Mengenang H.M. Ridwan Suwidi, Bupati Tertua Dari Tanah Paser, “Pemimpin Berhati Mutiara”

0
184
- Advertisement -

Kolom Bachtiar Adnan Kusuma

Belakangan ini, hati saya selalu rindu mau menemui H.M.Ridwan Suwidi, pasca pertemuan pertamakali saya dengan beliau pada 2014, dilanjutkan dengan 2015 dan 2016 di Paser dan Jakarta. Ceritanya, saya diundang bersama Dr.Hasbi, M.Pd. untuk menjadi pembicara di depan para ketua Komite Sekolah di Kabupaten Paser, pengundangnya Kadis Pendidikan Paser. Usai saya berbicara di depan para Kepsek dan ketua Komite Sekolah, saya menyampaikan kepada Kadis Pendidikan Paser, Syafruddin agar saya dipertemukan dengan Bupati H.M.Ridwan Suwidi. Pertemuan saya dengan Bupati Ridwan Suwidi berlangsung di kediaman pribadinya di Paser. Rupanya saya dan Bupati H.M. Ridwan Suwidi, sekampung, berasal dari Tanah Wajo, ayah ibu saya berasal dari Tonrong Bola, Wajo.

Gayung bersambut, seminggu setelah saya tinggalkan Paser, saya ditelepon Kadis Pendidikan Paser; Bupati Ridwan Suwidi mengundang saya ke Paser untuk menulis Biografi perjalanan hidupnya selama sepuluh tahun memimpin Paser. Inilah pertemuan saya dengan Bupati Ridwan kedua kalinya, kemudian dilanjutkan di Jakarta beberapa kali.

Penulis merasa kehilangan dan menyesal karena baru saja mengetahui kalau Bupati H.M. Ridwan Suwidi telah wafat dalam usia 90 beberapa waktu lalu. Dan, ingatan memori saya kembali memancing emosi saya sampai mengeluarkan air mata. Sungguh, almarhum adalah sosok yang amat mulia, pemimpin berhati emas. Dan pengalaman menarik, tatkala saya dihubungi oleh beliau dan menanyakan saya berada di mana, saat itu saya jawab berada di Jakarta dan menginap di Hotel Ibis Wahid Hasyim. Tanpa tedeng aling-aling, beliau datang bersama pengawalnya menemui saya dan mengajak menyeruput kopi sembari berdiskusi tentang bukunya yang berjudul” H.M.Ridwan Suwidi, Anak Kampung Jadi Bupati”.

Saat pamit, Bupati H.M.Ridwan Suwidi membekali saya sebuah amplop besar berwarna kuning emas, sebagai bekal selama di Jakarta dan kembali ke Makassar. Sontak saya membuka isi amplopnya rupanya berisi uang senilai Rp 80 juta, Inilah pribadi almarhum yang selalu welas asih dan sangat santun serta amat lembut.

- Advertisement -

Saya sadar jika ingin mendapatkan mutiara, jangan mencarinya di tepian samudera nan dangkal. Cobalah berkelana ke tengah-tengah lautan lalu selami dia. Di dasar lautan yang dalan, di sana biasanya mutiara itu berada. Meringkuk indah terlindungi cangkang kerang yang keras. Siapa gerangan yang mendapatkannya, pasti akan riang gembiranya. Karena mutiara itu menerbitkan berjuta harapan untuknya.

Begitu juga seorang pemimpin yang bersahaja. Merakyat lagi bijaksana. Di zaman dengan dekadensi akhlak yang begitu parah ini, mereka seperti mutiara. Sulit sekali untuk ditemukan. Kalau ada, dia akan dieluk-elukkan. Ini pertanda betapa merindu rakyat terhadap pemimpin pemerintahan yang benar-benar merakyat.

Masih kita ingat bersama, bagaimana tingkah seorang Dahlan Iskan yang berhasil menyedot perhatian rakyat. Seorang apartur pemerintahan yang pernah menduduki jabatannya sebagai Dirut PLN juga menteri BUMN. Dalam benak rakyat, seorang pejabat setingkat menteri pastilah orang yang sangat menjaga harga diri. Kemana-mana naik mobil berharga tinggi. Berbaju necis dengan merek dari luar negeri. Tapi Dahlan Iskan berani tampil beda. Benar-benar merakyat. Berkemeja putih dan bersepatu kets. Ternyata, justru karakter pemimpin seperti ini yang didamba rakyat.

Juga Jokowi effect. Blusukan adalah gaya khasnya. Turun langsung merasakan penderitaan rakyat. Ini adalah fenomena baru dalam pemerintahan Indonesia. Rakyat kemudian terkesima. Ternyata masih ada pemimpin yang rela berbuat seperti itu. Juga Walikota Surabaya Tri Rismaharini, yang terjun langsung turut menyapu jalan, keberaniannya menutup lokalisasi Dolly demi menyelamatkan generasi bangsa. Dari fenomena ini bisa kita simpulkan, bahwa rakyat sudah bosan dengan tipe pemimpin yang bertingkah bagai raja. Kemana-mana harus diantar, dikawal. Sungkan turun melihat langsung kehidupan rakyatnya. Karena merasa diri sudah berada di singgasana kekuasaan. Tanpa pernah sadar dari mana singgasana kekuasaan itu dia dapat?

Nun jauh di utara nusantara, di Provinsi Kalimantan Timur tepatnya di Kabupaten Paser, ada seorang bupati yang tinggal setahun lagi masa jabatannya. Pola kepemimpinannya juga tidak biasa. Dia adalah satu dari sekian banyak pemimpian berhati mutiara. Menyeksamai kisah kehidupannya membuat kita banyak belajar, tentang bagaimana mengarungi kehidupan dan memimpin masyarakat. Dialah Bapak Ridwan Suwidi, Bupati Kabupaten Paser dua priode (2005 – 2015). Sayang sekali bila kisah inspiratif kehidupan dan kepemimpinan beliau tidak diabadikan dalam lembar-lembar buku. Mengabadikan kisah pemimpin inspiratif adalah penting. Agar kelah bisa menjadi pelajaran untuk generasi masa depan. Biar mereka tahu, bahwa Indonesia khususnya Kabupaten Paser pernah memiliki pemimpin seperti Ridwan Suwidi.

H.M.Ridwan Suwidi, seorang politisi tulen. Bukan politis karbitan yang tiba-tiba muncul jelang Pilkada berlangsung. Bukan pula berasal dari kota metropolitan. Tapi dari kampung kecil terpencil. Memulai karier politiknya dengan menjadi tukang pasang gambar Partai Masyumi. Pernah hampir ditembak. Beruntung pistolnya tidak meledak. Bertahun-tahun menjadi wakil rakyat di DPRD. Dan berhasil menapaki puncak karier sebagai bupati Kabupaten Paser. Tapak-tapak perjalanan yang menyimpan banyak pelajaran.

Bila merunut kisah kepemimpinan beliau, ada logika-logika kekuasaan yang terdobrak. Misalnya begini, sudah menjadi opini umum, kalau mau menjadi pemimpin pemerintahan, apalagi sekelas bupati haruslah berkantong tebal. Minimal bermodal miliaran rupiah. Kalau tidak punya modal uang, jangan coba-coba maju. Namun logika ini berhasil dipatahkan oleh Ridwan Suwidi. Percaya tidak percaya, beliau menjadi bupati tidak bermodal uang. Hanya bermodal kepercayaan masyarakat dan doa ibu-ibu dalam setiap tahajud mereka. Seperti kisah dongeng memang. Tapi itulah yang terjadi, seperti yang beliau tuturkan dalam bukunya.

Menjadi aparatur pemerintahan juga sangat identik dengan beragam fasilitas mewah. Minimal rumah mewah, mobil mewah. Ridwan Suwidi melakukan sebaliknya. Bertahun-tahun menjadi anggota dewan, dia satu-satunya wakil rakyat yang tidak memiliki mobil dinas. Bukan tidak mau, tapi menganggap fasilitas itu belum mendesak baginya. Lebih baik dialihkan untuk rakyat, itu lebih bermanfaat. Saat menjadi bupati, beliau tidak tinggal di rumah dinas. Rumah kediaman bupati adalah rumah pribadinya. Katanya supaya bisa lebih santai. Lebih merakyat. Rumahnya pun dibangun tanpa pagar, agar tidak terasa ada sekat antara bupati dan rakyatnya.

Menjadi pelajaran bagi siapa saja yang ingin menjadi atau merindukan pemimpin berhati mutiara.Ini hanya secuil singkat kisah-kisah inspiratif dari Ridwan Suwidi. Baru dari pengalamannya mengelola pemerintahan. Kehidupan pribadi dan keluarganya juga menarik untuk diikuti. Mengandung sejuta hikmah. Tentang perkara itu pun, terekam dalam buku “Anak Kampung Jadi Bupati”. Semoga buku ini bisa membawa banyak kebermanfaatan. Menjadi pelajaran bagi siapa saja yang ingin menjadi atau merindukan pemimpin berhati mutiara.

Penulis, Pembicara dan Tokoh Literasi Indonesia

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here