Sarapan Pagi Bersama : Buku Radikalisme, Demokrasi, dan Kemiskinan

0
848

Kolom Dr. Sudirman Muhammadiyah, M.Si

Setiap punya buku baru, saya selalu menganalogikan buku tersebut laksana sebuah rumah baru. Tentu yang pertama jadi fokus perhatian adalah bentuk dan coraknya, kalau menarik saya mendekat, masuk, dan tinggal berlama-lama di dalamnya. Karena itu, desain dan pewarnaan cover sangat menentukan sebagai awal daya magicnya.

Buku yang baru saya terima berjudul “Radikalisme, Demokrasi, dan Kemiskinan” dikirim langsung Sipil Institute Jakarta. Cover dengan warna hitam bermakna sangat dalam dan penuh misteri. Dalam psikologi warna, hitam juga biasa identik kedukaan. Mungkin yang di maksud warna hitam dalam cover buku ini, adalah bencana dari radikalisme adalah kedukaan atas matinya sisi kemanusiaan. Dalam kehidupan Mesir kuno warna hitam di maknai sebagai simbol kehidupan, di budaya Barat melambangkan kematian dan kesedihan.

Sementara dalam konteks psikologi, warna dimaknai sebagai simbol kekuasaan, ketangguhan, perlindungan, pengusiran, sesuatu yang negatif, mengikat, kekuatan, formalitas, misteri, kekayaan, ketakutan, kejahatan, ketidak bahagiaan, perasaan yang dalam, kesedihan, kemarahan, sesuatu yang melanggar, harga diri, anti kemapanan, seksualitas, kecanggihan, dan kematian.

Sangat tepat untuk menambahkan kesan misteri dari isi buku ini. Latar cover “warna hitam dalam simbolisme psikologi” dapat menampilkan perspektif dan kedalaman. Dipadu warna putih tulisan judul buku, menambah eksotisme penampilan buku ini. Tentu sang desainer ingin memaknai sebuah simbol bersih dan kesucian dalam hitam putih.

Saya kunci penjelasan cover buku ini dengan pernyataan Soekarno tentang hitam putih, “Tulislah tentang aku dengan tinta hitam atau tinta putihmu. Biarlah sejarah membaca dan menjawabnya.”

Dengan penuh misteri dan rasa ingin tahu tentang buku ini, saya melangkah masuk pintu utama. Keinginantahuan di sambut dengan kata pengantar dari guru besar,  Prof. Dr. Lili Romli, M.Si. Seorang professor riset dari LIPI dengan kepakaran tentang demokrasi, pemilu, parpol,  parlemen, eksekutif, legislatif. Tentu secara psikologi ada rasa kagum dan segan disambut di ruang tamu dengan pengantar beliau. Biasanya saya resensi buku secara detail, namun kali ini saya putuskan sekitaran ruang tamu saja. Walau sesungguhnya tuan rumah arsitek buku ini sudah sangat akrab.

Ruslan Ismail Mage atau biasa kami sapa bang RIM, dari pandangan saya di ruang tamu buku ini, dapat saya rasakan dengan  disuguhi kegelisahan di negeri ini. Bang RIM yang biasanya memberi motivasi dengan menggebu-gebu, kini tampil dengan baju sebagai akademisi ilmu politik yang tidak pernah memilih jalan senyi.

Saya sangat tertarik dan coba memahami kalimatnya yang mengandung energi penggerak ini : Kalau mayoritas rakyat membisu, mahasiswa memilih jalan sunyi, aktivis hanya mampu mengerutu, orang terdidik menjadi bagian propaganda politik, dan pihak kampus tidak turun gunung. Lalu kepada siapa nasib daerah dan bangsa ini bergantung?

Narasi dan diksinya ini membuatku ingin cepat-cepat masuk di dalam rumah, dan melahap halaman demi halaman. Point pertama tersaji di pembahasan adalah “Radikalisme”. Saya tertuju di narasinya yang berani membantah para pemikir barat tentang asal muasal radikalisme. Penegasannya bahawa “Kerusakan sistem adalah pemicu utama lahirnya radikalisme, bukan agama.”

Menurut sang panulis bang RIM, kerusakan sistem hukum yang tidak mampu mendistribusikan rasa “keadilan” yang merata kepada seluruh warga bangsa, kerusakan sistem ekonomi yang tidak mampu mengalokasikan kekayaan alam yang merata kepada warga bangsa, kerusakan sistem rekruitmen kepemimpinan yang hanya memberi kesempatan kepada pemilik modal menjadi pemimpin yang korup, adalah pemicu utama lahirnya pemikiran dan perilaku radikalisme. Lebih menariknya lagi, diperkaya dengan grand teori yang semakin menguatkan pendapat tersebut.

Selanjutnya dihalaman- halaman berikutnya sangat tersusun dan berstruktur dari kamar ke kamar mengupas kamar radikalisme. Saya belum masuk dalam kamar utama ini, baru sempat mengintip, tapi mulai dari assesories ruang kamar ini tuntas pemiliknya membahas dari definisi sampai penyebab radikalisme menyeruak ke ruang publik, hingga agama dan idiologi sebagai peredam panasnya membahas radikalisme.

Kamar II, Demokrasi, saya sengaja lewati dulu, karena di kamar ini saya akan lama untuk menjelajahinya. Terdapat banyak data dan fakta menarik di dalamnya yang menjelaskan demokrasi telah dikudeta dari dalam. Terlebih adanya kekhawatiran melihat penjaga utama demokrasi bernama “mahasiswa” mulai masuk angin.

Kamar III, Kemiskinan,  ini ruang paling banyak disorot kumuh, tinggal di belakang tata letaknya saja bisa di tebak kamar dan isinya penyebab utama radikalisme. Buku ini sengaja tidak di kupas tuntas, karena saya ingin sisakan ruang bagi pemiliknya untuk berdiskusi lebih dalam, tentang semua yang berkaitan dengan buku Radikalisme, Demokrasi, dan Kemiskinan ini.

Buku ini kalau kuibaratkan seperti rumah maka sebagus apapun rumahnya maka yang jadi mercusuar adalah pemiliknya. Tahun ini telah mencipta rumah (baca buku) sudah 12 unit di tengah badai pandemi. Seorang arsitek kata-kata, owner & founder Sipil Institute (konsultan investasi politik Indonesia), juga Motivator andalan kami di Rumah Besar Bengkel Naradi (BN), kakanda Ruslan Ismail Mage (RIM).

Buku setebal 334 halaman ini, sebagai hadiah dan kado dari sang penulis, harus menjadi referensi di kampus, recomended secara ilmiah. (Salam literasi : Makassar, 8 Juni 2021)

Penulis : Akademisi, penggiat medsos, teroris literasi, dan mentor menulis di Bengkel Narasi

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here