Malcom X Di Mata Sarjana Modern

0
346

Kolom M. Saleh Mude

Anggota Dialektika Insitute

Richard Brent Turner dalam bukunya Islam in the African-American Experience menulis panjang lebar tentang profil atau biografi dan legasi Almarhum Malcolm X yang juga dikenal dengan Malcolm Little, dan El-Hajj Malik El-Shabazz.

Turner memulai tulisannya di Chapter 6 dengan mengutip dua sarjana Amerika: James Baldwin dan Cornel West yang menghubungkan akhir dan akibat Perang Dunia II dengan bangkitnya perjuangan komunitas kulit hitam Afrika-Amerika yang saya sebut Blackamerican, meminjam istilah C. Eric Lincoln.

Menurut Baldwin dan West, setelah Perang Dunia II, Amerika tampil sebagai negara super-power; Jerman kalah dan tragedi Holocoust berakhir yang menelan korban hingga 17 jutaan, mayoritas dari penganut Yahudi di Jerman dan sekitarnya. Pada saat yang sama beberapa negara di Timur Tengah, Afrika, dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, telah meraih kemerdekaannya. Kendatipun mereka masih harus menghadapi masalah internal, yakni menghadapi dan menangani (membendung perkembangan) warisan agama (Kristen) dan budaya Kolonial Eropa.

Mereka membenci kaum Kolonial, termasuk Amerika. Di dalam negeri, Pemerintah Amerika menghadapi tuntutan hak-hak sipil atau persamaan nasib dari minoritas utama, penduduk Blackamerikan, generasi imigran gelombang pertama yang telah masuk Amerika jauh sebelum Amerika merdeka. Sebagian mereka adalah anak-cucu para budak asal kawasan Afrika yang masih merasakan perlakuan rasis, ketidakadilan, diskriminasi, dan persekusi dari kelompok mayoritas kulit putih atau mainstream dari penganut Kristen Protestan.

Munculnya Malcolm X

Malcolm X awalnya bernama Malcolm Little, salah satu putra dari delapan anak-anak Earl Little dan Louise Norton Little, lahir di Omaha, Nebraska, 19 Mei 1925. Ayahnya adalah seorang aktivis pergerakan pemberdayaan keturunan Negro atau Blackamerican, UNIA (Universal Negro Improvement Association). Malcolm X junior melihat dan merasakan dengan kepala sendiri berbagai praktik ketidakadilan dan ketidakprikemanusiaan terhadap keluarganya, terutama ayahnya hanya karena aktif di organisasi UNIA bersama ibunya, penerjemah 4 bahasa untuk media UNIA di Philadelphia. Dia melihat keluarga intinya diganggu dan diusir dari Nebraska ke Wisconsin, dan terakhir di Michigan; rumah orang tuanya diusir dibakar; ayahnya dibunuh di rel kereta api ketika ia berumur 6 tahun; asuransi ayahnya tidak dibayarkan sesuai nilai polisnya; ibunya dihamili dan ditinggal pergi oleh pria lain.

Berbagai masalah kemanusiaan itu menimpah keluarganya, terutama ibunya. Akibatnya, ibunya mendapat tekanan luar biasa dan akhirnya sakit dan divonis sakit jiwa dan harus dirawat di RS Jiwa. Malcolm dan saudara-saudaranya harus dititip dan dipelihara oleh negara, di bagi di beberapa pantu asuhan. Anggota rumah tangga itu harus hidup terpisah akibat perlakuan aktivits Kulit Putih (Whiteamerican), Klu Klux Klan dan Black Legion.

Ketika Malcolm X menginjak usia remaja, dia rajin belajar, kelihatan cerdas, dan bercita-cita ingin menjadi pengacara, tapi gurunya yang berkulit putih memberikan tanggapan bahwa impian itu tidak realistis alias mustahil karena dia adalah keturunan Negro. Ucapan itu mengusik dirinya dan memutuskan meninggalkan bangku sekolah dan menjadi anak jalanan, hidup di stasion rel kereta api dan mulai bergabung remaja nakal metropolitan di Boston, Massachusetts; New Haven, Connecticut; dan Harlem, Manhattan, New York. Mereka terlibat berbagai aksi kejahatan atau kriminal di tiga kota besar itu. Akibatnya dia harus berurusan dengan polisi dan mendekam di penjara beberapa tahun. Menurut pengakuan Malcolm X dalam bukunya, The Authobiography of Malcolm X, “… Saya susah terhindar dari balik penjara karena saya lahir dan besar di lingkungan yang penuh rasis dan ketidakadilan dari Whiteamerican.

Menurut William Strickland, tidak pernah orang membayangkan bahwa suatu hari seorang anak Blackamerican yang miskin, putus sekolah, dan pernah terlibat dalam berbagai kriminal bisa terlepas dari keluarga yang hancur (terpisah-pisah) dan mewarisi gerakan keagamaan ayahnya. Pasangan Earn dan Louise Little telah mewariskan spirit pergerakan dan terapi spiritual (agama) kepada anak-anaknya.

Meskipun pasangan itu telah membayar dengan harga mahal warisan itu, di mana ayah dan 2 paman Malcolm dibunuh tanpa pengadilan yang adil. Bahkan 1 pamannya dihukum gantung (lynching) hanya karena mereka berasal dan aktif di organisasi komunitas Negro keturunan Afrika.
Menurut pengakuan Attallah Shabazz, putri pertama dari empat putrinya Malcolm X (tiga lainnya: Qubilah, Ilyasah, dan Gamila Lumumba), kehidupan ayahnya sangat dipengaruhi oleh spirit perjuangan kakek dan neneknya. “Kakek dan nenek saya yang telah mengajari ayah saya menjadi orang mandiri dan sering mengikutkan pada pertemuan-pertemuannya di UNIA. Kakek saya adalah pendeta militan yang dikagumi oleh ayah saya, dan nenek saya adalah seorang Muslim dan penerjemah 4 bahasa di media UNIA.”

Ella Collins, kakak tiri atau sambung Malcolm X adalah penghubung dan pemersatu kembali keluarga Earn-Louise Little. Dialah yang mengubah identitas keagamaan dan gerakan perjuangan Malcolm. Awalnya Ella menampung dan menanggung hidup Malcolm di Boston dan menuliskan surat yang berisi nasihat dan harapan hidup ketika Malcolm di penjara Charlestown, dissusul surat pemberitahun bahwa mereka semua sudah masuk Islam dan terdaftar di Nation of Islam (NOI) oleh Philbert, adiknya Malcolm. Di hadapan pengadilan, dia dituduh mencuri jam tangan di Boston dengan ancaman penjara 8-10 tahun. Selama di penjara, Malcolm mulai banyak merenung dan berkenalan Elijah Muhammad, pendiri dan pemimpin Nation of Islam (NOI).

Elijah divonis penjara 4 tahun karena menolak ikut wajib militer Amerika. Malcolm mengaku menulis surat yang dia sendiri tidak bisa baca tulisannya dan struktur bahasanya kacau sebanyak 25 kali ke Elijah sekaligus mengakui telah memeluk Islam dan mendaftar sebagai anggota NOI. Elijah pun menyambut baik dan membalas sekali surat dengan teks yang diketik dengan mesik ketik listrik lengkap tanda tangan. Dia juga mengaku pernah dibesuk dan dikasih uang koin dan uang kertas 5 dolar oleh Elijah.

Keduanya menjadi sahabat tapi belakangan, menjelang kematiannya, persahabatan mereka pecah karena berbeda visi dan program dalam kememimpinan NOI. Akibatnya, Malcolm harus mati di tangan 3 orang aktivis NOI, pengikut fanatik Elijah yang menembak mati sebanyak 21 kali ke tubuh Malcolm dengan jarak dekat, hanya karena Malcolm dinilai telah keluar dan tidak pandai berterima kasih kepada NOI. Alasan lain menyebutkan bahwa popularitas Malcolm melebihi Elijah.

Menurut pengakuan Elijah, garis perjuangan NOI adalah merehabilitasi dan memperjuangkan nasib kaum Negro dengan cara-cara yang lembut dan integratif melalui terapi spiritual Islam, dan tidak revolusioner dan berbau kekerasan ala Malcolm X dkk. Walaupun dalam masa 14 tahun setelah bergabung Malcolm X, jumlah anggota dan pengikut NOI melesat mencapai ratusan ribu orang dan 75% adalah anak muda yang energik.
Perubahan dratis tahap kedua dalam diri Malcolm X terjadi ketika dipindah ke penjara Norfolk yang memiliki perpusatkaan lengkap koleksi buku-buku bermutu terbaik. Di sana ia bertemu dan kagumi seorang narapidana yang jenius bernama John Bimbi (Bimbry) yang mengajarkan cara membaca, menulis, dan berdebat. Selama di Norfolk, Malcolm mengaku telah membaca buku-buku sejarah, filsafat, ilmu sosial karrya-karya Will Durant, Arnold Toynbee, Mahatma Gandhi, dll.

Pengaruh Malcom X

Malcolm X adalah sosok pemimpin dan juru bicara the Nation of Islam, organisasi perjuangan nasib umat Muslim Amerika yang 99 persen adalah keturunan Negro-Afrika. Dia telah dikenal oleh dunia Islam dan Eropa sebagai salah satu pemimpin terbesar dalam sejarah perjuangan hak-hak minoritas di Amerika. Berawal di tahun 1960 di sela-sela Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dimana beberapa kepala negara atau presiden dari kawasan Afrika dan Timur Tengah ditemui dan berkesan pada penampilan dan kepemimpinan Malcolm X.

Fidel Castro, Presiden Kuba, misalnya, merasa terkesan dan mengundang Malcom ke Kuba. Sebelum memenuhi janjinya untuk mengujungi beberapa kepala negara di Afrika dan Eropa: Inggris dan Prancis, Malcolm terlebih dahulu menunaikan ibadah. Selama di Mekkah, ia disambut dan diterima sebagai tamu negara oleh Raja Faisal.
Almarhum Malcom X adalah salah satu aktor utama gerakan perubahan revolusioner yang disertai sikap tegas, hitam-putih, tanpa kompromi dengan pemerintah Amerika untuk mendapatkan hak-hak sipil warga keturunan Negro-Afrika atau Blackamerican yang sudah lama menderita ketidakadilan di bawah bayang-bayang Whiteamerican.

Malcolm telah membangkitkan spirit dan harapan hidup Blackamerican untuk tumbuh, berkembang, dan memiliki kesadaran ekonomi, sosial, dan politik, dan harus meninggalkan dunia kriminal. Blackamerican telah memahami eksistensi dan bangga terhadap diri mereka, tidak rendah diri lagi, tidak menjadi budak lagi, dan merasa beruntung dan nyaman memeluk dan mempraktikkan ajaran Islam. Kisah dan jumlah penganut ajaran Islam di Amerika ini hari ini sudah mendekati angka 10 juta dan diperkirakan pada 2050 akan menjadi mayoritas kedua setelah Kristen Protestan.

Sulit dibayangkan pertambahan jumlah penganut Islam di Amerika jika tidak pernah lahir dan tampil seorang pemimpin kharismatik dan juru bicara the Nation of Islam, bernama Malcolm X. Tanda eks (X) adalah simbol untuk nama orang tua yang atau nenek moyangnya yang dinilai tidak pernah dikenalnya hanya karena diperjualbelikan dan diperlakukan sebagai budak yang tidak memiliki nilai kemanusiaan. Karena Malcolm, lahir beberapa gerakan sipil seperti: Black Power, Black Arts Movement, dll. Fotonya dicetak ukuran poster digantung di rumah-rumah dan baju-baju (t-shirt) pengikutnya.

Di pihak Whiteamerican atau lawan politiknya, Malcolm dituding sebagai tokoh rasis yang tidak bertanggung jawab, tidak mewakili mayoritas Blackamerican atau keturunan Negro, dan anti-semitis (Yahudi). Malcolm adalah figur pemimpin yang dapat dilihat dari dua sisi: dipuji, dikagumi, dan diikuti karena memiliki leadership kharismatik, cerdas, kuat argumen, media darling, dan kritik dan pemikirannya sering dikutip oleh media-media nasional. Tapi, di sisi lain, dia dihujat, dituding telah one man show, meninggalkan NOI yang membesarkan namanya.

Dan sangat disayangkan karena Malcolm X meninggal di tengah-tengah pendukung fanatiknya menjelang pertemuan komunitas Blackamerican di Audubon Ballroom, Manhattan, New York. Dia ditembak mati sebanyak 21 kali oleh tiga pengikut fanatik Elijah, kolega Malcolm di the Nation of Islam (NOI). Sebelumnya Malcolm X telah menerima beberapa kali ancaman pembunuhan, di mobilnya ditemukan bom, istrinya, Betty X di rumahnya menerima telepon teror, dan pihak FBI sudah mendeteksi bahwa ada kelompok yang berencana membunuh tokoh kulit hitam itu. Sebelum ditembak, ada utusan NOI menuntut agar Malcolm meninggalkan rumah itu karena itu adalah milik NOI. Sehari setelah ia dan keluarganya keluar, rumah itu dibakar.

Pada hari pemakamannya di pekuburan Ferncliff, Hartsdale, New York, dihadiri oleh puluhan ribu (sekitar 30 ribuan) pelayat dari berbagai profesi, semua level status sosial, termasuk pemimpin-pemimpin gerakan sipil. Pada hari itu juga, teman-temannya berhasil mengumpulkan sejumlah uang donasi untuk pembelian rumah keluarga almarhum Malcolm X, dan beberapa bulan setelah kematiannya, buku biografinya, “The Autobiography of Malcom X as Told to Alex Haley,” dilengkapi dengan Kata Pengantar dari putrinya, Attallah Shabazz, menjadi buku best-seller;” filmnya, “Malcolm X” karya Spike Lee termasuk 10 film terbaik; dan hingga hari ini ada puluhan buku dan ratusan artikel tentang biografi, visi, pemikiran, dan pengaruh kepemimpinan Malcolm X dari karya sarjana-sarjana beken dan terkemuka Amerika.

Hartford, 26 Februari 2023.
Penulis dapat dihubungi di: [email protected]

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here