Penyediaan Alat Kontrasepsi Anak Usia Sekolah dan Remaja: Inisiatif Siapa?

0
861
- Advertisement -

Kolom Zaenal Abidin

Pada awal bulan Agustus (bulan kemerdekan RI) 2024, publik menjadi ramai karena disuguhi Peratutan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024. PP yang merupakan peraturan pelaksanaan dari UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan ini dinilai oleh berbagai kalangan telah menabrak norma agama dan bertentangan dengan Pancasila.

Setidaknya ada tiga hal yang dipermasalahkan. Pertama, yang menjadi bahasan artikel ini, yakni pelayanan kesehatan reproduksi berupa penyediaan alat kontrasepsi pada usia sekolah dan remaja (Pasal 103 ayat 4). Padal ini ditengarai hanya akan melegalkan seks bebas anak usia sekolah dan remaja, yang penting pakai alat kontrasepsi. Kedua, kalimat pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai “perilaku seksual yang sehat, aman, dan bertanggung jawab pada Pasal 104 (2) b, yang dikesankan mengarah kepada pembolehan seks bebas sebelum menikah asal sehat dan bertanggung jawab.

Ketiga, penghapusan praktik sunat (khitan) perempuan (Pasal 102), yang mendapatkan reaksi keras dari Ketua MUI Pusat, KH. Cholil Nafis. Alasanya, aturan itu bertentangan dengan syariat. Islam menganjurkan (makramah) khitan perempuan. Khitan perempuan tidak wajib tapi tidak boleh dilarang. Jangan karena praktik khitan yang salah di masyarakat tapi kemudian syariatnya yang dilarang. Seharusnya praktiknya yang diperbaiki, disesuaikan dengan ketentuan syariat. Khitan yang membersihkan tanpa melukai serta dilakukan oleh tenaga khitan yang terlatih.

Alat Kontrasepsi Usia Sekolah dan Remaja Menurut PP No. 28 Tahun 2024

- Advertisement -

Peraturan Pemerintah (PP) adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya (Pasal 5 ayat 2 UUD 1945). Fungsi PP, yaitu: (1) pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam undang-undang yang tegas-tegas menyebutnya; (2) menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut, ketentuan lain dalam undang undang yang mengatur meskipun tidak tegas-tegas menyebutnya.

Materi muatan PP berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Adapun maksud kalimat “sebagaimana mestinya” diartikan bahwa materi muatan dalam PP tidak boleh menyimpang dari materi yang diatur dalam Undang Undang yang bersangkutan. PP pun tidak boleh lebih luas atau menambah materi dari Undang Undang.

Berikut ini penulis akan menelusuri pasal-pasal PP No. 28, yang terkait upaya kesehatan bayi dan anak serta ramaja. Di dalam upaya kesehatan inilah nanti kita akan bertemu promosi kesehatan, kesehatan reproduksi, dan upaya kesehatan reproduksi anak dan remaja, di dalamnya dicantumkan pelayanan kesehatan yang penyediakan alat kontrasepsi.

Kesehatan bayi dan anak. Pasal 16 menjelaskan, upaya kesehatan bayi dan anak ditujukan untuk menjaga bayi dan anak tumbuh dan berkembang dengan sehat, cerdas, dan berkualitas, serta menurunkan angka kesakitan, kematian, dan kedisabilitasan bayi dan anak.

Pasal 17, upaya Kesehatan bayi dan anak dilakukan sejak masih dalam kandungan, dilahirkan, setelah dilahirkan, sampai sebelum berusia 18 (delapan belas) tahun. Masa setelah dilahirkan sampai sebelum berusia 18 (delapan belas) tahun terdiri atas kelompok sasaran: a. bayi baru lahir; b. bayi, balita, dan prasekolah; dan anak usia sekolah.

Pasal 18, upaya kesehatan bayi dan anak meliputi upaya promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan/aau paliatif yang dilaksanakan berdasarkan kelompok sasaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 di atas. Upaya promotif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 meliputi promosi kesehatan, termasuk kesehatan reproduksi, gizi, pola asuh, dan seterusnya (Pasal 19).

Berikutnya, kesehatan remaja. Pasal 49 mengatakan, upaya kesehatan remaja ditujukan untuk mempersiapkan remaja menjadi orang dewasa yang sehat, cerdas, berkualitas, dan produktif. Pasal 50, upaya kesehatan remaja dilakukan melalui upaya promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan/atau paliatif. Di antara yang termasuk upaya promotif adalah kesehatan reproduksi.

Selanjutnya, kesehatan reproduksi. Pasal 97 mengatakan, upaya kesehatan reproduksi ditujukan untuk menjaga dan meningkatkan sistem, fungsi, dan proses reproduksi pada laki-laki dan perempuan.
Selain itu, upaya kesehatan reproduksi juga bertujuan untuk: (a) menjamin pemenuhan hak kesehatan reproduksi dan seksual pada laki-laki dan perempuan; dan (b) menjamin kesehatan reproduksi pada laki-laki dan perempuan untuk membentuk generasi yang sehat dan berkualitas. Dan menurut pembuat PP ini, upaya kesehatan reproduksi dilaksanakan dengan menghormati nilai luhur yang tidak merendahkan martabat manusia sesuai norma agama (Pasal 96).

Menurut Pasal 100, upaya kesehatan reproduksi dilakukan melalui empat cara, salah satunya adalah upaya kesehatan reproduksi sesuai siklus hidup. Pada upaya kesehatan sistem reproduksi sesuai siklus hidup inilah kita bertemu dengan kesehatan sistem reproduksi usia sekolah dan remaja.

Pasal 103, menjelaskan upaya kesehatan sistem reproduksi usia sekolah dan remaja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (1) huruf b paling sedikit berupa pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi, serta pelayanan kesehatan reproduksi. Pelayanan kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. deteksi dini penyakit atau skrining; b. pengobatan; c. rehabilitasi; d. konseling; dan e. penyediaan alat kontrasepsi. Dan, penyediaan alat kotrasepsi inilah letak masalah utamanya.
Sebetulnya, penyediaan alat kotrasepsi ini juga terdapat pada upaya kesehatan sistem reproduksi dewasa, namun diperuntukkan kepada pasangan usia subur dan kelompok berisiko (Pasal 105 ayat 3 e), sehingganya tidak menuai masalah. Sebaliknya, pada upaya kesehatan reproduksi calon pengantin tidak ditemukan perlunya upaya promosi kesehatan reproduksi berupa penyediaan alat kotrasepsi. Ini juga dapat dipahami sebab memang belum merupakan pasangan suami istri.

Pasal 105, tentang upaya kesehatan sistem reproduksi lanjut usia (lansia). Pasal ini tidak mencantumkan perlunya penyediaan alat kontrasepsi. Pertanyaanya mengapa? Apakah pembuat PP menganggap bahwa laki-laki lansia dan perempuan lansia tidak lagi punya hasrat untuk melakukan hubungan seksual?

Selanjutnya, bila juru bicara Menteri Kesehatan mengatakan bahwa remaja yang dimaksud dalam Pasal 103 adalah remaja yang telah menikah, maka penulis mengajukan pertanyaan sebagai berikut. Pertama, mengapa narasi penyediaan alat kontrasepsi ini disatukan dengan pasal yang membicarakan upaya kesehatan sistem reproduksi usia sekolah dan remaja?

Kedua, mengapa tidak dimasukkan ke dalam pasal yang membicarakan pelayanan alat kotrasepsi bagi pasangan usia subur dan kelompok berisiko (Pasal 104 e)?; atau Ketiga, mengapa tidak dibuatkan pasal tersendiri, yang khusus mengatur upaya kesehatan sistem reproduksi remaja yang menikah dini? Sekaligus menunjukan bahwa PP ini membuka peluang pernikahan dini, yang tentu bertolak belakang dengan UU Perkawinan No 16 Tahun 2019 dan UU Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002.

Alat Kontrasepsi Anak Usia Sekolah dan Remaja Menurut UU Kesehatan

Selanjutnya mari kita simak UU Kesehatan No. 17 Tahun 2023. Apakah UU ini memang mengamanatkan perlunya pengaturan pelayanan kesehatan reproduksi berupa penyediaan alat kontrasepsi kepada anak usia sekolah dan remaja?

Mengapa perlu merujuk ke UU Kesehatan No.17 Tahun 2023? Sebab, PP No. 28 Tahun 2024 merupakan peraturan pelaksanaan dari UU Kesehatan No. 17 Tahun 2023. Andai UU Kesehatan ini hanya samar-samar menyatakan sedangkan pada penjelasannya diakatakan cukup jelas, maka setidaknya kita masih bisa mencari dokumen rapat pembahasan RUU-nya. Atau kita dapat menanyakan suasanya kebatinan para pemahasa RUU, apakah ada usulan atau dialog mengenai perlunya pengaturan penyediaan alat kontrasepsi kepada anak usia sekolah dan remaja dalam bentuk PP?

Selajutnya, tentang penyelenggaraan kesehatan. Pasal 22 menyebutkan, penyelenggaraan kesehatan, antara lain: kesehatan ibu, bayi dan anak, remaja, dewasa, dan lansia, kesehatan reproduksi dan keluarga berencana, dan sebaginya. Pasal ini menyebutkan kesehatan anak, remaja dan kesehatan reproduksi.

Pasal 23, mencantumkan rambu-rambu dalam menyelenggaraan upaya kesehatan harus: bertanggung jawab, aman, bermutu, merata, nondiskrimatif, dan berkeadilan. Dan juga harus memperhatikan fungsi sosial, nilai sosial budaya, moral, dan etika.

Upaya kesehatan bayi dan anak. Pasal 41 menjelaskan bahwa upaya kesehatan bayi dan anak ditujukan untuk menjaga bayi dan anak tumbuh dan berkembang dengan sehat, cerdas, dan berkualitas serta menurunkan angka kesakitan, kematian, dan kedistabilitasan bayi dan anak. Upaya kesehatan bayi dan anak ini dilakukan sejak masih di dalam kandungan sampai sebelum berusia 18 tahun.

Upaya kesehatan bayi dan anak meliputi: skrining bayi dan anak baru lahir dan skrining kesehatan lainnya. Dan, tampaknya upaya kesehatan bayi dan anak pada UU Kesehatan No. 17 Tahun 2023 hanya berupa skrining saja. Tidak ada isyarat yang menunjukkaan perlunya pelayanan berupa penyediaan alat kontrasepsi.

Selanjutnya, upaya kesehatan remaja. Pasal 50 (4) mengatakan, upaya kesehatan remaja meliputi: skrining kesehatan, kesehatan reproduksi remaja, dan kesehatan jiwa remaja. Disini memang ada upaya kesehatan reproduksi remaja, tapi juga tidak ditemukan adanya signal yang menunjukkan pelayanan kontrasepsi kepada remaja serta perlunya diatur lebih lanjut melalui PP.

Terkait upaya kesehatan reproduksi. Pasal 54 menyebutkan, upaya kesehatan reproduksi ditujukan untuk menjaga dan meningkatkan sistem, fungsi, dan proses reproduksi pada laki-laki dan perempuan. Upaya kesehatan reproduksi meliputi: (a) masa sebelum hamil, masa hamil, persalinan, pasca persalinan; (b) pengaturan kehamilan, pelayanan kontrasepsi, kesehatan seksual, dan kesehatan sistem reproduksi.

Selanjutnya, UU Kesehatan kembali memberi nasihat yang berkaitan dengan upaya kesehatan reproduksi. Pasal 55, setiap orang berhak menjalani kehidupan reproduksi dan seksual yang sehat, aman, bebas diskriminasi, tanpa paksaan/kekerasan dengan menghormati nilai luhur yang tidak merendahkan martabat manusia sesuai norma agama. Pasal 57 pun memberi nasihat, bahwa pelaksanaan pelayanan kesehatan reproduksi dilakukan dengan tidak bertentangan nilai dan ketentuan perundang-undangan.

Catatan Akhir

Menurut Bapak Perundang-undangan Indonesia, Prof. Dr. A. Hamid S. Attamimi, S.H, seharusnya setiap pembentukan peraturan perundangan menempatkan norma fundamental negara, Pancasila sebagai “cita hukum” (Rechtsidee) dan “bintang pemandu”, yang memberi pedoman dan bimbingan dalam semua kegiatan untuk memberi isi kepada setiap peraturan peundang-undangan.

Karena itu, terkait pasal pelayanan kesehatan reproduksi berupa penyediaan alat kontrasepsi pada anak usia sekolah dan remaja di dalam PP No.28 Tahun 2024, seharusnya pembentuknya menjadikan sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dan sila Ketuhanan yang Maha Esa, sebagai cita hukum dan bintang pemandunya.

Sebetulnya terkait dengan upaya kesehatan dan upaya kesehatan reproduksi, PP ini sudah cukup banyak memasang kalimat pengingat untuk memandunya. Misalnya, ketika membicarakan upaya kesehatan secara umum, pembentuk PP memberi nasihat berupa, “harus memperhatikan fungsi sosial, nilai sosial budaya, moral, dan etika.”

Begitu pula bila berhubungan dengan upaya kesehatan reproduksi pada usia sekolah dan remaja, juga terdapat kalimat, yakni, “dilakukan dengan menghormati nilai luhur yang tidak merendahkan martabat manusia sesuai norma agama” dan seterusnya. Hanya saja kalimat-kalimat tersebut tidak patuh. Dan juga terkesan tidak cermat dan ngawur dalam menuliskannya.

Mengapa penulis katakan tidak dipatuhi, tidak cermat dan ngawur? Tidak dipatuhi, sebab tetap saja terdapat pasal-pasal yang menyelisihi nasihat tersebut. Bahkan malah menabrak nilai kemanusiaan yang luhur dan norma agama, serta bertentangan dengan Pancasila. Sedangkan tidak cermat dan ngawur, sebab hemat penulis tidak ada nilai kemanusiaan yang luhur (tinggi, mulia, terhormat) yang merendahkan martabat manusia itu sendiri. Sekali pun martabat manusia itu disandarkan kepada norma agama.

Tampak pula bahwa pembentuk PP No. 28 Tahun 2024 tidak mendudukkan “cita hukum” rakyat Indonesia, Pancasila sebagai bintang pemandu dan pembimbing dalam memberi isi. Pun pembentuk PP melampaui UU Kesehatan No. 17 Tahun 2024 sendiri. Sebab, telah mencantumkan penyediaan alat kontrasepsi pada usia sekolah dan remaja di dalam PP tidak sesuai dengan Pancasila. Dan, lagi pula UU sendiri tidak memberi isyarat untuk mencantumkan dan mengaturnya lebih lanjut.

Sekalipun juru bicara Jubir Menteri Kesehatan dalam siaran persnya mengatakan bahwa penyediaan alat kontrasepsi yang dimaksud di dalam PP No. 28 Tahun 2024 bukan untuk semua remaja, melainkan hanya untuk remaja yang telah menikah, namun penjelasan itu sulit diterima. Demkian pula penjelasan bahwa akan diperjelas lebih lanjut di dalam Peraturan Menteri, pun sulit diterima.

Mengapa penjelasan Jubir sulit diterima? Sebab, jelas-jelas penyediaan alat kontrasepsi itu berada pada Pasal 103, yang mengatur upaya kesehatan sistem reproduksi anak dan remaja. Bukan di dalam pasal yang mengatur remaja yang sudah menikah atau menikah dini.

Hal yang sama bila akan diperjelas dengan Peraturan Menteri. Di sini penulis sependapat dengan pandangan publik yang mengatakan bahwa masalah tidak akan selesai sekali pun telah dijelaskan melalui Peraturan Menteri Kesehatan. Sebab, Peraturan Menteri tidak dapat membatalkan aturan yang ada di PP. Dan, itu artinya sumber masalahnya tetap ada dan masih tetap berlaku.

Karena itu, Kementerian Kesehatan selaku kementerian teknis yang mempunyai hak inisiatif dalam pembentukan PP No. 28 Tahun 2024 seharusnya berlapang dada, terbuka menerima sarat dan kritik dari publik. Dan, juga terbuka untuk dilakukannya penelaahan kembali atas pasal-pasal yang ditengarai keliru dan menimpang, guna memperbaikinya. Tentu semua ini demi kesehatan seluruh rakyat Indonesia dan demi Indonesia kita, yang beberapa hari lagi akan merayakan HUT Kemerdekaannya yang ke-79. Wallahu a’lam bishawab.

Penulis adalah Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia, 2012-2015 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here