Ternyata, Orang Bugis dan Makassar Pencetus Bahasa Indonesia dan Penata Bahasa Sunda, Begini Kisahnya

0
12198
Daeng Kanduruan Ardiwinata.
- Advertisement -

PINISI.co.id– Setiap 28 Oktober diperingati Hari Sumpah Pemuda yang dicetuskan 92 tahun lalu. Salah satu sumpahnya, penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Tidak banyak negara bekas jajahan di dunia yang memiliki bahasa persatuan seperti orang Indonesia.

Dan meski bahasa Indonesia buat sebagian orang Sulawesi Selatan masih berlepotan, namun tak banyak yang tahu apabila nenek moyangnya adalah pencetus bahasa Indonesia dan penggali bahasa Sunda, — bahasa daerah kedua yang paling banyak penuturnya di Indonesia.

Kedua tokoh penata bahasa Indonesia dan Sunda ini ternyata berdarah Bugis Makassar. Mereka adalah Raja Ali Haji dan Daeng Kanduruan Ardiwinata. Keduanya diakui telah memberi kontribusi besar bagi pengembangan bahasa Indonesia dan Sunda.

Sekiranya Raja Ali Haji dan Daeng Kanduruan lahir di tanah leluhurnya, mungkin cara berbahasanya mirip dengan orang Bugis Makassar umumnya, yang sistem bahasanya hanya mengenal konsonan ng dan bunyi hamzah pada akhir kata. Konsonan ng acap digunakan untuk konsonan n dan m. Semisal minung (minum) jalang (jalan). Sedangkan bunyi hamzah kerap dipakai untuk konsonan p, t atau d. Contoh tela’ (telat) teka’ (tekad). 

Begitulah, berkat jasanya dalam pengembangan bahasa Melayu, Raja Ali Haji dijuluki sebagai Bapak Bahasa Indonesia. Tokoh ini terkenal lewat karya sastranya Gurindam Dua Belas. Ia juga membuat sebuah pedoman yang menjadi standar bahasa Melayu yang merupakan cikal bakal Bahasa Indonesia.

- Advertisement -

Raja Ali Haji dilahirkan di Selangor, Malaysia tahun 1808, walaupun beberapa sumber menyebutkan bahwa dia dilahirkan di Pulau Penyengat, Riau.

Raja Ali Haji adalah putra dari Raja Ahmad dan cucu dari Raja Haji Fisabililah, saudara dari Raja Lumu, Sultan pertama dari Selangor. Raja Ali Haji merupakan keturunan dari bangsawan dan prajurit Bugis yang datang ke Riau pada abad ke-16. Ayahnya bergelar Engku Haji Tua. Adapun ibunya, Encik Hamidah binti Malik adalah saudara sepupu dari ayahnya dan juga dari keturunan Bugis.

Dilahikan dari keluarga terpandang membuat Raja Ali Haji tertarik dengan sastra. Ia lalu mendalami ilmu bahasa pada 1822 saat mengikuti ayahnya pergi ke Batavia. Ia juga menimba ilmu di Mekkah sekaligus berhaji dan belajar bahasa Arab dan ilmu agama.

Pada 1845, Raja Ali Haji menjadi penasehat agama di Kesultanan Riau-Lingga. Saat intulah ia sangat produktif dalam menulis sastra, pendidikan dan kebudayaan.

Selain menorehkan Gurindam Dua Belas yang dipublikasikan oleh E. Netscher pada 1854,  juga Bustan al-Kathibin ditulis tahun 1857 di Betawi. Karyanya yang menjadi acuan bahasa Melayu adalah Kitab Pengetahuan Bahasa, yaitu Kamus Loghat Melayu-Johor-Pahang-Riau-Lingga. Buku ini merupakan kamus satu bahasa pertama yang ada di Indonesia saat itu. Buku ini sendiri ditetapkan sebagai pedoman Bahasa Indonesia dalam Kongres Pemuda 28 Oktober 1928.

Daeng Kanduruan Pelopor Sastra Sunda

Demikian pula, Daeng Kanduruan Ardiwinata adalah seorang nasionalis, agamis, dan sastrawan Sunda terkemuka. Ia merupakan seorang guru bahasa, ahli bahasa, pendiri dan Ketua Paguyuban Pasundan, serta Redaktur Balai Pustaka.

Walaupun ayahnya keturunan Makassar tetapi hal itu tidak membatasi kecintaannya pada sastra Sunda. Ia pengarang roman pertama dalam bahasa Sunda.

Daeng Kanduruan lahir di Bandung, tahun 1866 dan meninggal di Tasikmalaya tahun 1947. Ayahnya bernama Baso Daeng Passau alias Daeng Sulaeman.

Kakeknya bernama Karaeng Yukte Desialu adalah Raja Lombo dari Makassar yang diasingkan Belanda ke Bandung bersama putranya Daeng Sulaiman karena memberontak. Di Bandung, Daeng Sulaiman menyunting gadis Priangan Nyi Mas Rumi yang kelak melahirkan Daeng Kanduruan

Daeng Kanduruan dianggap sebagai pelopor sastrawan yang menggunakan bahasa Sunda. Lebih penting lagi, ia adalah penata bahasa Sunda yang tercermin dalam karyanya Tata Bahasa Sunda. Karya lainnya adalah Dongeng-dongeng Soenda, Soendaasch Spel- en Leesboekje, Serat Sabda Rahajoe, Sakola Noe Lolong di Bandoeng Djeung Kasakit Njĕri Mata Anoe Matak Lolong

Tak heran jika dia menerima Ridder In De Orde Van Orange Nassau” dari Pemerintah Kerajaan Belanda atas prestasi di bidang sastra.

Tak cukup dengan itu, Daeng Kanduruan juga berjasa dalam bidang agama dan pendidikan dengan pendirian sekolah agama.

Wel, ternyata nenek moyang orang Bugis Makassar bukan cuma seorang pelaut belaka, akan tetapi juga pengukir dan pencipta bahasa.

( Alif we Onggang, dari pelbagai sumber )

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here