Kolom Muchlis Patahna,SH,MKn
Perilaku korupsi telah menjadi problem hukum dan problem nasional di negara kita. Tampaknya,upaya untuk mengamputasinya sangat sulit untuk mengatakan mustahil. Dari data kasus korupsi menunjukkan, korupsi bukannya menurun malah cenderung naik tiap tahun.
Indonesia Corruption Watch ( ICW) merilis hasil pemantauan korupsi di Indonesia pada tahun 2023, menunjukkan terjadinya lonjakan kasus korupsi yang trend kenaikannya cukup mencemaskan.
Menurut ICW pada tahun 2019 terjadi 271 kasus korupsi dengan 580 tersangka. Angka ini naik pada tahun 2020 menjadi 444 kasus dengan 875 tersangka. Setahun berikutnya pada tahun 2021 kembali bertambah menjadi 533 kasus dan 1.173 tersangka. Pada tahun 2022 melonjak menjadi 579 kasus dengan 1.396 tersangka. Terakhir pada tahun 2023 naik lagi menjadi 791 kasus dan 1.695 tersangka.
Bukan saja kasus-kasus korupsi dan para tersangkanya yang meningkat, tetapi jumlah uang yang dikorupsi juga angkanya fantastis. Kasus korupsi PT Timah Tbk yang saat ini disidik Kejaksaan Agung nilainya mencapai Rp 271,06 triliun. Sebuah angka yang kalau digunakan untuk membantu perekonomian rakyat kecil akan sangat besar manfaatnya.
Kemudian mantan Menkpolhukam Mahfud MD pernah mengungkapkan kementeriannya menangani kasus korupsi senilai Rp 700 triliun. Dari kasus ini termasuk pencucian uang atau trasaksi janggal di Kementerian Keuangan senilai Rp 346 triliun.
Pertanyaan yang mencul dari meningkatnya kasus korupsi dan jumlah tersangkanya yang terus bertambah tersebut menunjukkan bahwa ancaman penjara ternyata tidak mampu membuat jera para pelaku korupsi. Karena itu diperlukan pendekatan lain yang bisa membuat kapok pelaku perbuatan nista ini.
Ada upaya lain yang dicoba oleh pemerintah untuk memberantas korupsi yaitu dengan mengajukan RUU perampasan aset koruptor, namun RUU yang sudah cukup lama diajukan ini tidak jelas juntrungannya alias mangkrak. Padahal, jika RUU ini disahkan DPR menjadi undang-undang, optimis mampu membuat para koruptor berfikir berulang kali untuk mencoleng uang negara.
Sembari menunggu munculnya pendekatan yang lebih manjur untuk menghentikan perilaku korupsi, ada baiknya ditumbuhkan semacam kesadaran di kalangan para pejabat agar menghentikan perbuatan tercela ini.
Yaitu, dengan menggunakan pendekatan “empati dan peduli” terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi negara dan bangsa. Misalnya, Indonesia saat ini memiliki hutang sangat besar berjumlah Rp 8.253,09 triliun. Dan bunga utang itu harus dibayar tiap tahun. Pada tahun 2024 pemerintah harus membayar bunga utang sebesar Rp 497,3 triliun atau setara 14,96% dari anggaran belanja tahun 2024 (Kontan.co.id 22/1/2024).
Contoh lain betapa utang ini akan menjadi beban buat Indonesia bisa dilihat pada mega proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, Whoosh. Dimana Indonesia berutang pada Cina sebesar Rp 79 triliun. Kereta cepat yang sudah diresmikan 2 Oktober 2023 lalu harus dicicil tiap bulan sebesar Rp 226,9 miliar. Dan, diperkirakaan baru balik modal setelah 40 tahun.
Beban lain, biaya pembangunan ibu kota baru atau IKN bakal menelan biaya Rp 466 triliun. Proyek yang sudah berjalan ini akan menjadi beban negara jika pemerintahan baru hasil Pilpres 2024 melanjutkannya.
Dan,bahkan beban negara akan bertambah untuk melaksanakan janji kampanye makan siang gratis yang diprediksi biayanya mencapai Rp 450 triliun per-tahun.
Dengan anggaran negara yang makin banyak membutuhkan pembiayaan, dampaknya mulai terasa. Uang Kuliah diperguruan tinggi dinaikkan sehingga orang tua sulit untuk membiayainya. Demikian pula harga barang kebutuhan pokok bakal naik, listrik naik, bensin naik, dan pajak makin meluas.
Beban dan masalah yang dihadapi pemerintah sangatlah berat. Termasuk, masalah pengangguran, lapangan kerja terbatas, harga kebutuhan pokok melonjak naik, kemampuan daya beli yang terus menurun. Belum lagi menghadapi masalah sosial, hukum, keamanan dan lainnya yang semua ini harus diatasi dan menjadi beban pemerintah.
Dengan beratnya beban pemerintah ini mengelola negara,maka sudah selayaknya para pejabat merasa prihatin dan santun. Dan, untuk itu harusnya menyadari untuk tidak melakukan perbuatan yang tidak terpuji seperti korupsi. Sebab, dengan melakukan korupsi maka perbuatan tersebut makin menyulitkan kehidupan negara dan menyulitkan kehidupan rakyat. Rakyat yang seharusnya dibantu kesejahteraan dan meningkat kehidupannya terkendala oleh karena uang negara dikorupsi dan dicuri sehingga rakyat menderita.
Jika rasa empati ini bisa ditumbuhkan di kalangan pejabat negara dan betapa berat persoalan yang dihadapi pemerintah, maka diharapkan mereka menjauhi perilaku korupsi yang tidak terpuji dan merugikan rakyat.
Penulis Ketua Umum BPP KKSS