Ketidakjujuran Dunia Terekspos!

0
914

Kolom Imam Shamsi Ali 

Pasca keputusan pengadilan Turki untuk memberikan kebebasan bagi pemerintah Turki untuk mengkonversi (tepat ya reversi) gedung Hagia Sophia dari sebauh musium ke sebuah masjid kembali dunia ramai membincangkan. Dari beberapa Kepala negara, UNESCO, hingga ke tokoh-tokoh agama dunia ramai membicarakan.

Saya tidak akan lagi membahas perspektif legal, baik pada tataran hukum positif maupun pada aspek syariahnya. Justru yang ingin saya bahas kali ini adalah sikap dunia dalam menyikapi isu semacam ini yang memang timbul dari masa ke masa.

Beberapa waktu lalu saya pernah menuliskan sebuah artikel dengan judul “Toleransi yang berpihak”. Nampaknya reversi Hagia Sophia kembali membuka tabir realita itu. Bahwa seringkali toleransi dimaknai sebagai toleransi untuk “serving our interest”. Seolah toleransi itu dimaknai secara positif ketika berpihak kepada kepentingan pihak tertentu.

Sebaliknya ketika toleransi harus ditegakkan karena memang menjadi hak orang lain, konsep itu dibalik sebagai intoleransi. Bahkan tidak malu-malu dibalik menjadi tendensi radikal. Ketika seseorang atau sekelompok membela haknya, tidak jarang orang atau kelompok tersebut dilabel “ekstremis”. 

Inilah sesungguhnya yang kembali terekspos ketika pemerintah Turki memutuskan untuk mereversi fungsi gedung Hagia Sophia menjadi kembali menjadi masjid setelah sekian tahun masjid tersebut dijadikan musium oleh si sekuler Kemal Ataturk. 

Saya ingin menegaskan sekali lagi bahwa jika memang ada ketidakbenaran dalam proses konversi ini, tulisan ini tidak dimaksudkan sebagai justifikasi atau membenarkan yang salah. Justeru yang ingin saya bahas adalah ketidakjujuran atau kemunafikan simpan dunia dalam menyikapinya. 

Pengalihan fungsi gedung dari fungsi musium ke fungsi rumah ibadah (masjid) begitu ramai dibicarakan, bahkan dengan terang-terangan ditentang bahkan dianggap menjadi bagian dari wajah negatif umat bahkan agama Islam itu sendiri. 

Hal ini dengan sigap dan cermat ditangkap oleh para Islamophob (mereka yang punya phobia dan kebencian kepada Islam), seolah mendapatkan injeksi energi untuk kembali melakukan serangan kepada umat dan agama ini. 

Saat ini kasus tersebut dijadikan fondasi bangunan persepsi atau imej bahwa Islam ketika kuat dan berkuasa akan mengambil rumah-rumah ibadah orang lain untuk dijadikan masjid. Bahwa orang Islam ketika kuat dan mayoritas akan semena-semena dengan orang lain. 

Asumsi seperti ini kembali terbangun secara masif dan sistimatis di dunia Barat. Sebuah sikap yang tidak peduli dengan apa yang terjadi ke ratusan bahkan ribuan masjid yang dirusak atau dikonversi menjadi rumah-rumah ibadah lain, bahkan jadi tempat-tempat maksiat lainnya.

Mana suara dunia ketika masjid bersejarah India, masjid Baabri, dihancurkan oleh kaum radikal Hindu di India? 

Mana suara mereka di saat beberapa masjid dibakar di Amerika dan Eropa? 

Mana suara mereka melihat kenyataan sejarah bahwa kaum Nasrani ketika kembali berkuasa di Spanyol  mengkonversi masjid-masjid megah itu menjadi gereja atau night club? 

Sekali lagi kita tidak ingin kesalahan orang lain menjadi pembenaran untuk melakukan hal yang sama (kesalahan). 

Yang kita harapkan hanya kejujuran dan keadilan kepada semua pihak. Yang benar mari kita benarkan walau berpihak pada orang lain. Dan yang salah mari kita salahkan walau itu menyerang diri kita sendiri. Hindarian sikap munafik dalam menyikapi isu dunia. 

Terlepas dari beberapa hal yang perlu diklarifikasi dan dibenarkan jika memang tidak benar dalam prosesnya,  reversi fungsi gedung Hagia Sophia harusnya tidak dibincangka  secara “beyond proportion” (melampuai  batas kewajaran). 

Kalau ada yang tidak proporsional (salah) secara agama, biarlah kami Umat Islam yang mengkritisi dan membenarkan. Kami jujur dalam beragama. Yang salah walau nampak memberikan keuntungan akan kami kritisi. Karena keuntungan (interest) yang terbangun di atas pelanggaran adalah kesalahan. Dan semangat amar ma’ruf dan nahi mungkar kami akan bergejolak mengkritisinya. 

Orang menutup mata bahwa reversi fungsi Hagia Sophia menjadi masjid kembali adalah atas dasar keinginan mayoritas rakyat Turki, jika tidak semuanya. Lalu kenapa mereka yang sok bangga dengan demokrasi berpura-pura menutup mata? 

Keputusan pemerintah Turki untuk mengembalikan fungsi gedung menjadi masjid juga melalui proses pengadilan. Lalu mereka yang kerap mengkampanyekan pentingnya menjunjung tinggi supremasi hukum seolah buta? 

Al-Fatih menaklukkan kota Byzantium melalui penaklukkan militer. Dalam hukum perang mana saja, ketika sebuah kota ditaklukkan maka terjadi pengambilalihan kekuasaan kota itu. Dan tentunya penguasa baru punya hak untuk memenej (mengelolah) kota itu berdasarkan kebutuhan warganya.

Dalam norma perang, apalagi sebelum Deklarasi HAM ditetapkan, harta rampasan menjadi hak pemenang perang. Dengan segala diskusi yang ada seputar harta rampasan dalam Islam, Hagia Sophia boleh jadi bagian dari harta rampasan tersebut. Sebagai harta rampasan berarti terjadi pemindahan kepemilikan. Dan pemilik baru tentunya punya hak untuk menentukan penggunaannya.

Apalagi kalau memang benar bahwa Sang Penakluk (Al-Fatih) karena dorongan menghormati hak orang lain, memang membeli gedung gereja yang konon kabarnya Sudah banyak rusak dan tebengkalai, lalu diwakafkan ke masyarakat Muslim untuk dijadikan masjid. Kalau hal ini benar, Kenapa sebagian masih berpura-pura tidak tahu? 

Atau apakah memang ada motif lain di balik penentangan mereka terhadap pengembangan fungsi gedung ini?

Terlepas dari semua itu, sekali lagi, yang saya masalahkan adalah hilangnya nilai-nilai kejujuran manusia dalam menyikapi banyak permasalahan dunia kita. Dan ini pula yang menjadikan saya berkesimpulan bahwa memang ada kemunafikan nyata dalam menyikapi toleransi dan intoleransi. 

Yang pada akhirnya perkiraan saya benar bahwa toleransi yang dikembangkan saat ini seringkali menjadi toleransi yang memihak. Semoga tidak! 

New York, 20 Juli 2020, Presiden Nusantara Foundation

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here