Sumpah Pemuda dan Agenda Berjalan Bersama (1)

0
6637
- Advertisement -

Kolom IMRAN DUSE

Peringatan Sumpah Pemuda tahun ini mengusung tema utama “Bersatu dan Bangkit”. Sebuah tema yang sangat pas dengan kondisi bangsa akhir-akhir ini. Pandemi Covid-19 yang masih membayangi kecemasan publik, demonstrasi dalam skala massif terkait penolakan UU Omni Bus Law Ciptaker, serta sejumlah isu lain yang menyita perhatian khalayak, menjadikan tema tersebut begitu relevan.

Relevansi itu terutama jika tema “Bersatu dan Bangkit” ditujukan bukan hanya untuk para pemuda. Melainkan pesan untuk seluruh elemen bangsa. Persatuan para pemuda, kita tahu, telah dinyatakan semenjak 92 tahun lalu. Persatuan itu bahkan diikrarkan dalam sebuah sumpah yang monumental, bergema dan disambut hangat di seluruh nusantara.

Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 adalah momentum istimewa dalam sejarah pergerakan Bangsa Indonesia. Momen ini ditandai kecondongan kultural dan politik kaum muda –yang direfresentasikan berbagai organisasi kedaerahan pemuda– yang bertautan dan saling menyapa dalam membangun mimpi menjadi Indonesia.
Inilah untuk pertama kalinya kata Indonesia didengungkan untuk menyebut negara-bangsa yang akan dilahirkan. Sekaligus komitmen semangat egalitarian dan pernyataan penolakan terhadap diskriminasi. Atribut-atribut kesukuan, ras dan agama, secara sadar dikesampingkan para pemuda ketika itu. Sebuah identitas kebangsaan yang kelak menjadi pijakan dalam merumuskan Keindonesiaan yang dicita-citakan.

Tulisan singkat ini bermaksud menengok selintas heroisme para pemuda itu, sembari menangkap jejak yang mungkin dapat berguna dalam menjawab tantangan bangsa kita hari ini.

- Advertisement -

Tantangan dan Sahutan

Realitas tersebut dirumuskan dengan tepat oleh sejarahwan Arnold Toynbee, penulis buku A Study of History, dalam suatu pengertian yang disebutnya challenge and response. Menurut Maha Guru Universitas London itu, sebuah peradaban dapat timbul dan tenggelam dimungkinkan adanya tarik-menarik antara “tantangan” dan “sahutan”. Antara rangsang-rangsang yang dipantulkan situasi buruk (challenge) yang mengakibatkan munculnya sahutan (response).

Fenomena ini bahkan sudah berlangsung sejak zaman Firaun, ketika penguasa establismen diruntuhkan pada saat kejatuhan Dinasti Keenam. Atau pada era Romawi-Yunani, dimana kekuasaan establismen digulingkan dalam abad ketiga. Begitu juga dengan peristiwa Revolusi Prancis dan runtuhnya Dinasty Ching di China.

Yang menarik, pada hampir setiap momen penting tersebut, perlawanan terhadap kemapanan pada umumnya dipelopori kalangan pemuda. Selain itu, nyaris selalu terjadi perbedaan pandangan antara para pemuda dengan generasi terdahulu.
Dalam konteks perjuangan bangsa Indonesia (baik sebelum maupun setelah kemerdekaan) perbedaan pandangan antara generasi muda dengan generasi tua juga selalu muncul. Demikian juga, dalam hampir setiap momen penting pergerakan kebangsaan, suara desakan perubahan secara umum senantiasa dipelopori kalangan pemuda.

Periode Kebangkitan

Dari berbagai momen penting pergerakan kebangsaan Indonesia, Profesor Mubyarto kemudian merumuskannya dalam apa yang disebutnya enam periode kebangkitan. Berbeda dengan publikasi ilmiah lainnya, Mubyarto (2003) menempatkan R.A. Kartini sebagai tonggak awal dalam rangkaian peristiwa bersejarah yang terjadi menuju Indonesia merdeka, sebagaimana digambarkan dalam tabel berikut.

Pada 1879 nama pergerakan Kebangkitan Kartini, lalu 1908, 29 tahun Boedi Oetomo, tahun 1928, 20 tahun Sumpah Pemuda. Selanjutnya pada 1945, 17 tahun
Proklamasi, tahun 1966, 21 Tahun
Orde Baru, dan pada 1998, 32 Tahun
Orde Reformasi.

Terlihat bahwa pemuda memiliki saham tidak sedikit dalam pergerakan perjuangan serta perubahan iklim politik pasca-kemerdekaan. Nampak pula bahwa interval waktu periode terpendek adalah 17 tahun, dan yang terpanjang 32 tahun. Sehingga rerata jarak antar periode 24 tahun. Kira-kira sama dengan satu generasi.

Artinya, di setiap pergerakan, selalu saja lahir dari sebuah generasi baru yang bertumbuh. Meski begitu, asas gerakan mereka tak boleh dikatakan berdiri sendiri-sendiri. Sebab, perjalanan waktu pemuda di sebuah masa, akan memengaruhi dinamika pemikiran pemuda di masa selanjutnya.

Pengaruh itu bahkan menjadi energi-penyemangat. Ambil contoh Budi Utomo dan Sumpah Pemuda. Meski berjarak 20 tahun, tak ada yang membantah bahwa dua kebangkitan itu bertalian erat satu sama lain.

Begitu juga, tak terbantahkan bahwa ikrar pemuda itu telah menggelorakan semangat nasionalisme yang dahsyat. Gelora yang menyembul dan melahirkan letupan patriotisme dan menegasikan segala bentuk ketertindasan serta penjajahan kolonialis.

Tinta emas sejarah pun mencatat kisah perjuangan para pemuda itu. Berbangsa satu, bertanah air satu, dan berbahasa satu: Indonesia. Terlihat begitu sederhana dan retoris. Namun, itulah yang mengobarkan semangat perlawanan. Para pemuda tak lagi terpecah belah. Tak lagi berjuang dengan nafas kedaerahan, melainkan demi pembebasan tanah air Indonesia.

Pada titik ini, Sumpah Pemuda sejatinya adalah sumpah bagi terciptanya persatuan nasional Indonesia. Sumpah yang kemudian menyatukan rakyat yang sebelumnya tercerai-berai akibat politik devide et impera kolonial Belanda. Sumpah yang menjadi roh pemersatu bangsa. Gaung Sumpah Pemuda telah menginspirasi gerakan para pejuang bangsa.

Perlawanan terhadap kolonialisme semakin terkonsolidasi dengan baik. Hasilnya, 17 tahun kemudian, Soekarno-Hatta, atas nama bangsa Indonesia, memproklamirkan kemerdekaan Indonesia.

Kini, setelah 92 tahun sumpah dinyatakan –dan setelah 75 tahun Proklamasi dikumandangkan–, merupakan momen yang baik untuk kembali memahami spirit yang melatari perjuangan para pendiri bangsa. Juga cita-cita mulia yang kemudian dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945.
Mengingat, hari-hari ini terdapat begitu banyak tantangan dalam kehidupan kebangsaan kita. Datangnya bukan dari luar (meski pun faktor itu ada), tetapi lebih dominan diproduksi dari dalam: barangkali dari kita sendiri.

Soal ini menjadi kian penting, apabila kita mempertimbangkan enam periode kebangkitan sebagaimana dikemukakan Mubyarto. Di mana rataan jarak interval antar periode adalah 24 tahun. Itu artinya, pada saat ini kita sudah berjarak 22 tahun dengan fajar Orde Reformasi.

Dengan jarak waktu seperti itu, barangkali kita memerlukan dialog antar-generasi yang sungguh-sungguh: dialog dengan spirit Sumpah Pemuda dan nafas Proklamasi Kemerdekaan. Dialog yang akan melahirkan kesamaan pandangan untuk menyongsong kemajuan negeri di masa depan. Bersambung.

(Imran Duse, Wakil Ketua BPW KKSS Kaltim/Mahasiswa Pascasarjana Komunikasi dan Penyiaran Islam IAIN Samarinda).

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here