Kolom Tammasse Balla
Dalam masyarakat Bugis, stratifikasi sosial bukan sekadar pembagian kelas, tetapi warisan yang merayap dalam tutur dan sapa. Mereka yang sejak lahir dipayungi gelar kebangsawanan, “Andi” dan disapa “Pung”—bukan sekadar panggilan, tetapi tanda yang memisahkan dan merapatkan jarak. Di kampung-kampung, dari tahun 70-an hingga kini, kebiasaan ini tetap lestari. Pung memanggil Pung, bukan sekadar basa-basi, tetapi mungkin juga cara menjaga batas. Agar yang lain pun, yang lahir di luar garis darah itu, turut menyapa dengan penghormatan yang sama.
Panggilan itu adalah tembok, tetapi juga jembatan. Ia bisa menjaga kewibawaan, tetapi juga menuntut ketundukan. Tidak mudah bagi orang merdeka, apalagi hamba sahaya, untuk dengan ringan menyebut “Pung” tanpa ada perasaan berbeda di dalam dada. Sebab, di balik sebutan itu, ada sejarah panjang tentang siapa yang mengabdi dan siapa yang berhak diperintah. Kadangkala kesadaran itu begitu mengakar, hingga seseorang yang tidak menyebut “Pung” dianggap kurang ajar, meski dalam hati tidak ada maksud merendahkan.
Fenomena ini, dalam bentuk lain, muncul pula di dunia akademik. Dalam lingkungan para cendekia, gelar bukan sekadar prestasi, tetapi martabat yang harus dihormati. Seorang Profesor, ketika bertemu sesama Profesor, akan saling menyapa dengan “Prof.” Bukan sekadar untuk mengingatkan tentang kedudukan mereka, tetapi juga mungkin ada keinginan agar orang lain pun turut memberi penghormatan serupa. Entah sadar atau tidak, ini adalah cara membangun batas. Seperti kaum bangsawan dengan “Pung”-nya, para akademisi dengan “Prof”-nya juga membentuk lingkaran sendiri.
Pertanyaannya, apakah benar ini soal penghormatan? Apakah ini cara manusia memastikan bahwa dunia tahu siapa dirinya? Jika seorang bangsawan merasa harus disapa “Pung” agar martabat leluhur tetap tegak, dan seorang akademisi merasa perlu dipanggil “Prof” agar pencapaiannya diakui, maka di mana letak kebesaran hati? Sebab sejatinya, keagungan seseorang tidak terletak pada gelar yang disematkan, tetapi pada kebermanfaatannya bagi orang lain.
Buya Hamka pernah berkata bahwa kehormatan sejati tidak datang dari apa yang tertulis di depan nama, tetapi dari apa yang melekat dalam jiwa. Seorang yang benar-benar berilmu tidak perlu menuntut penghormatan, karena ilmunya sendiri akan melahirkan takzim dari siapa saja yang mendengar dan melihat. Seperti seorang alim yang tidak perlu disebut ustaz untuk didengar, atau seorang pemimpin yang tidak perlu mahkota untuk ditaati.
Begitu pula dalam pemikiran budayawan Emha Ainun Najib, penghormatan itu bukan soal panggilan, tetapi soal ketulusan hubungan. Ia kerap berbicara tentang betapa manusia terjebak dalam pencarian pengakuan, padahal pengakuan sejati datang dari keikhlasan berbagi. Apakah seorang Profesor kurang berharga jika ia dipanggil namanya saja? Apakah seorang bangsawan kehilangan kehormatannya jika orang lain menyebutnya tanpa “Pung”? Justru di situlah ujian keagungan hati.
Namun, realitas sosial punya aturannya sendiri. Dalam pergaulan, panggilan bukan sekadar nama, tetapi juga tanda pengakuan. Tidak semua orang bisa berbesar hati untuk melepaskan gelarnya demi kesederhanaan.
Masyarakat telah membentuk kebiasaannya sendiri, dan sebagian orang merasa lebih nyaman dalam batas-batas yang telah diwariskan. Seseorang mungkin berpikir, jika tak dipanggil “Pung,” maka di manakah kehormatannya? Jika tak disebut “Prof,” maka bagaimana orang tahu pencapaiannya?
Ingat, waktu selalu bergerak, dan perubahan adalah keniscayaan. Suatu hari, mungkin akan ada generasi yang tidak lagi peduli dengan sapaan itu, yang menilai seseorang bukan dari “Pung” atau “Prof,” tetapi dari ketulusan dan manfaatnya. Pada era itu tiba, barangkali kita akan melihat siapa yang sejati dalam kebesaran hatinya—yang tak butuh gelar untuk dihormati, dan tak perlu panggilan khusus untuk tetap berarti.
Ademisi senior Universitas Hasanuddin Makassar