Kolom Zaenal Abidin
Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia, periode 2012-2015
Diskusi daring Forkom IDI, Ahad malam (8 Juni 2025) membahas permintaan Hakim Mahkamah Konstitusi, Prof Sadli Isra kepada Menteri Kesehatan (Menkes) RI yang hadir sebagai pihak tergugat mewakili Pemerintah. Prof Saldi menanyakan kepada Menkes, Budi Gunadi Sadikin (sering disapa BGS), ada masalah apa sebenarnya dengan IDI? Apakah ada hasil study yang megatakan bahwa institusi IDI yang ada sekarang ini tidak mendukung transformasi kesehatan?
Akhir-akhir ini narasi negatif terhadap organisasi profesi ini semakin gencar, padahal IDI sudah lebih 70 tahun berperang dan mengabdi dalam berbagai fase perjuangan bangsa. Hakim MK secara bengantian menanyakan dan meminta agar Menkes BGS, menyempaikan secara terbuka, ada apa sebetulnya? Apa kesalahan atau keburukan IDI sehingga menjadi alasan untuk menganulir seluruh peran melalui UU No.17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
Mohon dibuatkan kajiannya atau hasil study dan buat dalam bentuk buku tebal. Hasil study yang dimintakan oleh Hakim MK ini kemudian dimaknai oleh sebagian perseta diskusi Forkom IDI sebagai “Buku Hitam IDI.” Demikian pula dengan kolegium yang selama ini merupakan lembaga otonom di bawah organisasi profesi, apa masalahnya sehingga kelembagaannya harus diambil alih oleh Kemenkes?
Hakim MK sengat membutuhkan hasil study yang lebih komprehenship, sebab menurut Prof Sadli MK sudah punya Putusan No 10/PUU XV/2017 yang menyatakan bahwa Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai satu-satunya organisasi profesi kedokteran di Indonesia. Biasanya MK tidak bergerer akan dari putusan sebelumnya kecuali ada study atau kajian lain yang lebih kuat, yang menyatakan bahwa memang IDI tidak dapat lagi dipertahankan sebagai satu-satunya organisasi profesi kedokteran di Indonesia. Tapi itu harus ada kajiannya, yang rasional dan berdasar data dan fakta.
Ketika Menkes BGS menjawab pertanyaan dan perintaan Hakim MK, ia mengatakan bahwa sebelum masuk, 80% program kesehatan kuratif. Kesan penulis, Menkes BGS ingin mengatakan bahwa 80% kebijakan atau program kesehatan yang dijakankan Menkes-Menkes sebelumnya adalah kuratif. Pernyataan ini tentu diklarifikasi atau setidaknya ditelusuri kebenarannya melalui catatan atau dokumen yang ada. Karena itu, sebelum membahas tentang “Buku Hitam IDI”, terlebih dulu penulis ingin menyajikan kebijakan dan program “Tiga Srikandi Menteri Kesehatan” sebelum BGS, yakni: dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, M.PH., Dr.PH., dr. Nafsiah Walinono Mboi, Sp.A, M.PH., dan Prof. dr. Nila Djuwita F. A. Moeloek, Sp.M. (K).
Dokter Endang Rahayu Sedyaningsih
Dokter Endang Rahayu Sedyaningsih menjabat Menkes RI dalam Kabinet Indonesia Bersatu II (22 Oktober 2009 hingga 30 April 2012). Almarhumah lulus dokter dari Fakultas Kedokteran Indonesia dan menyelesaikan study M.PH. dan Dr. PH. dari Harvard School of Public Health. Menurut Prof. Tjandra Yoga (www.sehatnegeriku.kemkes.go.id, 3 November 2013), empat prestasi dr. Endang Rahayu Sedyaningsih (Almarhumah) yang terus dikembangkan hingga kini.
Pertama, menuntaskan resolusi WHO tentang Pandemic Influenza Preparedness, Virus and Benefit Sharing, yang dapat mengubah tatanan kesehatan dunia tentang kesetaraan negara berkembang dan negara maju. Resolusi ini pertama kali dirintis dan diperjuangkan pada era kepemimpinan Dr. dr. Siti Fadilah Supari, Sp.JP(K), kemudian dituntaskan pada era dr. Endang. Pun, memberi dampak besar pada penanggulangan pandemi dunia dan juga kehormatan posisi Indonesia dalam diplomasi kesehatan dunia.
Kedua, mengenalkan Jaminan Persalinan (Jampersal) untuk menurunkan angka kematian ibu dan anak di Indonesia. Kini program Jampersal telah ditanggung oleh Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Ketiga, menggalakkan riset (Riskesdas) sebagai dasar penentuan kebijakan. Keempat, mulai menerapkan sistem reformasi birokrasi di jajaran kementerian kesehatan.
Keberhasilan dr. Endang yang lain diungkap oleh dr. Kartono Muhamad (www.sehatnegeriku.kemkes.go.id.,17 Mei 2012). “Di Indonesia, mantan Menteri Kesehatan yang saya anggap mempunyai konsep public health policy baru ada tiga orang, yaitu J. Leimena, Adhyatma, dan Ibu Endang Rahayu Sedyaningsih. Waktu itu saya berpikir orang yang tepat untuk menjadi Menteri Kesehatan adalah yang mengerti benar permasalahan kesehatan di akar rumput. Dan seterusnya,” ujar dr. Kartono Muhammad.
Selain itu, dr. Endang sangat concern memperjuangkan RPP Pengendalian Tembakau. Bahkan menurut Arifin Panigoro, salah satu pegiat dan supporter Komnas Pengendalian Tembakau, dirinya pernah bersama dr. Endang membuat appointment langsung dengan Presiden untuk membicarakan masalah pentingnya ratifikasi tembakau.
Dokter Andi Nafsiah Walinono Mboi
Dokter Nasiah Mboi menjabat Menkes RI (2012-2014), melanjutkan perodisasi dr. Endang yang wafat tahun 2012. Lulus menjadi dokter dan dokter spesialis anak dari Fakultas Kedokteran Indonesia. Selanjutnya melanjutkan study Master of Public Health (MPH) dari Institute of Tropical Medicine, Antwerpen, Belgia (1990) dan menjadi research fellow untuk Takemi Program dalam kesehatan internasional di Universitas Harvard, Cambridge, AS pada (1990-1991).
Dokter Nasiah adalah tokoh yang sangat konsisten pada isu Hak Anak, yang menjadikannya pernah ditunjuk menjadi Ketua Komite Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (1999). Beliau juga konsisten dengan isu HIV/AIDS dan pendekatan HAM untuk ODHA. Selain itu, bersama kementerian dan mitra lainnya melanjutkan penyusunan PP No.109 Tahun 2012, yang sebelumnya digagas pada masa dr. Endang, tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.
Ia sangat gigih menyiapkan implementasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Berulang kali rapat lintas sektor, rapat dengan fasyankes dan asosiasi fasyankes, dan juga rapat dengan profesi dan organisasi profesi kesehatan dalam rangka menyiapkan fasyankes, profesi, dan organisasi profesi untuk menyambut JKN. Karena seringnya rapat sehingga tidak heran jika hampir di setiap jajaran IDI dan perhimpunan dibentuk bidang kajian JKN.
Dan, perlu dicatat bahwa selama rapat persiapan implentasi JKN semua kalangan bersemangat akan hadirnya era baru dalam pelayanan kesehatan. Karena itu, tidak ditemukan adanya gejolak, baik dari fasyankes maupun kalangan profesi. Karena itu, seorang dokter senior dan tokoh menyatakan keheranannya, mengapa dokter-dokter di Indonesia tidak bergejolak. Sangat berbeda di luar negeri, pembahasan jaminan sosial seringkali disertai penolakan dari dokter spesialis dan pemilik rumah sakit. Semua ini tentu berkat dialog panjang dan suasana keterbukaan, yang membentuk kesadaran kolektif para dokter Indonesia bersama pemerintah untuk mewujudkan misi mulia, jaminan kesehatan semesta.
Ibu Nafsiah memiliki perhatian besar pada keperawatan dan kesehatan jiwa, sehinga pada periodenya terbit UU Keperawatan No.38 Tahun 2014 dan UU Kesehatan Jiwa No. 18 Tahun 2014. Bahkan juga terbit UU Tenaga Kesehatan No. 36 Tahun 2014. Soal kepemimpinan, dokter spesialis anak yang terlibat langsung dalam penyusunan Sistem Kesehatan Nasional I (1980) ini berupaya menguatkan sistem kesehatan dengan cara merangkul semua pihak. Berusaha melihat persoalan sesuai konteksnya (bukan di luar konteks) dan tidak sepotong-sepotong. Karena itu, mengatasinya pun dilakukan secara holistik dan komprehenship.
Penerima penghargaan Ramon Magsaysay Award (1986) ini sangat percaya hubungan baik, team work, dan ketulusan dalam bekerja. Beliau sangat mementingkan bagaimana bersama-sama menemukan solusi atas suatu persolan, sehingga kemajuan demi kebaikan masyarakat dicapai bukan karya pribadi, melainkan hasil bersama. Baginya tidak ada istilah jalan tertutup. Kalau pintu tertutup, cari jendela yang terbuka. Keterangan tentang dr. Nafsiah ini dapat dibaca di dalam buku, “Nyanyian Kehidupan Nafsiah Mboi”.
Prof. Nila Djuwita F. A. Moeloek
Prof. Nila Moeloek menjabat Menkes RI periode 2014-2019. Menyelesaikan pendidikan dokter, dokter spesialis mata, doktor (S3), dan menjadi guru besar) di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Pada awal menjabat Menkes, ia sangat menyadari kalau baru 20% penduduk Indonesia yang menyadari perlunya preventif dan promotif. Di sini Prof Nila tidak mengatakan bahwa 80% kebijakan menteri sebelum adalah kuratif.
Beliau sangat paham bahwa pogram preventif dan promotif yang memiliki jangkauan luas itu adanya di upaya kesehatan masyarakat (UKM). Sementara preventif dan promotif melalui upaya kesehatan perorangan (UKP) atau pelayanan medis jangkauannya sangat terbatas. Karena itu, beliau menggelorakan preventif dan promotif itu melalui Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas). Beliau juga melanjutkan program menteri sebelumnya terkait Indonesia Sehat melalui pendekatan keluarga.
Sehubungan dengan pemerataan pelayanan kesehatan dan pemberdayaan masyarakat Prof Nila membawa dan mengenalkan program “Nusantara Sehat”, yang digagasnya sewaktu menjadi Utusan Khusus Presiden RI untuk MDG’s, dengan nama, “Pencerah Nusantara.” Sebuah program untuk mengirim orang-orang muda, sarjana multi disiplin ke daerah. Terutama ke daerah terpencil, pulau-pulau kecil dan perbatasan. Di sana masalah kesehatan warga masyarakat ditanganinya secara multidisiplin.
Prof Nila sangat aktif dalam program penanggulangan penyakit menular bekerjsama NGO dalam negeri dan luar negeri dengan melanjutkan menteri-menteri sebelumnya, seperti dr. Endang dan dr. Nafsiah. Beliau juga meraskan bagaimana sibuknya kementerian kesehatan pada awal kepemimpinannya, sebab baru saja program JKN resmi diberlakukan (1 Januari 2014). Karena itu, ia pun tidak segan-segan melanjutkan apa yang telah dipersiapkan oleh dr. Nasiah Mboi. Dengah harapan JKN dijalankan tanpa gejolak.
Terkait pengadaan obat dan alat kesehatan, tentu Prof Nila ingin mengikuti jejak dua srikandi sebelumnya yang yang tidak ditemukan indikasi KKN dalam kepemimpinannya, dengan predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Karena itu, ia memulai pelaksanaan e-katalog dalam pengadaan obat dan alat kesehatan dengan menggandeng LKPP, sebagimana yang telah dilakukan oleh dr. Nafsiah.
Soal kepemimpinan, Prof Nila memegang prinsip, “Apa yang dikerjakan bersama-sama akan membuahkan hasil yang lebih baik dan berusaha menjadi pemimpin yang tidak otoritarian.” Kisah ini terangkum di dalam buku, “5 Tahun Merengku Asa.”
Framing Negartif IDI dan Kolegium serta Penyusunan Buku Hitam
Sejak menjadi Menkes RI, BGS acapkali melancarkan framing negatif kepada IDI dan kolegium. Mulai dari soal iuran anggota IDI (Rp30.000) yang dianggap memberatkan dokter, biaya Program Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan (P2KB) IDI dan perhimpunan yang dianggap mahal, pembayaran Rp250.000 dalam pengurusan STR di Konsil Kedokteran yang dituding masuk ke rekening IDI.
Surat Rekomendasi dari IDI ketika ingin dokter mengurus SIP di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dianggap menghambat distribusi dokter, kolegium dan guru besar dianggap menghambat produksi dokter spesialis dan menerima uang besar, perundungan yang dikesankan monopoli program pendidikan dokter spesialis (PPDS) yang berbasis universitas. Sampai pemberhentian, pemindahan, ancaman pencabutan SIP sepihak (tanpa dialog) bagi dokter yang dinilai berbeda pandangan dengannya.
Belum lagi pernyataan kontroversialnya, yang di luar konteks dan di luar kapasitasnya, seperti: penggunaan stetoskop tidak ilmiah untuk mendeteksi detak jantung, kasus henti jantung yang menyebakan kematian atlet bulu tangkis junior asal Cina, Zhang Zhi Jie di Yogyakarta, laki-laki kalau beli celana jeans masih di atas 32-33 sudah pasti obesitas dan menghadap Allahnya lebih cepat dibandingkan yang celana jeansnya 32, dan seterunya.
Tentu saja banyak orang menilai bahwa Menkes BGS bertolak belakang sangat jauh dengan Menkes-Menkes sebelumnya, yang memberdayakan IDI, perhimpunan, kolegium, dan para guru besar. Menkes sebelumnya merangkul, mengajak bermitra guna melancarkan program pelayanan kesehatan masyarakat yang telah direncanakan dan yang selalu berbicara di dalam konteks dan kapasitasnya.
Karena itu, tidak salah bila Bang Nazar (dr. H. Nazrial Nazar, Sp.B, FINACS, K (Trauma), MHKes) sering menyebut perbuatan Menkes BGS sebagai “asfala safilin”. Meminjam istilah dalam al-Qur’an yang berarti merendahkan atau menempatkan di tempat yang serendah-rendahnya. Namun, ketika disanggah, BGS mengatakan bahwa niatnya baik, untuk kesejahteraan dan kesehatan masyarakat. Hanya dokter-dokter saja yang tidak paham maksud dan tujuannya. Dalam kondisi secama ini menurut Bang Nazar, Menkes BGS sedang mempraktikkan playing victim.
Sebab itu, bila IDI, kolegium, guru besar sering direndahkan oleh Menkes BGS, mungkin tidak perlu terlalu berkecil hati. Mengapa? Sebab di depan Hakim MK sendiri, ia berani mengatakan bahwa 80% kebijakan Menkes sebelumnya kuratif. Bila yang disampaikan itu keliru, bukankah pernyataan keliru itu bagian dari framing negatif.
Terkait saran Prof Saldi Isra agar Menkes BGS membuat study atau secamam “buku hitam” atau catatan hitam IDI menurut peserta diskusi daring Forkom IDI, tentu ini bagian dari keterbukaan, tentu ini baik-baik saja. Bila yang disampaikan betul dan faktual, akan menjadi masukan positif bagi IDI, kolegium, dan guru besar sebagai bahan evaluasi diri.
Penulis hanya menitip, kalau nanti Menkes BGS jadi membuat “Buku Hitam IDI”, jangan lupa sekali-sekali menengok sejarah panjangnya IDI yang tersambung dengan organisasi perjuangan dan pergerakan kemerdekan. Mana tahu di sana masih tersimpan hal baik yang pernah ditorehkan IDI, pendiri IDI, perhimpunan, dan dokter-dokter Indonesia untuk bangsa dan negara ini.
Pun bila ingin membuat “Buku Hitam Kolegium”, penulis pun titip untuk tengok sejarah panjang pendidikan dokter spesialis di Indonesia. Siapa tahu mata dan hatinya masih bisa tersisa serpihan-serpihan mengenai peran kolegium sebagai lembaga otomon IDI dalam pendidikan dokter spesialis di Indonesia.
Sebab, dalam catatan penulis kolegiumlah yang menggagas perlunya bangsa Indonesia mendidik dokter spesialis. Merekalah yang mulai merancang kurikulumnya, persiapkan tenaga pendidikanya, rumah sakit sebagai wahana pendidiaknnya, cara menyeleksi perserta didiknya, uji kompetensinya, dan seterusnya. Dalam prosesnya sering terdengar anggota kolegium harus mengeluarkan uang dari sakunya sendiri, sebab negara tidak menyediakan dana untuk menanggung pembiayaannya.
Begitu pula terkait Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) IDI yang menyusun Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki), membimbing para dokter untuk menjadikan Kodeki sebagai acuan dalam berperilaku dan sekaligus mengawasinya. Semua itu dilakukan karena memang hanya MKEK IDI-lah yang pantas dan mampu melakukannya. Bila pekerjaan tersebut diserahkan kepada pemerintah atau lembaga lain justru menjadi salah dan kacau.
Catatan Akhir
Penulis ingin menutup tulisan ini dengan memberi tujuh catatan sebagai berikut: Pertama, “Tiga Srikandi Bangsa” yang diserahi amanah menjadi Menkes sebelum BGS, telah menghasilkan berbagai legasi berkat kerja ikhlas dan kemampuan merangkul mitra kerjanya. Legasi yang dihasilkan pun tidak di-klaimnya sebagai karya pribadinya, melainkan hasil kerja bersama.
Kedua, kurang tepat atau bahkan tidak tepat bila dikatakan bahwa 80% kebijakan Menkes sebelum BGS adalah kuratif. Bahwa Menkes sebelumnya mengalokasi anggaran besar untuk program kuratif tentu saja tidak salah, sebab program kuratif ini memang dikenal berbiaya tinggi. Sakit itu mahal. Itulah sebabnya selalu diingatkan, “mencegah terjadinya sakit lebih baik daripada mengobati nya.”
Ketiga, IDI, kolegium, dan para guru besar tentu saja memiliki keterbatasan dalam bekerja, setidaknya keterbatasan pendanaan. Karena itu sebagian dari programnya dilakukan secara berkolaborasi, termasuk dengan pemerintah. Dalam hal konsep, penulis sangat berkeyakinan bahwa IDI, kolegium, dan para guru besar tidak kekurangan, sebab mereka adalah intelektual yang profesional di bidangnya. Meski inteletual profesional, mereka tetap terbuka untuk mendialogkan gagasannya. Mendialogkan, bukan hanya di dalam negeri tapi juga dengan koleganya di luar negeri.
Keempat, tidak juga benar bila dikatakan bahwa selama ini profesi tidak melibatkan pemerintah. Sebab sejatinya, urusan pelayanan kesehatan itu merupakan domain Kementerian Kesehatan. IDI dan perhimpunan hanya membantu terkait dengan hal-hal yang bila disearahkan kepada Kementrian Kesehatan sekali pun, tidak bakal selesai. Contohnya, menyusun standar profesi dan standar pelayanan kesehatan.
Untuk penyusunan standar pelayanan, penulis memiliki pengalaman menjelang implementasi JKN. Saat itu seharusnya Kemenkes bisa cepat mengesahkan standar pelayanan kesehatan. Tapi masalahnya, apa yang mau disahkan bila standar untuk dokter umum maupun dokter spesialis belum tersedia? Saat itu yang sangat diutamakan adalah hadirnya draft standar pelayanan di FKTP. Karena itu, dengan kesadaran penuh, IDI dan perhimpunan mengambil inisiatif untuk menyusun Panduan Praktik Kilinis bagi Dokter di FKTP dan Panduan Keterampilan Klinis bagi Dokter di FKTP. Lalu disusul penyusunan standar atau pedoman untuk praktik dokter spesialis.
Setelah standar-standar tersebut selesai, diserahkanlah kepada Kemenkes untuk pengesahannya. Bahwa setelah disahkan, nama IDI dan perhimpunan tidak disebut lagi sebagi pihak yang menyusun, tidak masalah juga. Dan, apakah IDI dan perhimpunan berkeberatan atau protes? Tidak juga, sebab memang seperti itulah yang seharusnya. Lagi pula, IDI dan perhimpunan tidak butuh pengakuan semacam itu. Itulah kerja tulus, bila meminjam istilah dr. Nasiah Mboi.
Demikian pula terkait pekerjaan kolegium dalam menyusun standar dan kurikulum pendidikan dokter spesialis, kemudian turut serta mendidiknya, tentu memang jarang berkoordinasi dengan Kemenkes. Sebab, urusan kolegium adalah pendidikan sementara Kemenkes adalah urusan pelayanan. Mitra koordinasi kolegium adalah mereka yang berkerja di dalam urusan pendidikan dokter, seperti para guru besar, institusi pendidikan kedokteran, dan kementrian yang mengurusi pendidikan tinggi.
Kelima, penulis tidak bisa membayangkan bagaimana kacaunya pelayanan kesehatan Indonesia bila organisasi profesi dokternya lebih dari satu. Bila saja di antara organisas-organisasi profesi itu terjadi perbedaan pandangan terkait standar dan penerapan standar kompetensi, standar pelayanan, standar operasional prosedur, kode etik, kira-kira pemerintah, penegak hukum, dan masyarakat mau mengikuti pendapat organisasi profesi yang mana?
Keenam, Menkes BGS seharusnya meneladani Menkes-Menkes sebelumnya, yang tulus, merangkul tidak memukul, memberdayakan tidak memperdayakan. Berdilaog setara dengan mitra kerjanya untuk berbagai hal, baik hal yang berada di dalam wilayah pengetahuan dan kompetensi teknisnya, terlebih terlebih bila hal itu berada di luar keilmuan dan kompetesi teknisnya.
Ketujuh, Menkes seharusnya berani menyampaikan semua agenda-agendanya di depan sidang MK secara terbuka dan bersedia mendialogkan secara terbuka pula sebagaimana anjuran Hakim MK, Prof Saldi Isra. Dan, tidak membiasakan diri mengumbar kekurangan mitra kerja serta pendahulunya di depan umum, sebab belum tentu umbaran itu benar adanya. Bukankah dalam filosofi telunjuk dan menunjuk dikenal pesan bijak: “Bila engkau menunjuk orang lain, ketahuilah bahwa hanya satu jarimu menunjuk kepada orang lain, empat jarimu yang lain tertuju ke diri dan otakmu sendiri”. Wallahu a’lam bishawab.