Pilkada Berpacu dalam Melodi

0
858
- Advertisement -


Kolom Ruslan Ismail Mage

Pilkada sebagai produk demokrasi dalam memilih pemimpin daerah nampakya terus berjalan di tengah amukan badai pandemi. Keputusan DPR, Pemerintah, KPU dan Baswalu tetap satu irama Pilkada dilaksanakan pada 9 Desember 2020, dengan mengabaikan potensi ancaman virus covid-19 yang semakin merajalela memakan korban. Sampai ditulisnya catatan kolom ini, laporan data pada akun Twitter @BNPB_Indonesia, Rabu (22/9/2020) terkonfirmasi positif Covid-19 bertambah 4.465 menjadi total 257.388 orang, dengan jumlah meninggal menjadi 9.977 orang.

Peningkatan jumlah pasien baru covid-19 yang cenderung tidak terkendali dari hari ke hari, serta jumlah meninggal yang terus bertambah, membuat PBNU, Muhammadya, para tenaga medis, dan Lembaga Swadaya Masyarakat lainnya, satu suara juga meminta pemerintah menunda pelaksanaan Pilkada dan fokus menangani pandemi. Kalau tidak bisa dihilangkan, minimal jangan menciptakan mata rantai baru atau klaster baru Pilkada.

Kalau himbauan dua organisasi keagamaan terbesar NU dan Muhammadya di republik ini tidak dipedulikan lagi pemerintah, bisa jadi itu bertanda begitu besarnya kepentingan dalam perburuan kekuasaan di daerah melalui Pilkada. Begitu derasnya perburuan rente ekonomi di daerah melalui Pilkada (baca 92% calon kepala daerah dibiayai cukong). Begitu tingginya mungkin target menciptakan dinasti politik yang telah didesain sedemikian rupa.

Menko Polhukam Mahfud MD sebagai wakil pemerintah menyampaikan alasan pertama Pilkada tidak ditunda karena untuk menjamin hak konstitusional rakyat memilih dan dipilih sesuai dengan agenda yang telah diatur di dalam undang-undang. Namun apakah rakyat mau berbondong-bondong menyerbu TPS dengan mengabaikan potensi tertular virus covid-19? Kalau kemudian umumnya rakyat mengabaikan Pilkada karena takut tertular virus covid-19, lalu apakah tetap konstitusional kalau kemenangan tidak didukung mayoritas suara rakyat? Terus siapa yang menjamin mafia suara tidak berbulan madu di tengah gelombang covid-19?

- Advertisement -

Alasan kedua pemerintah tidak menunda Pilkada menurut Mahfud MD karena tidak ada satupun orang atau lembaga yang bisa memastikan kapan pandemi covid-19 ini akan berakhir. Itu berarti Pilkada 9 Desember 2020 harus berpacu dalam pandemi. Saya jadi teringat kuis “Berpacu dalam Melodi” di TVRI yang dipandu oleh presenter kawakan Koes Hendratmo. Kuis yang sangat populer era 80-an ini pesertanya berpacu dalam melodi menebak nada atau judul lagu. Lain halnya “Pilkada berpacu dalam pandemi” yang menebak Pilkada bisa berlayar dengan aman di tengah gelombang badai covid-19 kalau semua orang memenuhi protokol kesehatan. Namun bagaimana jika tebakannya salah, covid menyerang membabi buta.

Pada akhirnya rakyat hanya mampu mengurut dada menyaksikan Pilkada berpacu dalam pandemi. Lalu siapa yang akan bertanggungjawab kalau terjadi klaster baru penyebaran covid-19 dalam TPS akibat ketidakpedulian terhadap kesehatan rakyat. Ellie Wessel penulis Rumania 1928 mengatakan “karena ketidakpedulian, satu mati sebelum yang satunya lagi benar-benar mati”. Hal ini dipertegas oleh Martin Luther King “tidak ada di dunia yang lebih berbahaya daripada ketidakpedulian”. Jorge Gansalez Moore lebih nunjuk hidung mengatakan “ketidakpedulian adalah dukungan diam-diam yang mendukung ketidakadilan”. Dan Pilkada yang berpacu dalam pendemi adalah salah satu bentuk ketidakpedulian terhadap kesehatan rakyat.

Benar kata guru jurnalistik saya Lippo, kalau kandidat tidak terpilih bisa ikut Pilkada berikutnya, tapi korban covid-19 tidak bisa menjadi zombie yang bangkit dari kuburnya. Jadi semestinya penyelenggara Pilkada mengajak rakyat berpacu dalam melodi untuk menaikkan imunitas tubuh, bukan memaksakan pilkada berpacu dalam pandemi.

Penulis : Akademisi, Inspirator dan Penggerak, Founder Sipil Institute Jakarta

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here