Dedolarisasi untuk Keseimbangan Ekonomi dan Politik Global

0
426
- Advertisement -

Kolom Dr. H.M. Amir Uskara

Era dominasi dolar akan berlalu. Sejumlah negara kini mulai berani melakukan transaksi ekspor-impornya dengan yuan, mata uang Cina. Bahkan Saudi Arabia, yang sekutu dekat AS, sudah berani menggunakan yuan dalam transaksi penjualan minyaknya dengan Tiongkok.

Tak hanya Saudi Arabia. Lima negara yang tergabung dalam aliansi BRICS — Brasil, Afrika Selatan, Rusia, India, dan Cina — mulai melakukan transaksi bisnis di antara mereka dengan mata uang nondolar. Kelima negara ini, tengah berusaha memperkecil ketergantungannya terhadap uang dolar Amerika (USD).

Kita masih ingat, ketika Rusia diembargo ekonominya oleh Barat di awal invasi militernya ke Ukraina, 24 Februari 2022, AS dan sekutunya menggunakan instrumen USD untuk menekan si Beruang Merah. Hasilnya, untuk sementara nilai rubel jatuh. Tapi Rusia segera membalasnya. Negara-negara pengimpor minyak dan gas dari Rusia, terutama Eropa Barat, harus membayar dengan rubel. Hasilnya luar biasa. Nilai rubel kembali terangkat. Bahkan mata uang sejumlah negara Eropa seperti Inggris, Jerman, dan Belanda terpuruk karena mereka harus bayar impor gasnya dengan rubel. Akibatnya, harga energi di Inggris, Belanda, dan Jerman melambung tinggi. Sampai rakyat ketiga negara sekutu Amerika Serikat (AS) itu demo besar-besaran. Mereka menuntut negaranya tidak campur tangan terhadap perang Rusia-Ukraina.

Kita tahu, 41 persen kebutuhan gas Eropa berasal dari Rusia. Begitu juga 25 persen kebutuhan minyaknya. Rusia adalah negeri dengan cadangan minyak dan gas terbesar di dunia. Sebagian besar ekspor minyak dan gas Rusia adalah ke Eropa, AS, dan Cina.

- Advertisement -

Balasan Rusia atas tekanan Barat tersebut berakibat fatal. Harga gas dan minyak melambung tinggi di Eropa Barat. Sampai-sampai banyak rumah penduduk Inggris dan Jerman yang tidak menyalakan heater-nya di musim dingin karena kelangkaan gas. Jelas, hal itu sangat menyengsarakan rakyat di musim dingin negara-negara tersebut yang suhunya menyentuh nol derajat Selsius. Kasus di atas menjadi bukti bahwa dolar AS bukan segala-galanya bagi Rusia.

Di pihak lain, utang AS telah membengkak mencapai 31,4 triliun USD. Atau setara Rp 469.517 triliun. Jumlah tersebut sudah melampaui ambang batas keuangan Paman Sam. Menteri Keuangan AS Janet Yellen telah mengingatkan, banyaknya utang AS akan merepotkan neraca keuangannya. Bahkan bisa merusak nilai dolar jika negara-negara mitra dagang Amerika tidak lagi mempercayai USD. Kasus Saudi Arabia yang bertransaksi dengan yuan Cina, misalnya, membuat Washington cemas.

“Sanksi ekonomi yang dijatuhkan pada Rusia dan negara-negara lain oleh Amerika Serikat (AS) menempatkan dominasi dolar dalam bahaya karena negara-negara tersebut mencari alternatif.” Ungkap Menteri Keuangan AS Janet Yellen.

“Ada risiko ketika kita menggunakan sanksi finansial yang dikaitkan dengan peran dolar yang seiring waktu dapat merusak hegemoni dolar,” kata Yellen kepada CNN International, Minggu (16/4/2023). Menurutnya, hal itu menimbulkan keinginan Cina, Rusia, hingga Iran untuk mencari mata uang alternatif. Dengan demikian, ancaman dedolarisasi benar-benar nyata. Berita terbaru, Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva mengungkapkan niatnya untuk segera mengganti dolar AS dalam perdagangan globalnya.

“Mengapa lembaga seperti perbankan BRICS tidak dapat memiliki mata uang untuk membiayai hubungan perdagangan antara Brasil dan Tiongkok, serta antara Brasil daun semua negara BRICS? Siapa yang memutuskan bahwa dolar AS adalah mata uang (perdagangan) setelah berakhirnya paritas emas?” ujar Presiden Brasil tersebut. Lula da Silva menilai, saat ini beberapa negara perlu membuat dirinya menjadi lebih tenang, alih-alih mengejar dolar AS hanya untuk melakukan ekspor yang seharusnya dapat dilakukan dengan mata uangnya sendiri.

Kecemasan Yellen terhadap dedolarisasi memang nyata. Langkah memperkecil dominasi dolar AS di perdagangan internasional saat ini terus diupayakan negara-negara BRICS. Ini bisa membuat nilai dan kredibilitas mata uang AS tersebut terganggu. Aliansi BRICS telah menggaungkan niatnya untuk menggeser dolar AS dari perdagangan global. Mereka ingin hadirkan mata uang baru.

Ternyata langkah BRICS mendapat sambutan luas. Beberapa negara tertarik untuk mengurangi ketergantungan pada dolar AS, seperti negara Malaysia, Iran, Indonesia, Arab Saudi dan Prancis.

Berdasarkan laporan Watcher News, kini PDB dari anggota BRICS dan mata uang potensial mereka menjadi ancaman besar baru bagi dominasi dolar AS. Diketahui, PDB dari gabungan anggota BRICS telah mengalahkan PDB dari gabungan anggota G7. Sekadar informasi, anggota G7 adalah Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Jerman, Jepang, Kanada, dan Italia.

Anggota BRICS saat ini memiliki 41 persen dari total populasi dunia, dan menyumbang sekitar 16 persen dari perdagangan internasional. Sementara, 31,5 persen PDB global berasal dari BRICS, jauh lebih tinggi dari G7, 30,7 persen. Ke depan, peran BRICS akan makin besar karena adanya Cina dan India — dua negara raksasa dengan penduduk di atas satu milyar (Cina 1,412 miliar dan India 1,408 milyar) — yang secara niscaya akan menjadi pasar besar dalam perdagangan internasional.

Melihat kekuatan global ekonomi BRICS dan motifnya yang jelas untuk mengurangi ketergantungan pada USD, hal tersebut dipandang positif terhadap kemandirian suatu negara. Sejarah mencatat, banyak negara yang tak disukai Barat (karena perbedaan visi politik) dihancurkan ekonominya dengan “senjata dolar”. Salah satunya Indonesia di tahun 1998.

Sekarang, seperti dinyatakan Presiden Joko Widodo, dunia harus punya mata uang global alternatif selain USD. Ini penting untuk mengelola keseimbangan ekonomi dan politik internasional. Memperkecil hegemoni dolar di kancah ekonomi global, ujar Presiden Lula da Silva, adalah sebuah upaya untuk menegakkan kedaulatan dan keadilan negara-negara di seluruh dunia.

Wakil Ketua Komisi XI DPR RI/ Ketua Fraksi PPPWakil Ketua Komisi XI DPR RI/ Ketua Fraksi PPP

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here