Antara Dua Kutub Kebahagiaan Manusia

0
961
- Advertisement -

Kolom Arfendi Arif

Melihat korupsi yang marak terjadi di negara kita tersimpan sebuah masalah yang penting untuk dibicarakan. Yaitu orang ingin mencari kebahagiaan hidup dengan mengumpulkan harta walaupun dengan cara yang tidak halal dan ilegal. Persoalannya adalah apakah harta merupakan satu-satunya kebahagiaan hidup manusia.  Tidak adakah aspek lain dalam hidup ini yang dapat membuat hidup manusia berbahagia?

Sebuah fakta yang memang tidak bisa dibantah materealisme dan orientasi kebendaan telah mendominasi kehidupan manusia sekarang ini. Kemajuan ekonomi dan teknologi memberikan banyak tawaran kepada manusia untuk memilikinya berupa kesenangan dan kemewahan hidup sehingga mendorong semangat konsumtifisme. Semuanya ini kemudian dirangsang pula oleh iklan dan tayangan-tayangan yang menggugah naluri manusia setiap saat untuk mendapatkannya.

Kita yang hidup dalam dunia moderen tampaknya begitu sulit untuk menghindari dari serbuan gaya hidup “semangat zaman” ini. Tidak terkecuali di kota-kota besar hingga pelosok desa, maupun dari orang dewasa, remaja dan anak-anak dipaksa untuk mengikutinya, jika tidak ingin dikatakan  terkebelakang. Sebagai ilustrasi bayangkan seorang anak yang masih kecil, mungkin masih sekolah dasar, atau bahkan lebih rendah dari itu harus memiliki handphobe yang itu ia harus punya  jika  tidak mau disebut kuper (kurang pergaulan) oleh kawan-kawannya. Demikian juga di sebuah desa di kaki Gunung Singgalang, Bukittinggi, Sumatera Barat, saya melihat anak-anak petani dalam satu keluarga yang terdiri dari anak,menantu, suami, isteri, semuanya masing-masing memiliki gawai atau HP yang mungkin tidak terlaku fungsional buat dirinya, tapi ia harus punya untuk dikatakan sebagai tanda kemajuan.

Contoh ekstrim di atas merupakan sebuah kenyataan bahwa suatu kebahagiaan hidup dalam zaman industri  ini tidak bisa dipungkiri lagi yaitu kepemilikan barang -barang sekunder maupun primer yang mutlaq dimiliki.  Karena itu kebahagian dalam dunia moderen tidak bisa dihindari terletak pada tiga hal yang ekuivalen,yakni uang, kekuasaan, jabatan dan juga yang menyangkut kesenangan hidup seperti kebutuhan seksual dan plesiran.

Meletakkan kebahagiaan pada materi itulah pemikiran yang berlaku dan amat berpengaruh saat ini, padahal tidak selamanya pemikiran ini benar. Kebahagiaan yang disandarkan pada materi merupakan sebuah kebahagiaan yang bersifat semu, sementara  dan verbal. Sebab, yang dipuaskan hanyalah lahiriah, bersifat sesaat dan tidak menyentuh  suatu yang spritual dan mendalam. Seperti dikatakan Sudjatmoko dan Alfian, kehidupan yang terlalu kuat berorientasi pada kebendaan hanya melahirkan kehidupan yang gersang,  hampa dan perasaan teralienasi atau terasing

- Advertisement -

Sudah sejak lama para filosof dan para pemikir mengkritik kehidupan yang digantungkan pada materi. Mereka menilai pola tersebut merendahkan martabat manusia dan menyamakan dengan hewan yang kehidupannya hanya bertumpu pada perut yaitu makan, minum dan nafsu seks. Sedangkan manusia sebagai makhluk terhornat tidaklah pantas jika hanya mengejar pola kehidupan yang hedonistik semata.

Manusia adalah makhluk rohaniah di samping jasmaniah. Bidimensional manusia menghajatkan pula kebutuhan yang bersifat ruhaniah atau metafsik. Jika hanya satu sisi yang dipenuhi dalam kehidupan manusia maka yang terlahir adalah sebuah kepribadian yang pincang, yang tidak membawa kebahagiaan

Korupsi dan petualangan manusia pada harta, kekayaan, jabatan dan juga seks dan wanita merupakan pencarian untuk  menemukan kebahagiaan, namun cara ini tidak akan pernah berakhir dengan kepuasan. Karena satu sisi manusia melupakan dirinya sebagai makhluk ruhaniah atau metafisis yang aspek ini juga harus dipenuhi kebutuhannya.

Manusia yang berbahagia adalah yang berada di tengah-tengah yang mampu nenyeimbangkan di antara kedua kutub tersebut. Pada satu kutub ia adalah makhluk hewani yang kebutuhannya bersifat jasmaniah, namun di sisi lain ia juga merupakan makhluk ruhaniah yang mampu mengendalikan watak hewaniahnya. Dengan sisi ruhaniahnya ia mampu mengendalikan kebutuhan jasmaniahnya  dan mengangkatnya pada sisi yang mulia atau derajat yang tinggi.

Perwujudan dari makhluk ruhaniah adalah manusia berperilaku dengan menampilkan akhlak dan moralitas yang mulia. Ia memiliki kecenderungan untuk berbuat kebaikan dan meninggalkan perilaku buruk atau kejahatan. Manusia menemukan kebahagiaan dalam peran-peran yang bermakna yang menguatkan persahabatan dan kasih sayang sesama manusia serta pada aktivitas-aktivitas yang bermanfaat bagi kemanusiaan. Sebutlah misalnya pada penemuan-penemuan ilmu pengetahuan yang meringankan kehidupan manusia; pada banyaknya persahabatan, pada pertolongan atau membantu orang yang menderita, baik karena penyakit atau kemiskinan, dan semacamnya. Kebahagiaan seperti ini bersifat kekal, muncul dari lubuk hati, mendalam dan tidak mungkin dicuri orang. Bandingkan dengan kebahagiaan yang disandarkan pada harta atau kekuasaan dan jabatan yang hanya bersifat sementara dan mudah hilang dan bahkan sering menimbulkan permasalahan.

Kehidupan masyarakat  Indonesia ke depan akan terus bergulat bukan saja dengan kemajuan teknologi dan industri, juga bersentuhan dengan berbagai kebudayaan masyarakat maju akibat globalisasi. Benturan budaya tentu akan terjadi yang mengakibatkan identitas diri dan budaya makin dipertanyakan. Mungkin disini muncul berbagai kebimbangan dan kehilangan orientasi hidup. Jika kita tidak siap menghadapinya maka manusia Indonesia akan mengalami goncangan dan kehilangan keseimbangan hidup. Maka disinilah kebahagiaan hidup menjadi mahal harganya.

Penulis, adalah peminat masalah agama dan budaya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here