dalam arena pemerintahan. Karena itu pelakuknya perlu memiliki pemahaman wawasan politik kesehatan.

Menghadapi tahun politik 2024 tentu masyarakat perlu mengingatkan partai politik agar menyajikan calon anggota legislatif dan calon Presiden/Wakil Presiden, calon Bupati/Wakil Bupati, dan calon Walikota/Wakil Walikota, yang memiliki wawasan ideologi politik kesehatan. Calon yang kelak mampu bertarung dan beradu argumentasi di forum legislatif dan pemerintahan tentang hak asasi manusia (HAM) rakyat Indonesia atas kesehatan. Supaya para calon tersebut mampu beradu agumentasi tentang kesehatan, sudah semestinya partai politik mengambil tanggung jawab dengan menggandeng asosiasi profesi bidang kesehatan untuk memberi pembekalan.

Mengapa partai politik perlu diingatkan? Sebab kewenangan dan kekuasaan untuk menyajikannya calon ada di tangan partai politik. Dalam teori ilmu politik kesehatan, dikatakan bahwa faktor penentu kesejahteraan itu mengikuti kehendak politik penguasa.

Dengan kata lain, bila derajat kesehatan di suatu negara atau wilayah tinggi maka nilai positif akan jatuh kepada partai politik yang memerintah. Namun, bila yang terjadi sebaliknya maka nilai negatif itu seharusnya juga tertuju kepada partai politik yang kekuasaan.

Hal ini juga berarti bukan saja kemenangan berkompetisi yang harus diperjuangkan, tapi syarat untuk menang dan unggul pun wajib diperjuangkan secara politik. Oleh sebab itu, asupan gizi dan status kesehatan, pendidikan, dan standar hidup atau pendapatan wajib diperjuangkan. Ia tidak turun begitu saja dari langit.

Catatan Akhir

Sebetulnya masyarakat Indonesia tahu betapa pentingnya asupan gizi dan status kesehatan, selain pendidikan, dan standar hidup atau pendapatan, bila ingin menjadi bangsa unggul dalam segala hal. Sebab, asupan gizi dan status kesehatanlah yang merupakan tangga pertama untuk menjadi bangsa unggul. Dan sebagai masyarakat beragama tentu saja atas berkat dan rahmat Allah yang maha kuasa.

Hanya saja pentingnya asupan gizi dan status kesehatan belum menjadi “kesadaran kebangsaan” yang didialogkan secara berkesinambungan. Apalagi untuk menjadi agenda perjuangan politik dalam hal ini politik kesehatan secara kolektif. Ia baru sebatas “kejutan kesadaran” yang mengiringi rasa sesal akibat sebuah kekalahan dalam suatu kompetisi.

Karena itu, masyarakat perlu memiliki agenda perjuangan politik dan advokasi kesehatan sendiri dengan tujuan mendesakkan perubahan, dari sakit menjadi sehat. Memperjuangkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.

Masyarakat Indonesia tidak boleh ragu, apalagi takut mendorong dan mengadvokasi lahirnya agenda perubahan menuju bangsa yang unggul. Bangsa yang masyarakatnya “sehat jiwa dan badannya” serta bertawa kapada Tuhan Yang Maha Esa. Wallahu a’lam bishawab.

Penulis adalah Ketua Umum PB IDI periode 2012-2015, Ketua Departemen Kesehatan KKSS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here