Palu Menuju Kota Kebudayaan Ekologis

0
761
- Advertisement -

Kolom Halim HD

Lontaran gagasan tentang suatu kota kebudayaan yang didasarkan kepada prinsip ekologis beserta dukungan ekosistemnya, bukanlah sesuatu yang baru. Setengah abad yang lalu, sekitar tahun 1973-74, Akademi Jakarta (AJ) yang diketuai oleh Prof. Sutan Takdir Alisjahbana, menuliskan suatu analisa dan laporan tentang betapa pentingnya kesadaran ekologis bagi para pengelola dan stake holder kota di dalam memutara laju pembangunan ekonomi. Singkat kata, analisa dan laporan itu menunjukan suatu arah, bahwa pembangunan ekonomi tanpa didasari kepada kesadaran kebudayaan dan prinsip ekologis akan menciptakan kerusakan tata ruang yang akan berdampak kepada kerusakan tatanan nilai nilai sosial, yang berujung kepada krisis kondisi kemanusiaan.

Salah satu segi dari krisis kemanusiaan terjadi akibat degradasi posisi dan fungsi seni tradisi di dalam masyarakat. Degradasi posisi dan fungsi seni tradisi ini sangat kuat kaitannya dengan proses moderenisasi yang tidak berakar kepada tatanan nilai yang ada di dalam masyarakat, dan pada sisi lainnya posisi dan fungsi seni tradisi tergusur dari ruang-ruang publik. Moderenisasi yang diterapkan di negeri kita secara sebelah pihak yang hanya menekankan kepada perspektif nilai tambah dari pertumbuhan ekonomi. Kita tidak menolak nilai tambah did alam pertumbuhan ekonomi bagi warga dan masyarakat. Namun, jika nilai tambah hanya semata-mata dijadikan ukuran sedangkan kandungan nilai-nilai seni dan kebudayaan terpinggirkan, maka nilai tambah itu akan mengalami kekosongan nilai. Dampak dari hal ini terciptanya suatu kondisi di mana warga dan masyarakat terasingkan dari tatanan nilai yang telah menyejerah, khususnya bagi kaum muda dan anak-anak.

Gambaran analisa ringkas ini ingin mengajak kepada pengelola kota, instansi pemerintah dan stake holder independen, seperti seniman, pekerja kebudayaan, aktivis mahasiswa, kaum ibu, dan unsur masyarakat lainnya untuk kembali merenungkan kembali kondisi yang ada di sekitar kita dalam kaitannya dengan kondisi kota dan lingkungan hidupnya dalam konteks kehidupan seni dan kebudayaan umumnya dengan dasar kesadaran ekologis sebagai basis dari praktek kehidupan keseharian namun strategis.

Secara singkat berkaitan dengan kondisi kota Palu yang pernah mengalami bencana alam tsunami yang dampaknya bukan hanya kepada hilangnya nyawa yang tak terhitung, tapi juga kerusakan tata ruang kehidupan. Dalam konteks tata ruang inilah kita berusaha untuk mencoba merenungkan dan sekaligus berusaha menciptakan kembali suatu tata ruang yang lebih adaptable dan transformatif yang didasarkan kepada nilai-nilai kesejarahan dan dengan prinsip ekologis. Kita berharap suatu tata ruang yang diciptakan itu akan mampu menghadapi proses perubahan sosial ke arah yang lebih menempatkan unsur manusia sebagai pelaku kebudayaan.
Berkaitan dengan paparan di atas, saya akan menyampaikan poin-poin ringkasan gagasan sebagai bahan diskusi sehubungan dengan lontaran tentang Kota Palu menuju kota kebudayaan yang ekologis, sbb:

- Advertisement -

Baruga Community Center (BCC). Baruga bagi masyarakat Palu dan Sulawesi Tengah (juga masyarakat Sulawesi Selatan dan Masyarakat Mandar) merupakan suatu wujud bangunan yang sangat egaliter. Watak egaliter ini nampak dari bentuk bangunan yang terbuka kearah empat penjuru yang secara simbolik dan metaforik mengandung nilai, terbuka bagi siapa saja. Dalam konteks kehidupan masyarakat dan kehidupan kebudayaan, Baruga menjadi penting karena watak keterbukaan dan sekaligus juga menampung dan meresap berbagai nilai yang bisa dipertemukan di dalam ruang Baruga. Secara teknikal, Baruga dalam tradisi di dalam masyarakat di Sulawesi Tengah dan khususnya di Palu, dapat dibangun dengan material dari kayu dan geludu pohon kelapa. Jika kita melihat sejarah Sulawesi Tengah, pohon kelapa sangat kuat kaitannya, karena wilayah Sulwesi Tengah ini pernah (dan masihkah?) menjadi sumber utama pohon kelapa dan kopranya di nusantara selama berabad-abad dan menjadi bahan ekspor utama. Dari segi material, gelugu pohon kelapa memiliki kekuatan daya tahan dan memiliki watak ekologis yang sangat baik. Berkaitan dengan hal itu, Baruga juga menjadi ruang yang sangat ekonomis karena pengelolaan yang mudah, serta tak membutuhkan elektrifikasi yang kian mahal secara ekonomi, misalnya seperti AC.
Berkaitan dengan upaya membentuk tata ruang kebudayaan bagi warga- masyarakat, sangat baik jika pada setiap Kecamatan memiliki Baruga Community Center (BCC) untuk menampung kegiatan warga-masyarakat. Pembentukan BCC pada setiap kecamatan ini, agar tercipta desentralisasi kegiatan. Desentralisasi ini penting agar setiap wilayah kecamatan di Kota Palu dapat menampung serta menyalurkan ekspresi kultural warga dalam berbagai seginya, seperti latihan tari, teater, musik, sastra, permainan anak-anak, aktifitas kaum remaja, kegiatan kaum ibu, dan berbagai kegiatan lainnya seperti penguatan literasi. Melalui BCC inilah berbagai kegiatan ditampung dan menjadi ruang bagi proses kohesi sosial dan personal, dan sekaligus sebagai ruang menumbuhkan kesadaran kesejarahan kepada tradisi melalui ekspresi seni. Dari segi lainnya, BCC ini bisa menjadi sejenis lembaga pendidikan kebudayaan dari aspek kesenian, yang secara praktis bisa dikaitkan dengan kurikulum lembaga pendidikan formal. Di antara masalah kekurangan fasilitas berkesenian pada setiap lembaga pendidikan formal, maka BCC bisa berfungsi untuk menampung dan menjadi solusi yang sangat baik bagi pendidikan yang berkaitan dengan seni dan kebudayaan.

BCC sebagai ruang aktifitas warga-masyarakat bukan hanya dalam wujud Baruga semata-mata. Dibutuhkan beberapa Baruga, di samping baruga utama. Beberapa Baruga pendukung ini menjadi sejenis studio, diantara ruang-ruang lainnya, seperti perpustakaan yang juga merangkap menjadi taman bacaan masyarakat (TBM), pusat informasi wisata (TIC, tourism information center) dan ruang pameran, galeri. Jadi, BCC menjadi kesatuan dari suatu konsep ruang kebudayaan, pendidikan, ruang informasi dan produk khasanah senibudaya, seperti kerajinan tangan tradisi maupun produk disain baru. Dengan kata lain, BCC menjadi sejenis Art Center pada tingkat kecamatan.

Poin diskusi lainnya yang ingin saya sampaikan tentang Taman Budaya Sulawesi Tengah (TBST). Lembaga ini secara fisik mengalami kehancuran akibat bencana alam. Saya pikir, ada baiknya jika dibangun kembali, juga didasarkan kepada tata ruang ekologis yang didasarkan kepada arsitektur khasanah tradisi. Saya berharap pembangunan TBST sebaiknya menghindari pembangunan gedung yang memiliki resiko penggunaan elektrifikasi yang tinggi. Keterbatasan tenaga listrik harus dicermati bukan hanya karena secara ekonomis memakan biaya yang tinggi, tapi juga dampak pemeliharaan peralatan penunjang misalnya seperti AC. Banyak pusat kesenian dan kebudayaan dibangu8n dengan gedung yang mewah tapi secara fungsional tidak maksimal.

Ungkapan yang menyatakan bahwa untuk menyelenggarakan peristiwa seni dan kebudayaan yang bersifat internasional haruslah didukung oleh gedung gedung yang besar dan mewah ber-AC, merupakan kekeliruan yang paling fatal yang terjadi di negeri ini di dalam penyelenggaraan peristiwa senibudaya. Yang tak pernah diperhitungkan oleh mereka yang memegang prinsip gedung mewah dan besar itu, bahwa biaya pemeliharaan yang tinggi setiap tahunnya. Biaya pemeliharaan yang tinggi ini menjadi ironis bagi kehidupan senibudaya, karena biaya itu memotong anggaran kegiatan senibudaya dan berbagai aktifitas lainnya yang justeru semestinya menjadi fokus di dalam pengembangan kebudayaan bersama masyarakat. Kasus-kasus ini banyak terjadi diberbagai daerah. Dampak berkurangnya anggaran kegiatan akibat pemeliharaan dengan biaya tinggi itu, memunculkan keluh kesah kaum seniman dan pekerja kebudayaan, bahkan protes yang berkepanjangan.
Satu hal terpenting di dalam pengembangan lembaga TBST, di samping kembali membangun sarana dengan prinsip ekologis, adalah meletakan prinsip keterbukaan lembaga TBST sebagai ruang publik melalui debirokratisasi, dan meletakan keterlibatan warga-masyarakat sebagai pendukung utama di dalam penyususnan program maupun praktek pengelolaan kegiatan. Dalam konteks ini, lembaga TBST berposisi sebagai fasilitator. Posisi sebagai fasilitator ini memiliki dasar kekuatan hukum yang sahih seperti yang dirumuskan di dalam Undang Undang Pemajuan Kebudayaan. Berkaitan dengan hal itulah posisi lembaga TBST justeru makin kuat sebagai lembaga kebudayaan yang dimiliki oleh warga-masyarakat. Dalam konteks ini secara teknikal, termasuk di dalamnya kandungan pemeliharaan suatu lembaga berkaitan dengan rasa-memiliki warga-masyarakat akan menciptakan proses yang secara anggaran sesungguhnya lebih ekonomis. Kasus Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT) di Solo yang dikenal dengan Taman Budaya Solo (TBS) misalnya hanya memiliki staf (kebanyakan staf teknis) untuk melayani kebutuhan kegiatan sebanyak 40-an orang dibandingkan dengan Taman Budaya Jawa Timur yang memiliki staf sebanyak 60an orang, namun jumlah kegiatan Taman Budaya Solo berlipat kali secara kuantitatif, dan secara kualaitatif jauh lebih bernilai. Nilai lebih dalam kasus operbandingan kedua taman budaya itu, terletak pada penyusunan program yang melibatkan seniman dan warga yang membutuhkan, dengan mempraktekan debirokratisasi dan keterbukaan lembaga yang didasarkan kepada prinsip bahwa taman budaya sebagai ruang publik.

Meletakan posisi TBST sebagai ruang publik dengan prinsip debirokratisasi menjadikan taman budaya sebagai ruang kebudayaan yang menciptakan jaringan sosial, social networking. Jaringan sosial ini bisa menjadi pelatuk strategis bagi TBST untuk secara berkesinambungan untuk ikut mengembangkan berbagai komunitas senibudaya dan komunitas komunitas lainnya ke dalam suatu kerangka kerja kebudayaan secara bersama-sama. Dan dalam konteks jaringan sosial itu pula TBST bisa menjalin dan merangkai program bersama Baruga Community Center di Palu dan kota kota lainnya di Sulawesi Tengah.

Poin ketiga sebagai bahan diskusi kita, saya ingin melontarkan gagasan yang berkaitan dengan tema dan program sehubungan dengan TBST dan BCC. Tema dan program ini akan menekankan kepada prinsip bahwa ruang-ruang senibudaya sebagai ruang publik semestinya memiliki dasar kegiatan kepqada kebutuhan warga untuk mengekspresikan dirinya di dalam proses pembudayaan dan pematangan lingkungan masyarakat secara psikologi sosial. Banyak daerah dan kota di Indonesia memiliki lembaga kebudayaan yang mampat pengelolaannya dikarenakan tidak melibatkan warga-masyarakat serta komunitas yang ada dan hidup di lingkungannya. Kegiatan lembaga itu juga sangat tergantung kepada isu-isu yang tak memiliki korelasi logis dengan kebutuhan warga-masyarakat. Kasus misalnya kebutuhan untuk mengembangkan dunia kepariwisataan (tourism) lebih banyak dianggap dan dipraktekan sebagai sekedar dunia panggung yang bersifat seremonial.
Kita sadar benar bahwa dunia kepariwisataan sebagai pelatuk strategis di dalam pengembangan kebudayaan sangat penting. Namun, masalahanya terletak kepada sejauh manakah posisi-fungsi kebudayaan yang dimiliki warga-masyarakat serta komunitas dilibatkan sebagai pelaku. Selama ini yang terjadi kegiatan seni dan kebudayaan dalam kaitan dengan kepariwisataan selalu bersifat instant, dan bahkan cenderung artifisial. Kondisi instant dan artifisial ini dilator belakangi oleh cara berpikir bahwa kebudayaan hanya sekedar dunia panggung, seremonial.

Dalam konteks itulah, diskusi ikita tentang tema dan program ini harus bisa meletakan prinsip dan praktek kebudayaan sebagai aktifitas warga-masyarakat dan komunitas sebagai basis sosial di dalam produksi kebudayaan. Meletakan warga-masyarakat-komunitas sebagai basis sosial di dalam produksi kebudayaan memiliki makna bahwa yang terpenting dan yang utama adalah bagaimana suatu aktifitas warga-masyarakat-komunitas sebagai pelaku di dalam melacak kembali asal muasal kesejarahan dan kesadaran kebudayaannya melalui proses belajar bersama. Proses belajar bersama ini untuk kembali menggali cikal bakal tatanan nilai dan sekaligus melakukan refleksi kembali terhadap posisi-fungsi tradisi dan nilai-nilai kebudayaan yang sedang tumbuh berkembang. Refleksi dan praktek pelacakan itu juga memiliki makna berkaitan dengan konservasi berkaitan dengan kesinambungan pelestarian tatanan nilai yang pernah ada. Pada sisi lainnya refleksi itu juga menajdi bahan bagi eksplorasi nilai-nilai dengan konteks situasi dan kondisi zaman yang dihadapi oleh warga-masyarakat-komunitas, yang secara sesungguhnya memang sebagai pengemban khasanah dan nilai kebudayaan yang dimilikinya.

Dengan prinsip bahwa warga-masyarakat-komunitas sebagai pengemban khasanah kebudayaan, maka yang utama di dalam pengembangan kebudayaan bukanlah kebutuhan kesenian dan kebudayaan untuk kepariwisataan (tourism). Tapi meletakan kebudayaan sebagai kebutuhan warga-masyarakat-komunitas. Jika prinsip itu dipegang dan dipraktekan secara konsisten, sesungguhnya justeru akan lebih menciptakan dunia kepariwisataan yang lebih genuine dan otentik, dan bukan sajian panggung yang instant dan artifisial.
Dalam kondisi derasnya proses moderenisasi dan globalisasi dimana situasi- kondisi manusia diperhadapkan dengan laju derasnya informasi yang membawa pengaruh kepada lingkungan sosial dan personal, maka makin dibutuhkan suatu kesadaran kesejarahan kepada nilai-nilai tradisi yang otentik dan genuine sebagai genggaman nilai-nilai di dalam arus perubahan sosial dan kebudayaan. Dalam konteks inilah suatu proses kearah otensitas merupakan suatu proses penguatan dan sekaligus pengembangan tatanan nilai dalam kerangka kebudayaan nasional yang didasarkan kepada pengembangan individu-individu kearah pendewasaan di dalam memahami dan mengelola nilai-nilai kebudayaannya.

Masalah yang kita hadapi adalah, bagaimana suatu proses kearah otensitas yang genuine itu di dalam proses pengembangan dalam wujud penyusunan program dan tema-tema festival. Di sini kita berhadapan dengan suatu ruang kajian berkaitan dengan riset dan pelacakan secara sistematik yang didasarkan kepada khasanah kesejarahan social di lingkungan masyarakat. Berkaitan dengan hal ini, maka TBST dan BCC bisa menjadi ruang laboratorium kebudayaan, ruang uji coba dan sekaligus ruang eksplorasi dengan pendekatan akademis yang juga mempertimbangkan wacana-wacana lokal. Rencana kerja dan kerangka akademis ini sebaiknya tidak melakukan pendekatan obyektifikasi terhadap khasanah lokal. Mendudukan khasanah tradisi dan nilai-nilai lokal sebagai subyek merupakan praktek yang paling bijak, dan menghindari perangkap ke dalam glorifikasi serta mistifikasi nilai-nilai tradisi. Secara praktis hal ini mengaitkan proses kerjasama antara kampus, kaum akademisi dan kaum periset dengan TBST dan BCC.
Di dalam menyusun dan merumuskan tema dan program berkaitan dengan kegiatan, termasuk festival sebagai acara puncak pada setiap tahun, hendaknya kita mendasarkan diri kepada kebutuhan warga-masyarakat-komunitas. Dalam konteks ini, khasanah tradisi haruslah menjadi poin utama. Hal ini sebagai wujud di dalam kita mengikatkan diri kembali kepada apa yang kita miliki, dan sekaligus sebagai proses kohesi sosial bagi kaum muda, remaja dan anak-anak ke dalam ruang kesejarahan. Kohesi sosial ini merupakan proses kearah otentisitas diri bagi warga-masyarakat-komunitas dan khususnya kaum muda, remaja dan anak-anak di dalam kebersamaan. Seperti kita ketahui bahwa proses menjadinya seseorang tumbuh dan berkembang sebagai subyek kebudayaan di dalam sejarah sosial kita selalu di dalam proses kebersamaan.
Kebudayaan senantiasa berubah. Hal itu merupakan kebutuhan manusia untuk menghadapi zaman melalui strategi kehidupannya bersama nilai-nilai yang digenggamnya. Dalam konteks perubahan kebudayaan yang didasarkan kepada kebutuhan itulah suatu masyarakat menciptakan upaya taktis dan strategis yang didasarkan kepada tatanan nilai yang dimilikinya. Berkaitan dengan hal ini, maka proses reflektif yang mengandung daya penilaian ulang yang bersifat internal criticism menjadi penting sehubungan konteks kebutuhan zaman. Di sini kita dapat melihat suatu proses kembali belajar dan menilai ulang tatanan nilai dan sekalgus melakukan uji coba, eksplorasi terhadap khasanah yang dimiliki untuk kebutuhan pembaharuan. Pada dasarnya, prinsip dari nilai-nilai moderenitas adalah kapasitas seseorang atau suatu masyarakat untuk selalu menilai kembali apa yang menjadi miliknya dan sekaligus melakukan perumusan kembali sistem nilai untuk zaman yang dihadapinya. Penilaian ulang, eksplorasi, uji coba kearah pembaharuan menjadi bagian penting dari kehidupan kebudayaan, khususnya dengan posisi kaum muda yang sedang mencari ruang-ruang kemungkinan berekspresi, dan sekaligus kearah wujud baru kehidupan kesenian. Kondisi ini sangat membutuhkan ruang dan dukungan agar wujud pembaharuan dari hasil pertemuan antara khasanah tradisi dengan upaya reflektifitas itu bisa tumbuh dan berkembang. Untuk hal itu pula maka jenis festival eksploratif ini perlu dan penting diselenggarakan.

Kedua jenis festival dengan tema pertautan khasanah tradisi dan eksplorasi ini hanya bisa berjalan secara maksimal jika kedua jenis festival itu menjadi kehidupan keseharian di dalam ruang-ruang TBST-BCC yang menyediakan studio sebagai laboratorium kebudayaan. Festival tematik yang didasarkan kepada upaya untuk mengembangkan potensi sumber daya manusia yang didasarkan dari proses kesinambungan antara proses keseharian dengan puncak acara pada suatu peringatan tahunan dapat dikembangkan kepada berbagai bentuk, seperti festival pedesaan sampai dengan festival di wilayah perkotaan dan propinsi maupun yang bersifat nasional dan internasional. Namun yang terpenting dari upaya untuk menciptakan berbagai bentuk festival itu hendaknya, sekali lagi, mesti didasarkan kepada kebutuhan pengembangan sumber daya manusia (SDM) dalam konteks potensi sumber kebudayaan yang memiliki kaitan kuat dengan lingkungan hidup yang bersifat ekologis. Kaitan antara tematik festival dengan proses penumbuhan kesadaran ekologis ini sangat perlu diperhatikan khususnya kepada kaum muda, remaja dan anak-anak, sehubungan dengan kondisi lingkungan hidup kita yang kini kian ringkih dampak dari polusi udara, polusi suara dan limbah plastik yang kian merajalela. Upaya ini bisa dikaitkan dengan proses reboisasi wilayah perkotaan (urban) dan pesisir. Reboisasi wilayah urban dan pesisir sangatlah penting mengingat pertumbuhan dan perkembangan perkotaan yang kian gersang, dan pada sisi lain, pertumbuhan dan perkembangan wilayah urban ini ikut menciptakan perubahan cuaca dan iklim secara drastis. Potensi sumber daya manusia dalam kaitan proses penumbuhan kesadaran ekologis melalui festival dan kehidupan keseharian yang melibatkan anak-anak, remaja dan kaum muda serta kaum ibu.tematik yang melibatkan anak-anak, remaja dan kaum muda menjadi pelatuk strategis berkaitan dengan posisi mereka sebaagai pengemban khasanah tradisi dan kebudayaan untuk masa depan.
Salah satu contoh menarik dari beberapa kasus yang pernah saya saksikan sehubungan dengan limbah plastik, misalnya, bagaimana mengolah limbah plastik menjadi bentuk dan berwujud sebagai ekspresi kesenian, seperti kasus di Bandung dan Blitar dan Bali. Walaupun kegiatan itu masih sayup sayup, belum menggema menjadi suatu gerakan kebudayaan. Dalam konteks inilah tematik suatu festival yang berangkat dari kehidupan keseharian bisa dirumuskan kearah gerakan kebudayaan ekologis. Tentu saja khasanah untuk menunjang festival itu bisa diirngi dan disandingi dengan berbagai elemen lainnya yang berkaitan dengan tematik kebudayaan ekologis.
Setelah panjang lebar saya melontarkan dan memaparkan bahan diskusi ini dengan harapan menjadi bahan permenungan kita bersama berkaitan dengan Kota Palu yang pernah mengalami bencana tsunami, kita berharap upaya-upaya kearah perbaikan lingkungan hidup dan tata ruang perkotaan serta wilayah-wilayah lainnya bisa ditangani dengan penuh kebijaksanaan yang didasarkan kepada kesadaran kesejarahan dan khasanah tradisi serta dengan dorongan kebudayaan yang didasarkan kepada visi ekologis.

Kita menyadari bahwa luka-luka dan dampak psikologis dari bencana yang pernah terjadi masih menjadi beban bagi kita semuanya. Untuk itu, suatu upaya penyembuhan secara sosial budaya sangat dibutuhkan disamping perbaikan secara teknis-fisikal. Tentu proses ini akan sangat panjang. Namun tetap kita butuhkan agar kehidupan kembali normal dan bangkit untuk menatap dan menjalani masadepan.

Dalam konteks itulah lontaran dan pemaparan bahan diskusi ini saya sampaikan dengan harapan upaya silaturahim pemikiran bisa terus tercipta. Dan pada sisi lainnya, saya pikir, ada baiknya Kota Palu, juga kota-kota lainnya di Sulawesi Tengah kembali mempertimbangan kesadaran ekologis di dalam kehidupan keseharian dan di dalam kegiatan kebudayaan. Saatnya kita kembali merenungi makna dan nilai-nilai khasanah leluhur yang bijak yang selalu dengan hikmat memandang dan meresapkan lingkungan hidup sebagai kesatuan yang tak terpisahkan.
Secara praktis, lontaran pemaparan bahan diskusi ini juga ingin mengajak Walikota Palu (dan pengelola kota-kota lainnya di Sulwesi Tengah) serta Gubernur Sulawesi Tengah beserta pengelola lembaga-lembaga senibudaya di Kota Palu dan Sulawesi Tengah untuk mempertimbangkan secara visioner tentang makna serta nilai dari kehidupan kebudayaan dalam kaitannya dengan festival. Selama ini kita menyaksikan banyak festival tak mendasarkan dirinya kepada kebutuhan warga-masyarakat-komunitas, dan pada sisi lainnya, festival-festival itu juga tak memiliki tematik yang kuat. Lontaran dan pemaparan tentang festival senibudaya dengan kaitan kesadaran ekologis merupakan usaha untuk merumuskan langkah-langkah strategis di dalam kehidupan sosialbudaya, dan menjadikan festival dan aktifitas warga-masyarakat-komunitas sebagai basis dari gerakan kebudayaan ekologis. Selama ini di Indonesia belum pernah ada suatu festival dengan rencana kerja jangka panjang yang mendasarkan diri kepada hal tersebut.

Jika pengelola Kota Palu bisa melakukan suatu gerakan kebudayaan ekologis yang didasarkan kepada aktifitas keseharian dalam senibudaya dan festival dengan tematik ekologis, sangat mungkin Kota Palu menjadi pelopor dari kehidupan kebudayaan dengan visi yang jauh ke depan, yang memandang ruang khasanah tradisi dan khasanah eksploratif dengan dinamis dan meletakan hal itu sebagai basis dan prinsip di dalam menciptakan sistem produksi tatanan nilai yang baru bagi generasi yang akan datang. -o0o-
Post Scriptum:

Bagaimana dengan posisi Dewan Kesenian Sulawesi Tengah (DKST) dan Dewan Kesenian Palu (DKP)? Saya ingin menyampaikan gagasan dalam diskusi kita ini, saya ingin melontarkan gagasan sebaiknya DKST-DKP meninggikan dirinya dan sekaligus merubah posisinya, yang selama ini menjadikan dirinya sebagai event organizer (EO) kearah Think Tank kebudayaan. Pada posisi sebagai think tank kebudayaan, DKST-DKP berisikan figur-figur yang memang sungguh-sungguh memiliki pemikiran tentang kebudayaan,bukan sekedar pembuat proposal yang bersifat pragmatis. Jadi DKST- DKP bisa menjadi rekan pemkot dan pemda propinsi berkaitan dengan kebijakan kebudayaan lokal, memberikan masukan dalam perumusan kebijakan dan arah praktek kebudayaan di Kota Palu dan propinsi Sulawesi Tengah. Selama ini DKST-DKP hanya menjadi ajang rebutan anggaran dari berbagai komunitas dan grup. Hal ini karena kedua lembaga itu tidak memiliki suatu pijakan yang cukup jelas di dalam pengelolaan kehidupaan kesenian dan kebudayaan. Secara praktis saya melihat DKST-DKP meletakan dirinya pada posisi yang paling rendah, sebagai lembaga tempat praktek penyaluran dana kesenian, dan itupun cenderung bersifat sektoral dan faksional. Padahal seharusnya DKST-DKP menjadi rekan setara dalam perumusan politik kebudayaan kota dan propinsi. Posisi rendah DKST-DKP ini juga dikarenakan kesalahkaprahan para pelaku kesenian yang menganggap lembaga itu sekedar sebagai penyalur dana kesenian yang didapat dari pemkot dan pemda propinsi. Dalam kaitan itulah DKST-DKP mengalami degradasi posisinya akibat ketiadaan wacana yang secara fundamental yang berkaitan dengan perubahan sosial budaya. Sudah saatnya sekarang DKST-DKP merubah dirinya, jika tidak ingin hanya sekedar dianggap broker kesenian dalam tarafnya yang paling rendah.
Perubahan secara mendasar posisi dan fungsi DKST dan DKP ini penting, agar suatu arah kehidupan kebudayaan bisa sinkron dan tercipta kohesi institusi dengan TBST-BCC yang saling menjalin dengan dasar wacana yang kuat. Hal itu kita butuhkan berkaitan dengan harapan kita untuk menciptakan suatu kota dan daerah dengan prinsip kebudayaan yang didasarkan kepada kesadaran ekologis. Tema-tema dan program kebudayaan ekologis ini bisa dijalin dalam suatu kerjasama melalui sarasehan rutin berkesinambungan antara TBST-BCC-DKST-DKP dan hasilnya bisa diserahkan kepada pemkot dan pemda propinsi. -o

Penulis, Kurator Kebudayaan

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here