Merdeka

0
4937
- Advertisement -

Kolom Imran Duse

APA arti Merdeka bagimu, bagiku? Apa makna peringatan Hari Kemerdekaan ke-76, kini?

Di pagi yang sunyi itu, 17 Agustus 1945, Dwitunggal Soekarno-Hatta menyapa dunia: Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan Kemerdekaan Indonesia….

Dunia mendengarnya; namun dengan wajah yang muram dan tepuk tangan yang lembam. Tak banyak yang menyahut. Yang terbit justru kecemasan dan rasa waswas: mampukah entitas yang menyebut diri sebagai “Kami” itu mengurus apa yang mereka namakan Indonesia, kelak?

Palestina adalah satu di antara yang tak-banyak-yang-menyahut itu. Bahkan setahun sebelumnya, 6 September 1944, Mufti Besar Palestina Syekh Muhammad Amin Al-Husaini menyampaikan orasi terbuka mendukung Kemerdekaan Bangsa Indonesia. Langkah ini diikuti Mesir pada 22 Maret 1946; tiga setengah tahun sebelum Konferensi Meja Bundar dihelat di Den Haag.

- Advertisement -

Dari situlah nampaknya Bung Karno, putra Sang Fajar, jatuh hati. Ia pun mengirim undangan agar Palestina bertandang ke Konferensi Asia Afrika 1955 di Bandung –ketika Palestina belum menjadi negara merdeka.

Tentu bukan sekedar of-lips-service. Sebab tujuh tahun berselang, kita kembali mendengar kesungguhan Bung Karno: selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina maka sepanjang itulah bangsa Indonesia berdiri menentang penjajah Israel.

Ada rasa senasib-sepenanggungan di sana. Tapi bukan cuma itu. Keberpihakan Bung Karno sesungguhnya juga merefleksikan nafas konstitusi: penjajahan di atas dunia harus dihapuskan… .

Lewat itu semua, Bung Karno agaknya hendak menjawab para peragu. Ia menunjukkan bahwa “Kami” bukan cuma (bisa) mengurus diri sendiri, melainkan dunia. Barangkali terkesan heroik. Tapi setidaknya dengan itu dunia lekas mengenal Indonesia.

MAKA, sesaat setelah Bung Karno membacakan dua paragraf teks Proklamasi, Sang Merah Putih pun dikibarkan diiringi kidung Indonesia Raya yang membahana sepanjang hari. Matahari kebebasan bergerak menghangatkan Ibu Pertiwi. Dan di jalan-jalan, para pelajar dan pemuda berlari riang mengabarkan berita gembira itu.

Kita tahu, tak cukup banyak waktu merencanakan apa yang kemudian terjadi hari itu. Bahkan, penentuan tanggal 17 sendiri hanya berlangsung dalam hitungan jam.

Sebab ada hari yang dijanjikan: 24 Agustus 1945. Itulah hari ketika Jepang (yang sedang dalam tekanan Sekutu) berbaik hati untuk, konon, akan menyerahkan kemerdekaan.

Tapi para pemuda, dan pelajar, berpaling. Mereka, kelompok yang selalu resah namun tak pernah absen di masa sulit (sebagaimana halnya kini), kepingin bergegas. Sikap tidak sabar itu mulai terbersit setelah mereka tahu ada bom atom yang jatuh di Hiroshima dan Nagasaki.

Puncaknya terlihat pada pukul 4 pagi tanggal 16 Agustus. Bersama gerombolan pelajar, pemuda Sukarni dan Khairul Saleh “mengajak” (dengan tanda kutip) Bung Karno-Bung Hatta menuju Rengasdengklok –sekitar 80 kilometer dari Jakarta, jauh dari pengawasan tentara Jepang.

Di sana mereka mendesakkan pendapat: senyampang ada durasi, proklamasi seyogianya disegerakan. Tapi kalangan tua punya haluan berbeda. Ide dan rencana pun berkelindan di rumah milik keluarga Djiauw Kie Siong, tempat berlangsungnya pertemuan yang diliputi sejumput ketegangan itu.

Dari situ kita mafhum; trajektori sejarah pergerakan bangsa Indonesia sebarang masa diselimuti oleh silang pendapat dan perdebatan –yang tajam namun akrab. Tapi dengan itulah kita kemudian meng-Indonesia. Dengan kata lain, tradisi intelektual sejak awal hadir-dan-hidup, mewarnai tukar tambah gagasan aktivis kemerdekaan.

Kita mungkin merindukan suasana seperti itu. Suasana yang, entah kenapa, malas menemani perdebatan yang berlangsung di ruang publik kita hari-hari ini. Di era disrupsi digital ini, kita justru memirsa banyak pertelingkahan, dengan sepotong rasa benci, purbasangka dan sikap ingin menang sendiri. Mungkin juga sebongkah asbun.

Tapi, tunggu dulu. Selain keadaban dalam berdiskusi, suasana 76 tahun silam itu juga membentangkan sikap rendah hati –dari kedua pihak. Misalnya ditunjukkan Bung Karno yang mengkonfirmasi amatan untuk menyegerakan proklamasi; tapi bukan di tanggal 15 atau 16.

Dalam otobiografinya Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia — ditulis apik oleh Cindy Adams, wartawan perempuan asal Amerika– Kusno alias Sukarno sudah merencanakan proklamasi dijalankan tanggal 17 saat masih berada di Saigon, Vietnam –sepekan sebelumnya.

“Saya orang yang percaya pada mistik…. tanggal 17 lebih memberi harapan kepadaku,” kata Bung Karno, penuh gelora.

Dalam buku yang sudah dicetak berkali-kali itu, Presiden pertama Indonesia ini menjelaskan dari mana datangnya harapan itu: 17 adalah angka suci, al-Qur’an diturunkan tanggal 17, orang Islam salat 17 rakaat sehari, dan 17 Agustus 1945 bertepatan bulan Ramadan, Hari Jumat pula.

Mufakat pun terbit di Rengasdengklok. Semua yang hadir setujuan menjemput kemerdekaan esok hari. Tapi Bung Karno mengajukan syarat (yang kemudian juga diamini) agar penandatanganan naskah proklamasi diadakan di Jakarta.

Di sana Ibu Fatmawati sudah menunggu. Bendera pusaka jahitannya sudah siap. Akan dikibarkan besok di halaman rumah Jalan Pengangsaan Timur No.56. Rumah itu hibah dari Faradj bin Said bin Awadh Martak (1897-1962) –seorang saudagar keturunan Arab– kepada Bung Karno untuk dimanfaatkan dalam perjuangan kemerdekaan.

APA arti Kemerdekaan bagimu, bagiku?

Mungkin itu adalah kebebasan, lepas dari segala kekangan dan represi impereliasme, untuk kemudian menyusun rencana secara mandiri: mengurus teritori, melindungi warga, membangun ekonomi, pendidikan, Hankam. Dengan kata lain, sebuah kedaulatan dalam memetakan nasib sendiri.

Hari ini, kemerdekaan itu dapat bermakna dan berhimpit dengan ikhtiar membebaskan bangsa dari kecemasan pandemi coronavirus. Juga korupsi dan merenggangnya kehangatan sesama anak bangsa. Di waktu yang lain, ia mungkin dihadapkan dengan kesewenangan dan otoritarianisme. Dan kita pun mafhum: setiap jaman selalu punya tantangan berbeda; respon berbeda.

Mungkin karena itu, majalah Tempo edisi Khusus Hari Kemerdekaan pekan ini menghadirkan sosok Hoegeng Iman Santoso, mantan Kapolri, yang memilih jalan sunyi hingga akhir hayatnya.

Ia misalnya pernah, saat menjabat Kapolda Sumatera Utara 1956, memerintahkan anak buahnya mengeluarkan seluruh perabot –hadiah dari seorang cukong— dari rumah dinasnya.

Ia juga, saat menjabat Kapolri, pernah hendak menghadap Presiden Soeharto untuk melaporkan kasus penyelundupan mobil mewah. Tapi kemudian ia batalkan. Rupanya Robby Tjahjadi, terduga penyelundup itu, baru saja keluar dari ruang tamu rumah pak Harto.

Tak berapa lama setelah itu, ia ditawari posisi Duta Besar untuk Belgia. Hoegeng menolak. Ia memilih melukis –bukan lagi sebagai hobi— melainkan demi memenuhi nafkah keluarga.

Tapi dengan itu ia dikenang. Mantan Presiden Abdurrahman Wahid misalnya pernah berkelakar jika di Indonesia hanya ada 3 polisi: polisi tidur, patung polisi, Jenderal Hoegeng.

Syahdan, kemerdekaan, sebagaimana dinyatakan Bung Karno-Bung Hatta 76 tahun lalu, pada akhirnya, bukanlah urusan yang sekali jadi. Ia mesti dirawat, diaktualisasikan, untuk tak lelah “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia….”

( Imran Duse, Mahasiswa Pascasarjana UIN Sultan Aji Muhammad Idris, Samarinda, dan mantan Pemred majalah PINISI BPP KKSS).

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here