Kolom Ruslan Ismail Mage
Dalam sejarah perjalanan bangsa menuju kemerdekaan, tercatat ibu Pertiwi pernah melahirkan puluhan singa podium yang bukan saja mampu mempersembahkan kemerdekaan bangsanya, tetapi juga mampu menggoncangkan panggung dunia karena gagasan dan pemikiran inspiratifnya. Minimal dua “Bung” tambah satu guru yang yang selalu mengaung di podium membuat nyali penjajah ciut, tentu bukan auman macan ompong yang kemudian mengembek kepada kapitalisme global dan koruptor perampok uang negara.
Berikut sekilas dua Bung dan satu guru bangsa yang selalu menggetarkan forum dan jiwa rakyatnya. Pertama, Bung Tomo. Tokoh utama di balik pertempuran Surabaya melawan Belanda. Melalui orasi “Merdeka atau Mati” dan “Sekali Merdeka tetap Merdeka”, Bung Tomo berhasil menyulut semangat arek-arek Surabaya untuk melawan Belanda pada pertempuran 10 November 1945.
Kedua, Bung Karno. Sang proklamator ini dikenal sebagai orator ulang dengan narasi dan pemilihan diksi yang menggetarkan jiwa. Pada 1960 di Sidang Majelis Umum PBB, Soekarno mengguncangkan dunia lewat pidatonya “To Build The World A New”. Hingga kini salah satu pidatonya yang masih diingat berjudul “Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah”, atau sering disingkat menjadi Jas Merah yang dilakukan pada tanggal 17 Agustus 1966.
Ketiga, HOS Tjokroaminoto. Sang guru Bung Karno ini pernah menasehatinya, “Jika engkau Ingin menjadi pemimpin besar, menulislah seperti wartawan dan berbicaralah seperti orator”. Salah satu pidatonya yang diasampaikan dengan lantang adalah saat Kongres Sarikat Islam di Bandung pada 1916. Tjokroaminoto dengan berani melontarkan ide kemerdekaan yang menggetarkan hati dan menggerakkan jiwa rakyat berjuang merebut kemerdekaan. Nasehat sang guru ke muridnya ini bukan berarti pemimpin itu harus jago berkata- kata yang berujung jilat ludah sendiri, tetapi wajib satunya kata dengan perbuatan. Itulah nilai kepemimpinan.
Kalau kemudian dua Bung di atas tambah satu guru, mampu membakar semangat rakyatnya, itu karena satunya kata dengan perbuatan. Sekali ucapannya melakukan perlawanan, tidak akan kendor dengan alasan apa pun. Bagi mereka bertiga kuda ditarik dengan talinya, manusian dipegang kata-katanya. Itulah resiko seorang pemimpin sejati. Bukan pagi tahu sorenya tempe.
*Konsisten dengan Kebesarannya*
Dalam konteks kekinian, tidak salah kita belajar konsistensi yang di contohkan negeri Cina. Pada era tahun 70-an Cina tidak ada apa-apanya, selalu tenggelam dibawah bayang-bayang dua negara raksasa penguasa dunia Amerika Serikat dengan Nato dan Uni Soviet dengan Pakta Warsawa. Perkembangan kemudian menunjukkan, Cina menjelma menjadi kekuatan raksasa dunia. Semua itu terjadi karena Cina konsisten dengan kebesarannya. Konsisten memiliki pemimpin besar dengan gagasan besar, tekad besar, dan daya juang besar untuk membangun pondasi pertama dan utama bangsanya yaitu membersihkan Cina dari koruptor perampok uang negara. Hasilnya dua negara raksasa sebelumnya Amerika dan Rusia dilumat ekonomi dan tekhnologinya.
Sejatinya Indonesia sebagai negara besar konsisten juga dengan kebesarannya. Faktanya, hanya paradoks yang bertebaran dimana-mana. Memang negeri ini tetap memiliki pemimpin besar, tetapi yang besar hanya rumahnya, tabungannya, tanahnya, rekeningnya. Bukan gagasan pemikirannya, bukan tekadnya, semangat dan daya juangnya membangun pondasi bangsa dengan membersihkan koruptor perampok uang negara.
Meski Jeffry Winters sudah mengatakan beberapa tahun lalu, ” Indonesia dikuasai para maling”, tetapi pemberantasan korupsi masih setengah hati, celakanya lagi ada kecenderungan berdasarakan pesanan. Lawan politik dikejar sampai ke lubang tikus, sementara kawan politik dipelihara korupsinya. Apakah KPK dan kejaksaan bekerja berdasarkan orderan? Silahkan sahabat pembaca menilainya. Namun yang pasti untuk memberantas korupsi dan perampok uang negara, tidak cukup hanya pemimpin omon-omon, dan gampang mengingkari janji politiknya.
Penulis buku Radikalisme, Demokrasi dan Kemiskinan