Kelindan Pajak Sembako dan Pajak Mobil Mewah

0
490
- Advertisement -

Kolom H.M. Amir Uskara

Dunia sosmed gonjang-ganjing. Gegara berita pajak sembako. Betapa tidak! Di tengah kondisi rakyat yang tengah megap-megap ekonominya, pemerintah punya rencana: Konon, akan menerapkan pajak sembilan bahan makanan pokok (sembako). Aneh? Begitulah.

Berita itu pun jadi mesiu tokcer pihak oposan. Langsung viral. Caci maki pun tertuju ke Presiden Jokowi dan Menkeu Sri Mulyani. Kata mereka, Jokowi dan Sri Mulyani tidak peka. Jokowi dan Sri tak tahu kondisi rakyatnya. Jokowi dan Sri justru memihak orang kaya.

Mimihak orang kaya? Jelas, katanya. Maret tahun 2021, pemerintah menurunkan pajak pembelian mobil. Tepatnya menurunkan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM), mulai dari 10 persen sampai lebih. Untuk jenis mobil 1500 CC yang kandungan lokalnya mencapai 70 persen, PPnBM-nya nol persen. Luar biasa. Mobil di atas 1500 CC, PPnBM-nya turun bervariasi, tergantung jumlah CC dan kandungan lokalnya. Mendadak mobil pun laris manis. Sedan Vios yang 1500 CC dan kandungan lokalnya sudah 70 persen, laris kayak kacang goreng. Sampai pembeli antri dan inden.

Dengan insentif penurunan PPnBM, pemerintah senang karena industri mobil yang mandeg sejak pandemi, bangkit. PHK urung. Industri mobil hidup lagi. Masyarakat pun gembira. Karena bisa membeli mobil dengan garga murah.

- Advertisement -

Netizens di sosmed membandingkan secara diametral rencana menerapkan pajak pertambahan nilai (PPN) sembako dengan penurunan PPnBM mobil di atas. Kok terbalik? Orang kaya justru diberi insentif penurunan pajak pembelian mobil; rakyat kecil justru diberi “insentif” pemajakan sembako. Apa tidak keliru? — begitu cuitan mereka.

Benar apa yang dicuitkan netizens di medsos. Tapi benarnya abu-abu. Dalam pengertian, benar menurut versi “logika” sederhana yang kemudian disimplifikasi, tanpa melihat permasalahan lebih jauh dan utuh.

Melihat dua kasus tersebut, pajak mobil dan sembako, jangan dilihat dari sudut yang sama — meski tujuan akhirnya sama. Yaitu untuk mengatasi kesulitan ekonomi di tengah pandemi.

Dalam kasus penurunan PPnBM mobil, misalnya. Pemerintah, rela kehilangan “penghasilan” dari pajak PPnBM, asal industri otomotif bangkit kembali. Industri otomotif memberikan pekerjaan terhadap jutaan orang. Mulai dari pekerja di industr mobil langsung, kemudian pemasok ratusan komponen mobil, pabrik ban, perbengkelan, distribusi, pemasaran, leasing, sampai perusahaan asuransi kendaraan bermotor. Banyak sekali rantai bisnis dalam industri otomotif.

Dengan menghidupkan industri otomotif yang mati suri akibat pandemi, geliat kehidupan ekonomi tumbuh kembali. Pengangguran ratusan ribu pekerja industri otomotif teratasi. Pengangguran karyawan dealer mobil, industri ban, kaca mobil, dan lain-lain sampai pemutusan kerja karyawan industri leasing dan pembiayaan tidak terjadi. Belum lagi pengaruhnya terhadap iklim investasi. Ya, karena industri otomotif termasuk “jangkar” dalam iklim investasi. Jika jangkarnya rusak, iklim investasi pun rusak. Itulah manfaat penurunan PPnBM mobil sejak Maret lalu.

Tentu saja insentif penurunan pajak mobil tersebut tak akan berlangsung selamanya. Jika industri sudah bergerak kembali, kemudian momentum pergerakannya positif, insentif tersebut akan dicabut kembali. Pemerintah akan kembali menerapkan PPnBM yang normal. Seperti sebelum pandemi.

Hal yang sama terjadi pada penerapan pajak pertambahan nilai (PPN) sembako. Kok, kenapa sembako dipajaki? Ya, karena peredaran uang di sektor sembako besar sekali. Sehingga ketika pemerintah sedang kesulitan uang, maka “peredaran uang” di sektor sembako pun mendapat lirikan Bu Sri.

Ini bisa dimaklumi. Meski rasanya pedih jika rakyat miskin makan di warteg harus membayar lebih mahal karena bahan bakunya dipajaki. Rakyat kecil sudah lama menderita. Lalu, kenapa pemerintah menambah derita rakyat miskin dengan membebani PPN sembako?

Ouups. Nanti dulu! Betulkah PPN sembako akan menambah derita rakyat? Kenapa gak kasihan kepada wong cilik?

Kasihan kepada rakyat kecil itu harus. Tapi kasihan pada orang kaya yang menyimpan uangnya di bank, di batangan emas, di saham, nanti dulu. Orang-orang kaya seperti ini, di masa pandemi mungkin bisa menangguhkan beli rumah dan mobil mewah. Tapi apa bisa menurunkan kualitas makanannya yang mahal?

Nah di sinilah yang harus kita mengerti. Harap tahu, sembako kualitasnya macam-macam. Beras yang harga sekilonya hanya 8000 rupiah untuk warteg, banyak. Tapi beras yang harga sekilonya 30 ribu rupiah, bahkan seratus ribu pun, juga banyak.

Beras Basmati yang indeks glikemiknya rendah (40), makanan bagus untuk orang sakit diabet, misalnya, harga perkilo 30-40 ribu rupiah. Sedangkan beras Shirataki, beras dari tepung porang yang high fiber dan low carbo, satu kilonya 180 ribu rupiah.

Kangkung yang harga seikatnya 1000 rupiah di pasar tradisional banyak. Tapi kangkung yang harga seikatnya sepuluh ribu rupiah juga banyak. Lihat harga sayuran di Kem Chicks Kemang misalnya. Mahal sekali.

Satu kilogram sayur-sayuran organik, harganya mencapai ratusan ribu. Begitu pula harga daging ayam dan sapi. Harga daging kualitas mana yang dipajaki? Sebab kulitas daging macam-macam. Begitu pula harganya.

Daging sapi wagyu, impor dari Jepang, misalnya, harganya perkilogram mencapai 7 – 10 juta rupiah. Begitu pula harga ikan. Yang kualitas satu, daging ikan tuna harga perkilogramnya mencapai jutaan rupiah.

Emang warteg menyediakan makanan premium jenis ini? Jelas tidak. Konsumen warteg tak akan mampu makan dengan harga semahal itu.

Dari sana, kita sudah bisa membayangkan, sembako mana yang niscaya akan dipajaki negara? Pastinya, orang kaya tak akan mau makan dengan menanak nasi murahan. Daging murahan. Sayur murahan.

Orang kaya yang sudah terbiasa makan enak, nyaris tak mungkin menurunkan “kualitas makanannya”. Mereka mengonsumsi sembako kulitas premium. Dan secara logika, sembakonya patut dipajaki.

Bu Sri pastinya sudah lama “mencium” kondisi ini. Karena uang yang beredar di situ cukup besar. Jika dipajaki hasilnya cukup signifikan

Lalu, bagaimana rakyat kecil yang makan nasi dengan beras harga 8000 rupiah? Jelas, tak masuk radar Bu Sri Mulyani.

Alih-alih memajaki sembako curah, hemat saya, pemerintah sebaiknya justru mensubsidi harga sembako murah tersebut. Agar sembako kualitas “low end” lebih murah dan harganya terjangkau rakyat paling miskin sekali pun. Tak hanya itu. Bila perlu pemerintah memberikan sembako gratis untuk mereka. Agar tak ada orang miskin yang kelaparan.

Tepat sekali tulisan Untoro, seorang netizens di FB: ‘Sembako yang mau dipungut PPN itu yang kelas premium. Beras basmati, atau koshihikari. Dagingnya wagyu. Kalau elu makan beras curah, beli ayam separo tapi minta cekernya enam, kamu belum jadi target PPN sembako.”

Jadi, jangan panik dulu membaca isu pemerintah mau majaki sembako. Lalu ribut, maki-maki Pak Jokowi dan Bu Sri Mulyani. Padahal, ente belum tahu — sembako macam apa yang akan dipajaki? Lagi pula, rencana pemerintah memberlakukan PPN sembako itu masih dalam bentuk rancangan. DPR belum membahasnya. Apalagi menyetujuinya.

Kok belum apa-apa sudah ramai-ramai menghujat pemerintah?

Penulis Ketua Fraksi PPP DPR RI

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here